Setelah Mas Agam mematikan saluran telefon, apakah aku menelfon balik? Oh tentu saja, jawabanya Tidak.
Justru yang aku cari adalah nomor telepon Mama mertua.Nomor yang anda tuju sedang berada di panggilan lain...Ah mudah sekali di tebak. Si keong tentu langsung mengadu ke emaknya.Dan tidak berselang lama Mas Agam kembali menelfon aku."Hallo Sayang, bagaimana? Duh ma'af sekali ya tadi sinyalnya susah. Jangan marah-marah dong, sudah aku beri nafkah tiga digit. Belum tentu dengan orang lain kamu bisa merasakanya loh," ucapnya tanpa merasa bersalah.Aku menarik nafas panjang."Mas, bisa atau tidak kadar kesongonganmu itu di turunkan? Toh kalau aku mati, juga dikubur dengan tanah. Tidak dikubur dengan uang nafkahmu," sengitku dengan kesal."Iya iya. Jadi bagaimana Nda?""Kebetulan sekali ya Mas sewaktu sambungan telefon darimu mati. Kok telefon mama Melisa juga sibuk. Semoga baik baik saja ya," serangku lagi."Nda, sudahlah kamu jangan yang aneh aneh. Mama orang sibuk. Wajarlah kalau panggilannya juga sedang sibuk," jawab Mas Agam. Nada kesalnya sudah mulai terasa."Oh begitu ya. Jadi bagaimana Mas. Aku dapat undangan tidak?"Mulai mulai. Mama tidak ada acara pun di rumah. Itu acara Bi Ijah," jawabnya sedikit ketus."Sudah dapat info ya Mas? Pasti baru saja," jawabku lagi memancing keributan."Manda," pekik Mas Agam dengan sedikit bentakan.Dan tuttt... tuttt.. tutttKu matikan sambungan telfonnya. Kesal. Dan memang ku rasa pernikahanku dengan Mas Agam memang benar-benar tidak sehat.Bukan. Aku tidak merajuk karena rindu. Aku bukan tipikal wanita suka berbasa basi. Rindu ya bilang rindu. Namun semenjak aku menemukan beberapa keanehan itu, seperti rasa rinduku perlahan terkikis oleh semua curiga."Permisi Nyonya. Ada yang mau bertemu," ucap Mbok Siti.Aku menoleh pelan. Aku bukan orang penting, memang jarang sekali ada tamu, paling juga keluarga dan teman terdekat lagi."Siapa lagi sih Mbok?" tanyaku sedikit lelah.Namun tamu tersebut rupanya mengekor di belakang Mbok Siti.Seorang laki laki, berperawakan tinggi, tegap, badan yang ideal. Kulit kuning, tatapan mata yang teduh walaupun sedikit sipit. Seperti perawakan laki laki Korea.Aku menghela nafas dengan kasar."Mas, mohon maaf, ini bukan hotel. Anda salah alamat," kataku.Laki-laki tersebut menatap bingung."Tapi memang ini alamat yang saya tuju. Saya tidak butuh hotel," elaknya.Aku menatap kembali laki laki itu. Meyakinkan diri. Tak mungkin pria Korea nyasar ke rumahku. Untuk apa?"Saya Ilham, Nyonya. Saya pengganti Pak Bani. Kebetulan beliau memilih istirahat di rumah karena kesehatanya yang tidak baik. Dan anak anaknya menyuruhnya untuk berhenti bekerja," ujarnya."Jadi kamu yang menggantikan Pak Bani?"Ilham mengangguk mantap.Ah mengapa Pak Bani justru tidak memberi tau saya. Seenaknya mencarikan ganti. Tapi tak apalah. Daripada saya mencari sendiri, lebih ribet prosesnya. Pak Bani sudah lama bekerja denganku, dia tentu tau tipikal sopir yang bagaimana yang aku mau."Baiklah. Tentu Pak Bani sudah bilang, jika aku sering berpergian jauh. Kamu kuat?" tanyaku lagi memastikan."Tentu, saya sanggup Nyonya.""Kalau begitu antar saya ke Hotel Anderson," perintahku saat itu juga.Namun entah mengapa mimik wajah Ilham berubah."Apa tidak ada hotel lain Nyonya?" tawarnya.Tentu saja aku melotot."Kenapa kamu nawar? Aku bukan Tante Tante girang yang mengajak kamu untuk check in ya. Tenang saja," Ilham mengangguk meskipun berat.Sepanjang perjalanan, Ilham lebih banyak diam. Kendati begitu, aku akui ia lebih lihai mengemudi mobil, lebih lincah mencari jalan alternatif jika menghadapi kemacetan. Mungkin karena usianya lebih muda."Nyonya, saya tunggu di mobil saja ya," pintanya"Iya iya. Takut banget sih kamu," gerutuku.Lalu aku keluar sendiri dari mobil. Menuju ke ruang resepsionis."Mbak, ada yang booking ballroom untuk satu dua hari kedepan?" tanyaku seolah olah aku juga ingin mempesan."Waduh, sudah penuh ibu. Besok ada acara milik keluarga besar Bapak Hadi Santosa. Pemilik rumah makan itu," ucap sang resepsionis.Aku mengangguk. Hadi Santosa adalah nama mertuaku."Ada acara apa ya Mbak?""Waduh kurang tau ya Bu. Tapi sepertinya syukuran begitu. Dekorasinya lucu lucu, seperti ulang tahun anak kecil,"Aku kembali mengangguk dan menyelipkan sebuah lembaran uang di tangan resepsionis."Apa ini Bu?""Untuk uang makan," jawabku. Resepsionis tersebut mengangguk dan berterimakasih. Aku tidak pelit kepada siapapun yang sekiranya membantuku.Ah pengecut. Gegara aku mengetahui acara di rumah, langsung semua acara di alihkan ke hotel. Mudah sekali aku baca. Apakah mereka lupa bahwa aku juga tau betul hotel langganan mereka?Sampai bertemu di keributan yang lebih besar, Mas Agam...Saat aku kembali ke dalam mobil, justru aku melihat Ilham telungkup seperti posisi tertidur."Oh jadi kamu tidak mau masuk karena mau tidur?" tanyaku sembari masuk mobil.Dia kaget."Eh sudah selesai Nyonya? Alhamdulillah. Saya tidak tidur Nyonya," elaknya."Lalu kenapa? Seperti orang takut saja. Jangan jangan kamu masuk dalam Daftar Pencarian Orang? Ih serem," komentarku.Ilham menggeleng dengan cepat."Bukan Nyonya. Saya pria baik baik. Hanya saja di depan Hotel itu menjadi tongkrongan teman teman saya. Nanti kalau mereka mengetahui saya, takutnya justru mereka mengajak ngopi. Saya bekerja Nyonya," jawab Ilham dengan sopan."Oh begitu. Kirain.""Nyonya kok cepat sekali. Numpang ke toilet ya? Wah bahaya ya kalau jadi orang kaya, ke toilet saja harus ke hotel," tanya Ilham dengan kekeh kecilnya."Enak saja kamu bilang. Saya ada perlu disini. Besok antar saya kesini lagi," perintahku."Kenapa tidak menginap sekalian saja Nyonya?" Aku sejenak terdiam."Oh iya. Benar juga apa katamu.""
Masih seperti biasa. Mas Agam terlihat salah tingkah dalam kondisi panik. Sementara Mama Mertua hanya diam mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan kedatanganku.Aku tertawa kecil."Amanda, bagaimana bisa? Aduh kenapa? Aduh jangan marah," tanyanya dengan panik.Orang melihatnya terlihat lucu. Tapi aku merasa jijik.Aku benci dengan pembohong."Tenang Mas. Aku datang kesini dengan baik-baik. Harusnya disambut baik juga dong. Aku adalah tamu," ucapku dengan santai.Wajah Mas Agam memerah. Keringatnya mulai bercucuran. Kebiasaan lama. Itulah yang terjadi jika dia dalam keadaan panik.Aku juga melihat Kanaya-adik iparku tampak wara wiri melihat suasana acara. Aku menatapnya. Seolah menantang tatapan matanya. Dan setelah sadar, aku tau dia merasa aneh. Dan keanehan itu adalah aku. Ya aku bisa hadir di acara ini."Naya, biasa saja tatapanmu itu," tegurku setengah berteriak. Tapi jangan salah, aku masih memberikan senyum kepada Naya. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dan Nay
Mas Agam memegang pipinya yang mulai memerah. Tampak sesekali ia meringis kesakitan."Sakit Mas? Lebih sakit mana dengan perasaanku saat ini? Tapi kamu salah. Jika beranggapan aku akan menangis. Tidak. Aku tidak akan menangisi laki-laki penuh drama sepertimu. Buang-buang waktu," jawabku dengan tajam."Mas Agam," teriak seorang wanita yang ku dengar suaranya menuju ke arah kami. Dia berlari sedikit tergopoh.Aku kira Kanaya yang datang. Tetapi ternyata bukan, wanita yang ada di foto layar depan yang datang.Aku menelisiknya dari atas sampai bawah. Memastikan diri bahwa memang dialah wanita simpanan Mas Agam dibelakang ku.Wanita dengan kulit sawo matang, berbadan berisi, ah lebih tepatnya berbadan cukup gendut untuk porsi wanita. Seperti sedikit berbeda dengan foto yang terpampang. Ah aku lupa, zaman sekarang mudah sekali mengedit sebuah wajah.Dan aku hampir saja tak percaya.Wanita itu bergantian menatapku. Aku tak takut sama sekali. Justru aku tantang sorot mata tajam itu."Maafkan
Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam."Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam."Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.Mas Agam masih saja bergeming."Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak."Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitiaNamun mereka justru melihat ke arahku."Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka."Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mam
POV AUTHOR"Alah, mimpi kamu. Kamu memang bisa menemukan laki laki yang kaya, tapi laki laki seperti Agam itu ibaratkan satu banding seribu," jawab Mama mertua.Manda terkekeh kecil."Memangnya seistimewa apa sih anaknya Ma? Kurangnya banyak kok. Anak kesayangan Mama itu juga tidak sempurna. Duh. Yang mengenal betul seorang laki-laki itu bukan ibunya. Tapi istrinya. Mama dengar? ISTRINYA," jawabnya lagi tak gentar dan penuh penekanan."Ayolah Mas. Talak aku. Biar aku juga segera bisa pulang. Tapi tenang saja aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Tidak ke rumah yang katanya dulu kamu bangun untuk aku. Ambilah lagi rumahmu itu. Aku tidak butuh," tambah Manda."Mas Agam tidak akan menceraikan Mbak Manda. Karena talak itu tidak akan keluar dari mulut Mas Agam, Mbak. Aku yang harusnya tau diri dan mengalah. Aku yang harus pergi. Dan aku yang harus menyudahi semuanya," sela Aisyah."Aisyah, diamlah. Kamu tidak tau apa-apa. Wanita inilah yang egois. Kamu hanya menurut saja ke kita, apa salah
Manda menjawab pertanyaan sang Mama dengan yakin. Dan tentu saja dengan tegar.Tetapi namanya seorang ibu, tentu saja dia khawatir dengan keadaan sang anak. Walaupun sebelumnya lewat sambungan telefon pun , Manda menceritakan semua dengan kuat, tanpa ada suara terisak sedikitpun."Manda, kamu tidak apa apa Nak?" tanya Bu Yosi dengan trenyuh dan tatapan nanar.Manda justru menatap sang Mama dengan aneh."Mama apaan sih? Lihat Manda baik baik saja. Mau diperiksakan ke Psikiater sekalipun juga pasti tak apa. Mama tenang saja. Manda juga bukan tipikal orang yang diam diam lalu bunuh diri. Dih amit amit. Laki laki seperti itu saja ditangisi sampai segitunya," komentar Manda dengan santai."Betul itu Manda. Papa suka cara kamu. Laki laki seperti Agam, banyak modelnya diluar. Bahkan yang lebih dari dia juga banyak. Kalau perlu, papa bisa Carikan yang jauh diatas Agam. Bagaimana?" tanya Pak Irwan kepada sang putri.Namun Manda menggeleng dengan cepat."Tuh kan Pa. Lihat anakmu. Dia bahkan bel
"Kamu itu tidak usah ikut campur Aisyah. Tidak usah sok menjadi pahlawan. Kamu itu sudah beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Harusnya bersyukur. Jadi lain kali jangan banyak tingkah. Saya pulangkan ke kampung baru tau rasa kamu," kata Bu Melisa dengan ketus.Aisyah hanya tertunduk lesu. Nuraninya bertabrakan. Tentu sebagai wanita ia mengerti perasaan Amanda. Baginya ketegaran Amanda hanya kebohongan belaka."Kasihan Mbak Manda, Ma," ujar Aisyah yang justru mendapat tatapan mendelik dari Bu Melisa."Kasihan kamu bilang? Memangnya hidupmu sudah paling benar hingga kamu berani kasihan ke orang lain? Kalau bukan karena saya, mungkin kamu sudah mati loh di kota besar ini."Mendengar itu, Aisyah tidak berani bersua kembali.Amanda benar. Bahwa image mertua baik hati, lembut dan dermawan hanya topeng Bu Melisa saja. Dan sikap tersebut hanya ditunjukan kepada Manda dulu. Ya dulu, karena sekarang Manda sudah tau kebusukannya.Agam juga hanya terdiam setelah acara itu. Dia lebih ba
Aisyah kesal bukan main. Namun ia hanya mampu memendamnya. Ia tak punya keberanian seperti Amanda."Tidak usah protes Syah. Kamu saya nikahi bukan untuk cerewet terhadap hidup saya," gerutu AgamAisyah melengos dengan wajah cemberut. Ia tidak berharap Agam akan peka, akan merayu seperti saat Amanda yang merajuk. Tidak sama sekali. Semata karena ia ingin menunjukan ekspresi kesalnya saja. Tidak lebih.Agam berlalu dari kamar mereka. Dan deru mobilnya mulai menjauh dari apartemen. Aisyah sempatelihat dari jendela."Aaaarrrggghhh," teriaknya.Ia bingung. Ia bisa apa. Ia bahkan tidak punya siapa siapa di kota ini. Kemana ia harus membawa kedua anaknya? Ke kampung? Lalu apakah dia sanggup membesarkan mereka tanpa nafkah dari seorang ayah?Tentu dalam hati kecilnya, ia ingin seperti Amanda. Dengan lantang dan berani melawan mereka, melawan kesewenangan mereka. Tapi dengan latar belakang yang sangat jauh berbeda dengan Amanda, dia berfikir seribu kali untuk mengambil langkah itu.Tanpa Agam,