Share

6

Setelah Mas Agam mematikan saluran telefon, apakah aku menelfon balik? Oh tentu saja, jawabanya Tidak.

Justru yang aku cari adalah nomor telepon Mama mertua.

Nomor yang anda tuju sedang berada di panggilan lain...

Ah mudah sekali di tebak. Si keong tentu langsung mengadu ke emaknya.

Dan tidak berselang lama Mas Agam kembali menelfon aku.

"Hallo Sayang, bagaimana? Duh ma'af sekali ya tadi sinyalnya susah. Jangan marah-marah dong, sudah aku beri nafkah tiga digit. Belum tentu dengan orang lain kamu bisa merasakanya loh," ucapnya tanpa merasa bersalah.

Aku menarik nafas panjang.

"Mas, bisa atau tidak kadar kesongonganmu itu di turunkan? Toh kalau aku mati, juga dikubur dengan tanah. Tidak dikubur dengan uang nafkahmu," sengitku dengan kesal.

"Iya iya. Jadi bagaimana Nda?"

"Kebetulan sekali ya Mas sewaktu sambungan telefon darimu mati. Kok telefon mama  Melisa juga sibuk. Semoga baik baik saja ya," serangku lagi.

"Nda, sudahlah kamu jangan yang aneh aneh. Mama orang sibuk. Wajarlah kalau panggilannya juga sedang sibuk," jawab Mas Agam. Nada kesalnya sudah mulai terasa.

"Oh begitu ya. Jadi bagaimana Mas. Aku dapat undangan tidak?

"Mulai mulai. Mama tidak ada acara pun di rumah. Itu acara Bi Ijah," jawabnya sedikit ketus.

"Sudah dapat info ya Mas? Pasti baru saja," jawabku lagi memancing keributan.

"Manda," pekik Mas Agam dengan sedikit bentakan.

Dan tuttt... tuttt.. tuttt

Ku matikan sambungan telfonnya. Kesal. Dan memang ku rasa pernikahanku dengan Mas Agam memang benar-benar tidak sehat.

Bukan. Aku tidak merajuk karena rindu. Aku bukan tipikal wanita suka berbasa basi. Rindu ya bilang rindu. 

Namun semenjak aku menemukan beberapa keanehan itu, seperti rasa rinduku perlahan terkikis oleh semua curiga.

"Permisi Nyonya. Ada yang mau bertemu," ucap Mbok Siti.

Aku menoleh pelan. Aku bukan orang penting, memang jarang sekali ada tamu, paling juga keluarga dan teman terdekat lagi.

"Siapa lagi sih Mbok?" tanyaku sedikit lelah.

Namun tamu tersebut rupanya mengekor di belakang Mbok Siti.

Seorang laki laki, berperawakan tinggi, tegap, badan yang ideal. Kulit kuning, tatapan mata yang teduh walaupun sedikit sipit. Seperti perawakan laki laki Korea.

Aku menghela nafas dengan kasar.

"Mas, mohon maaf, ini bukan hotel. Anda salah alamat," kataku.

Laki-laki tersebut menatap bingung.

"Tapi memang ini alamat yang saya tuju. Saya tidak butuh hotel," elaknya.

Aku menatap kembali laki laki itu. Meyakinkan diri. Tak mungkin pria Korea nyasar ke rumahku. Untuk apa?

"Saya Ilham, Nyonya. Saya pengganti Pak Bani. Kebetulan beliau memilih istirahat di rumah karena kesehatanya yang tidak baik. Dan anak anaknya menyuruhnya untuk berhenti bekerja," ujarnya.

"Jadi kamu yang menggantikan Pak Bani?"

Ilham mengangguk mantap.

Ah mengapa Pak Bani justru tidak memberi tau saya. Seenaknya mencarikan ganti. Tapi tak apalah. Daripada saya mencari sendiri, lebih ribet prosesnya. Pak Bani sudah lama bekerja denganku, dia tentu tau tipikal sopir yang bagaimana yang aku mau.

"Baiklah. Tentu Pak Bani sudah bilang, jika aku sering berpergian jauh. Kamu kuat?" tanyaku lagi memastikan.

"Tentu, saya sanggup Nyonya."

"Kalau begitu antar saya ke Hotel Anderson," perintahku saat itu juga.

Namun entah mengapa mimik wajah Ilham berubah.

"Apa tidak ada hotel lain Nyonya?" tawarnya.

Tentu saja aku melotot.

"Kenapa kamu nawar? Aku bukan Tante Tante girang yang mengajak kamu untuk check in ya. Tenang saja," 

Ilham mengangguk meskipun berat.

Sepanjang perjalanan, Ilham lebih banyak diam. Kendati begitu, aku akui ia lebih lihai mengemudi mobil, lebih lincah mencari jalan alternatif jika menghadapi kemacetan. Mungkin karena usianya lebih muda.

"Nyonya, saya tunggu di mobil saja ya," pintanya

"Iya iya. Takut banget sih kamu," gerutuku.

Lalu aku keluar sendiri dari mobil. Menuju ke ruang resepsionis.

"Mbak, ada yang booking ballroom untuk satu dua hari kedepan?" tanyaku seolah olah aku juga ingin mempesan.

"Waduh, sudah penuh ibu. Besok ada acara milik keluarga besar Bapak Hadi Santosa. Pemilik rumah makan itu," ucap sang resepsionis.

Aku mengangguk. Hadi Santosa adalah nama mertuaku.

"Ada acara apa ya Mbak?"

"Waduh kurang tau ya Bu. Tapi sepertinya syukuran begitu. Dekorasinya lucu lucu, seperti ulang tahun anak kecil,"

Aku kembali mengangguk dan menyelipkan sebuah lembaran uang di tangan resepsionis.

"Apa ini Bu?"

"Untuk uang makan," jawabku. 

Resepsionis tersebut mengangguk dan berterimakasih. Aku tidak pelit kepada siapapun yang sekiranya membantuku.

Ah pengecut. Gegara aku mengetahui acara di rumah, langsung semua acara di alihkan ke hotel. Mudah sekali aku baca. Apakah mereka lupa bahwa aku juga tau betul hotel langganan mereka?

Sampai bertemu di keributan yang lebih besar, Mas Agam...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status