Saat aku kembali ke dalam mobil, justru aku melihat Ilham telungkup seperti posisi tertidur.
"Oh jadi kamu tidak mau masuk karena mau tidur?" tanyaku sembari masuk mobil.Dia kaget."Eh sudah selesai Nyonya? Alhamdulillah. Saya tidak tidur Nyonya," elaknya."Lalu kenapa? Seperti orang takut saja. Jangan jangan kamu masuk dalam Daftar Pencarian Orang? Ih serem," komentarku.Ilham menggeleng dengan cepat."Bukan Nyonya. Saya pria baik baik. Hanya saja di depan Hotel itu menjadi tongkrongan teman teman saya. Nanti kalau mereka mengetahui saya, takutnya justru mereka mengajak ngopi. Saya bekerja Nyonya," jawab Ilham dengan sopan."Oh begitu. Kirain.""Nyonya kok cepat sekali. Numpang ke toilet ya? Wah bahaya ya kalau jadi orang kaya, ke toilet saja harus ke hotel," tanya Ilham dengan kekeh kecilnya."Enak saja kamu bilang. Saya ada perlu disini. Besok antar saya kesini lagi," perintahku."Kenapa tidak menginap sekalian saja Nyonya?" Aku sejenak terdiam."Oh iya. Benar juga apa katamu.""Eh tidak usah Nyonya. Lebih baik kita pulang. Buang buang uang saja. Disana sewanya mahal," komentar Ilham.Bukanya marah, aku justru tertawa melihat gaya bicaranya."Jangan tertawa Nyonya. Tawa nyonya terdengar seperti kerupuk, sama seperti Mbok Siti," komentarnya."Kerupuk?""Iya. Kalau tawa Nyonya terdengar seperti kerupuk renyah. Kalau tawa Mbok Siti terdengar seperti kerupuk kena angin. Mlempem. Tapi jangan bilang bilang ya Nyonya. Nanti saya tidak dibuatkan kopi oleh beliau," pesan Ilham."Kamu memuji saya karena tidak ingin gaji naik kan?"Ilham menggeleng dengan cepat."Oh tidak Nyonya. Saya orangnya apa adanya. Ya begini. Kalau memang dinaikan ya memang rezeki saya," jawabnya.Rasa curiga yang bercampur kesal sedikit terobati oleh candaan Ilham di mobil. Meskipun begitu rasa hati justru tidak sabar untuk menunggu esok datang.Aku tidak ingin menangis. Sama sekali tidak. Jika memang mereka merencanakan sesuatu yang tidak baik, dan lalu aku menangis, itu artinya mereka menang. Akan aku buktikan jika mereka salah memilih lawan."Pakai ini Ham," perintahku keesokan harinya sembari menyodorkan sebuah kemeja batik.Ilham membolak balik bungkusan itu."Masih baru Ham. Itu juga dari brand terkenal,""Nyonya menyuruh saya menjadi model endorse?" tanyanya lagi."Kamu itu seperti d*Ra. Banyak tanya. Sudah pakai saja," perintahku. Kali ini aku sedikit kesal. Karena aku juga tak sabar sekaligus deg-degan dengan apa yang terjadi nanti."Sudah? Sekarang antar aku ke hotel Anderson kemarin," pintaku dengan tergesa gesa."Hah? Ke hotel itu lagi Nyonya?""Kenapa? Saya sudah bilang kemarin. Ayolah Ilham saya tidak punya banyak waktu," jawabku sedikit membentak.Entah apa yang difikiran Ilham saat itu. Yang jelas dia juga terburu-buru menuju mobil.Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Ditemani perasaan resah dan gelisah. Sepertinya Ilham mengerti perasaanku saat itu, dia pun memilih untuk tidak mengajakku berbicara.Sebenarnya aku menyuruh Ilham memakai kemeja batik, untuk memintanya menemaniku kedalam. Setidaknya untuk melindungiku. Namun setelah sampai hotel, aku berubah fikiran. Lebih baik aku hadapi sendiri.Aku juga turun dari mobil, tanpa sepatah katapun.Dan kalian tau ternyata tidak mudah menembus ballroom yang disewa keluarga Hadi Santosa. Berkali kali aku menyodorkan nominal uang yang fantastis. Namun mereka tetap menolaknya. Sial.Terpaksa aku kembali kedalam mobil."Kita pulang Ham," ajakku tanpa bisa menyembunyikan wajah kecewaku."Kenapa cepat sekali Nyonya?""Aku tidak bisa masuk. Aku tidak ada undangan. Padahal ini penting sekali.""Nyonya, tunggu sebentar," pintanya."Mau kemana?"Ilham yaknmenjawab. Ia hanya mengambil selembar masker, melesat masuk ke dalam hotel dan aku menunggunya.Tak berselang lama, Ilham kembali. Memberi aku sebuah gelang kertas, sebagai akses masukAku bergetar menerimanya. Bagaimana bisa? Aku yang menawarkan nominal rupiah yang cukup banyak saja di tolak. Apalagi Ilham yang hanya dengan tangan kosong kesana?"Sudah. Pertanyaanya nanti saja Nyonya. Sekarang Nyonya masuk dulu. Selesaikan apa yang harus diselesaikan," pintanya.Hampir saja aku memutuskan mengalah. Hampir saja aku menyerah dan pasrah. Tetapi pertolongan itu ternyata ada.Aku masuk ke ruang acara. Mewah dan meriah. Aku belum bisa memastikan ada acara apa di dalam. Namu bisa aku lihat, Mas Agam. Ya suamiku yang bilang sedang lembur sedang mengobrol dengan santai dan riangnya dengan Mama mertua.Aku mendekat perlahan "Senang ya? Dikira aku tidak bisa menembus acara ini? Kalian salah memilih lawan," ucapku yang membuat mereka melotot tak percaya saat melihat kehadiranku.Masih seperti biasa. Mas Agam terlihat salah tingkah dalam kondisi panik. Sementara Mama Mertua hanya diam mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan kedatanganku.Aku tertawa kecil."Amanda, bagaimana bisa? Aduh kenapa? Aduh jangan marah," tanyanya dengan panik.Orang melihatnya terlihat lucu. Tapi aku merasa jijik.Aku benci dengan pembohong."Tenang Mas. Aku datang kesini dengan baik-baik. Harusnya disambut baik juga dong. Aku adalah tamu," ucapku dengan santai.Wajah Mas Agam memerah. Keringatnya mulai bercucuran. Kebiasaan lama. Itulah yang terjadi jika dia dalam keadaan panik.Aku juga melihat Kanaya-adik iparku tampak wara wiri melihat suasana acara. Aku menatapnya. Seolah menantang tatapan matanya. Dan setelah sadar, aku tau dia merasa aneh. Dan keanehan itu adalah aku. Ya aku bisa hadir di acara ini."Naya, biasa saja tatapanmu itu," tegurku setengah berteriak. Tapi jangan salah, aku masih memberikan senyum kepada Naya. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dan Nay
Mas Agam memegang pipinya yang mulai memerah. Tampak sesekali ia meringis kesakitan."Sakit Mas? Lebih sakit mana dengan perasaanku saat ini? Tapi kamu salah. Jika beranggapan aku akan menangis. Tidak. Aku tidak akan menangisi laki-laki penuh drama sepertimu. Buang-buang waktu," jawabku dengan tajam."Mas Agam," teriak seorang wanita yang ku dengar suaranya menuju ke arah kami. Dia berlari sedikit tergopoh.Aku kira Kanaya yang datang. Tetapi ternyata bukan, wanita yang ada di foto layar depan yang datang.Aku menelisiknya dari atas sampai bawah. Memastikan diri bahwa memang dialah wanita simpanan Mas Agam dibelakang ku.Wanita dengan kulit sawo matang, berbadan berisi, ah lebih tepatnya berbadan cukup gendut untuk porsi wanita. Seperti sedikit berbeda dengan foto yang terpampang. Ah aku lupa, zaman sekarang mudah sekali mengedit sebuah wajah.Dan aku hampir saja tak percaya.Wanita itu bergantian menatapku. Aku tak takut sama sekali. Justru aku tantang sorot mata tajam itu."Maafkan
Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam."Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam."Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.Mas Agam masih saja bergeming."Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak."Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitiaNamun mereka justru melihat ke arahku."Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka."Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mam
POV AUTHOR"Alah, mimpi kamu. Kamu memang bisa menemukan laki laki yang kaya, tapi laki laki seperti Agam itu ibaratkan satu banding seribu," jawab Mama mertua.Manda terkekeh kecil."Memangnya seistimewa apa sih anaknya Ma? Kurangnya banyak kok. Anak kesayangan Mama itu juga tidak sempurna. Duh. Yang mengenal betul seorang laki-laki itu bukan ibunya. Tapi istrinya. Mama dengar? ISTRINYA," jawabnya lagi tak gentar dan penuh penekanan."Ayolah Mas. Talak aku. Biar aku juga segera bisa pulang. Tapi tenang saja aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Tidak ke rumah yang katanya dulu kamu bangun untuk aku. Ambilah lagi rumahmu itu. Aku tidak butuh," tambah Manda."Mas Agam tidak akan menceraikan Mbak Manda. Karena talak itu tidak akan keluar dari mulut Mas Agam, Mbak. Aku yang harusnya tau diri dan mengalah. Aku yang harus pergi. Dan aku yang harus menyudahi semuanya," sela Aisyah."Aisyah, diamlah. Kamu tidak tau apa-apa. Wanita inilah yang egois. Kamu hanya menurut saja ke kita, apa salah
Manda menjawab pertanyaan sang Mama dengan yakin. Dan tentu saja dengan tegar.Tetapi namanya seorang ibu, tentu saja dia khawatir dengan keadaan sang anak. Walaupun sebelumnya lewat sambungan telefon pun , Manda menceritakan semua dengan kuat, tanpa ada suara terisak sedikitpun."Manda, kamu tidak apa apa Nak?" tanya Bu Yosi dengan trenyuh dan tatapan nanar.Manda justru menatap sang Mama dengan aneh."Mama apaan sih? Lihat Manda baik baik saja. Mau diperiksakan ke Psikiater sekalipun juga pasti tak apa. Mama tenang saja. Manda juga bukan tipikal orang yang diam diam lalu bunuh diri. Dih amit amit. Laki laki seperti itu saja ditangisi sampai segitunya," komentar Manda dengan santai."Betul itu Manda. Papa suka cara kamu. Laki laki seperti Agam, banyak modelnya diluar. Bahkan yang lebih dari dia juga banyak. Kalau perlu, papa bisa Carikan yang jauh diatas Agam. Bagaimana?" tanya Pak Irwan kepada sang putri.Namun Manda menggeleng dengan cepat."Tuh kan Pa. Lihat anakmu. Dia bahkan bel
"Kamu itu tidak usah ikut campur Aisyah. Tidak usah sok menjadi pahlawan. Kamu itu sudah beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Harusnya bersyukur. Jadi lain kali jangan banyak tingkah. Saya pulangkan ke kampung baru tau rasa kamu," kata Bu Melisa dengan ketus.Aisyah hanya tertunduk lesu. Nuraninya bertabrakan. Tentu sebagai wanita ia mengerti perasaan Amanda. Baginya ketegaran Amanda hanya kebohongan belaka."Kasihan Mbak Manda, Ma," ujar Aisyah yang justru mendapat tatapan mendelik dari Bu Melisa."Kasihan kamu bilang? Memangnya hidupmu sudah paling benar hingga kamu berani kasihan ke orang lain? Kalau bukan karena saya, mungkin kamu sudah mati loh di kota besar ini."Mendengar itu, Aisyah tidak berani bersua kembali.Amanda benar. Bahwa image mertua baik hati, lembut dan dermawan hanya topeng Bu Melisa saja. Dan sikap tersebut hanya ditunjukan kepada Manda dulu. Ya dulu, karena sekarang Manda sudah tau kebusukannya.Agam juga hanya terdiam setelah acara itu. Dia lebih ba
Aisyah kesal bukan main. Namun ia hanya mampu memendamnya. Ia tak punya keberanian seperti Amanda."Tidak usah protes Syah. Kamu saya nikahi bukan untuk cerewet terhadap hidup saya," gerutu AgamAisyah melengos dengan wajah cemberut. Ia tidak berharap Agam akan peka, akan merayu seperti saat Amanda yang merajuk. Tidak sama sekali. Semata karena ia ingin menunjukan ekspresi kesalnya saja. Tidak lebih.Agam berlalu dari kamar mereka. Dan deru mobilnya mulai menjauh dari apartemen. Aisyah sempatelihat dari jendela."Aaaarrrggghhh," teriaknya.Ia bingung. Ia bisa apa. Ia bahkan tidak punya siapa siapa di kota ini. Kemana ia harus membawa kedua anaknya? Ke kampung? Lalu apakah dia sanggup membesarkan mereka tanpa nafkah dari seorang ayah?Tentu dalam hati kecilnya, ia ingin seperti Amanda. Dengan lantang dan berani melawan mereka, melawan kesewenangan mereka. Tapi dengan latar belakang yang sangat jauh berbeda dengan Amanda, dia berfikir seribu kali untuk mengambil langkah itu.Tanpa Agam,
Agam meremas baju bagian bawahnya. Wajah merah padamnya tak dapat ditutupi. Sementara Manda masih dengan wajah santai dan sumringahnya."Cukup Manda. Tidak usah kamu teruskan," tegur Agam.Amanda tertawa kecil."Kenapa? Panas ya? Salah sendiri bermain api," balasnya dengan ketus.Tidak disangka, justru langkah Manda menuju mobilnya kembali."Amanda, aku belum selesai bicara," kata Agam.Amanda menoleh dengan tatapan sinis."Aku punya rumah. Aku bukan siput yang rumahku, aku bawa kemanapun aku pergi," jawabnya dengan ketus.Agam tertunduk."Tapi Nda. Aku tak berani ke rumahmu. Apa kata orang tuamu nanti. Tolonglah mengerti aku," pintanya setengah mengiba."Mengerti kamu? Enak saja. Punya istri lain saja kamu berani, ketemu orang tuaku kok nyali kamu justru menciut? Laki laki macam apa sih. Pengecut," seru Amanda dengan kesal."Nda," panggil Agam lagi."Kamu dengar, penyesalan dalam hidupku yang paling mendalam adalah saat bertemu kamu. Andai aku boleh memutar waktu, aku tidak akan mau