Share

9

Mas Agam memegang pipinya yang mulai memerah. Tampak sesekali ia meringis kesakitan.

"Sakit Mas? Lebih sakit mana dengan perasaanku saat ini? Tapi kamu salah. Jika beranggapan aku akan menangis. Tidak. Aku tidak akan menangisi laki-laki penuh drama sepertimu. Buang-buang waktu," jawabku dengan tajam.

"Mas Agam," teriak seorang wanita yang ku dengar suaranya menuju ke arah kami. Dia berlari sedikit tergopoh.

Aku kira Kanaya yang datang. Tetapi ternyata bukan, wanita yang ada di foto layar depan yang datang.

Aku menelisiknya dari atas sampai bawah. Memastikan diri bahwa memang dialah wanita simpanan Mas Agam dibelakang ku.

Wanita dengan kulit sawo matang, berbadan berisi, ah lebih tepatnya berbadan cukup gendut untuk porsi wanita. Seperti sedikit berbeda dengan foto yang terpampang. 

Ah aku lupa, zaman sekarang mudah sekali mengedit sebuah wajah.

Dan aku hampir saja tak percaya.

Wanita itu bergantian menatapku. Aku tak takut sama sekali. Justru aku tantang sorot mata tajam itu.

"Maafkan kami Mbak Manda," ucapnya tiba tiba.

Aku mendelik. Dia tau namaku. Berarti dia memang sudah tau jika Mas Agam adalah pria beristri..

"Maaf?" tanyaku memastikan.

"Manda lebih baik kamu pergi saja dari sini. Jangan memalukan. Selesaikan nanti dirumah," bentak Mama mertua yang tiba tiba datang.

Aku melongo.

"Hah? Memalukan? Justru kalian yang mempermalukan diri kalian sendiri. Seantero kota juga akan bilang aku yang benar jika dihadapkan masalah seperti ini. Tidak perlu nanti Ma. Tidak perlu menunhhu di rumah. Karena disini saja aku juga akan mengatakan selesai. Tak perlu menunggu nanti. Untuk apa? Untuk kalian bohongi lagi? Sudah cukup. Aku kini mengerti bagaimana busuknya kalian." jawabku dengan tegas.

Dan tiba-tiba wanita yang mungkin menjadi istri kedua Mas Agam tersebut menangis.

"Mbak Manda, biar saya yang mengalah. Tak apa. Mas Agam adalah milik Mbak Manda. Saya yang salah," ucapnya sembari terisak yang terdengar pilu.

"Aisyah, tidak. Jangan berkata seperti itu. Kamu tetap bagian dari keluarga kita," kata Mama mertua membela.

Entah, aku pun tidak tau apa keistimewaan wanita yang bernama Aisyah itu. Apakah dia dari keluarga konglomerat? Atau bagaimana, aku tidak tau. Karena yang aku tau baik Mas Agam dan keluarganya begitu perfeksionis dalam memilih sesuatu.

"Bunda, Ayah," panggil seorang balita yang ikut mendekat.

Balita perempuan dengan poni tengah, dan kuncir dua. Terlihat menggemaskan.

Dan aku tau, mengapa Mama mertua tak pernah mempermasalahkan cucu dariku. Karena dia sudah mempunyai cucu yang lain.

"Lihat Manda. Agam bahkan mempunyai dua orang anak dari Aisyah. Apakah kamu masih meninggikan egomu?" tanya Mama mertua.

"Mau punya dua anak, mau tiga anak, mau selusin, saya tidak perduli Ma. Bukan masalah anak. Tapi ini adalah tentang kecurangan."

Mama mertua sempat mengibaskan tangan di udara.

"Sudah Manda. Terima saja jika Agam mempunyai dua istri. Toh kamu juga butuh nafkah tiga digit dari Agam setiap bulan bukan? Tidak usah munafik."

Aku menarik nafas panjang.

"Jangan berbicara tentang nominal Nafkah di depanku Ma. Aku sama sekali tidak tertarik. Tiga digit yang tidak membahagiakan untuk apa? Aku tidak akan menurunkan harga diriku demi rupiah." jawabku dengan tegas

Wanita bernama Aisyah tersebut tiba tiba meraih tanganku. Hendak ku hempaskan. Namun dari tatapan netranya terlihat begitu sayu memohon.

"Mbak tolong dengarkan alasan kamu," rengeknya.

"Mbak Aisyah, tidak usah memohon seperti itu kepada dia," teriak Naya.

Aku perlahan melepas tangan Aisyah.

"Apapun alasannya, sebenar apapun. Tapi tingkah kalian tidak bisa dibenarkan. Dalam segi apapun. Dan kamu Naya, tenang saja. Aku tidak gila hormat. Bukankah kamu kenal aku secara dekat, sebelum semua berbalik 360 derajat seperti ini? Ups, bukanya berbalik, tapi memang topeng kamu sudah terlepas ya," jawabku.

Naya melengos. Mungkin dia merasa malu.

"Maaf Bu. Tadi Aluna merengek mencari Bu Aisyah. Dia berlari," ujar seorang wanita berseragam babisitter yang aku kenal betul suaranya. Aku celingukan mencari sumber suara. Dan ternyata wajah babysitter itu memang tak asing. Dia adalah Erna. Teman yang sering ku bantu. Tidak sekali, dua kali, tapi berkali-kali.

"Erna," panggilku lirih.

Dia justru menoleh dengan sinis.

"Jadi selama ini kamu bekerja kepada Mas Agam?"

"Memangnya kenapa? Aku juga tau kok dia suami kamu. Sakit ya? Kasihan deh Lo," oloknya

Aku hanya tersenyum menanggapi olokan Erna. Diam diam Mama mertua juga tertawa kecil dari belakang.

Aku tak gentar. Aku mendekat ke arah Erna.

Menarik kerah baju yang di kenakan Erna.

"Menghancurkan hidupmu adalah salah satu hal yang mudah bagiku. Jadi kamu mau hancur kapan? Sekarang?" tantangku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status