Share

7

Saat aku kembali ke dalam mobil, justru aku melihat Ilham telungkup seperti posisi tertidur.

"Oh jadi kamu tidak mau masuk karena mau tidur?" tanyaku sembari masuk mobil.

Dia kaget.

"Eh sudah selesai Nyonya? Alhamdulillah. Saya tidak tidur Nyonya," elaknya.

"Lalu kenapa? Seperti orang takut saja. Jangan jangan kamu masuk dalam Daftar Pencarian Orang? Ih serem," komentarku.

Ilham menggeleng dengan cepat.

"Bukan Nyonya. Saya pria baik baik. Hanya saja di depan Hotel itu menjadi tongkrongan teman teman saya. Nanti kalau mereka mengetahui saya, takutnya justru mereka mengajak ngopi. Saya bekerja Nyonya," jawab Ilham dengan sopan.

"Oh begitu. Kirain."

"Nyonya kok cepat sekali. Numpang ke toilet ya? Wah bahaya ya kalau jadi orang kaya, ke toilet saja harus ke hotel," tanya Ilham dengan kekeh kecilnya.

"Enak saja kamu bilang. Saya ada perlu disini. Besok antar saya kesini lagi," perintahku.

"Kenapa tidak menginap sekalian saja Nyonya?" 

Aku sejenak terdiam.

"Oh iya. Benar juga apa katamu."

"Eh tidak usah Nyonya. Lebih baik kita pulang. Buang buang uang saja. Disana sewanya mahal," komentar Ilham.

Bukanya marah, aku justru tertawa melihat gaya bicaranya.

"Jangan tertawa Nyonya. Tawa nyonya terdengar seperti kerupuk, sama seperti Mbok Siti," komentarnya.

"Kerupuk?"

"Iya. Kalau tawa Nyonya terdengar seperti kerupuk renyah. Kalau tawa Mbok Siti terdengar seperti kerupuk kena angin. Mlempem. Tapi jangan bilang bilang ya Nyonya. Nanti saya tidak dibuatkan kopi oleh beliau," pesan Ilham.

"Kamu memuji saya karena tidak ingin gaji naik kan?"

Ilham menggeleng dengan cepat.

"Oh tidak Nyonya. Saya orangnya apa adanya. Ya begini. Kalau memang dinaikan ya memang rezeki saya," jawabnya.

Rasa curiga yang bercampur kesal sedikit terobati oleh candaan Ilham di mobil. Meskipun begitu rasa hati justru tidak sabar untuk menunggu esok datang.

Aku tidak ingin menangis. Sama sekali tidak. Jika memang mereka merencanakan sesuatu yang tidak baik, dan lalu aku menangis, itu artinya mereka menang. Akan aku buktikan jika mereka salah memilih lawan.

"Pakai ini Ham," perintahku keesokan harinya sembari menyodorkan sebuah kemeja batik.

Ilham membolak balik bungkusan itu.

"Masih baru Ham. Itu juga dari brand terkenal,"

"Nyonya menyuruh saya menjadi model endorse?" tanyanya lagi.

"Kamu itu seperti d*Ra. Banyak tanya. Sudah pakai saja," perintahku. Kali ini aku sedikit kesal. Karena aku juga tak sabar sekaligus deg-degan dengan apa yang terjadi nanti.

"Sudah? Sekarang antar aku ke hotel Anderson kemarin," pintaku dengan tergesa gesa.

"Hah? Ke hotel itu lagi Nyonya?"

"Kenapa? Saya sudah bilang kemarin. Ayolah Ilham saya tidak punya banyak waktu," jawabku sedikit membentak.

Entah apa yang difikiran Ilham saat itu. Yang jelas dia juga terburu-buru menuju mobil.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Ditemani perasaan resah dan gelisah. Sepertinya Ilham mengerti perasaanku saat itu, dia pun memilih untuk tidak mengajakku berbicara.

Sebenarnya aku menyuruh Ilham memakai kemeja batik, untuk memintanya menemaniku kedalam. Setidaknya untuk melindungiku. Namun setelah sampai hotel, aku berubah fikiran. Lebih baik aku hadapi sendiri.

Aku juga turun dari mobil, tanpa sepatah katapun.

Dan kalian tau ternyata tidak mudah menembus ballroom yang disewa keluarga Hadi Santosa. Berkali kali aku menyodorkan nominal uang yang fantastis. Namun mereka tetap menolaknya. Sial.

Terpaksa aku kembali kedalam mobil.

"Kita pulang Ham," ajakku tanpa bisa menyembunyikan wajah kecewaku.

"Kenapa cepat sekali Nyonya?"

"Aku tidak bisa masuk. Aku tidak ada undangan. Padahal ini penting sekali."

"Nyonya, tunggu sebentar," pintanya.

"Mau kemana?"

Ilham yaknmenjawab. Ia hanya mengambil selembar masker, melesat masuk ke dalam hotel dan aku menunggunya.

Tak berselang lama, Ilham kembali. Memberi aku sebuah gelang kertas, sebagai akses masuk

Aku bergetar menerimanya. Bagaimana bisa? Aku yang menawarkan nominal rupiah yang cukup banyak saja di tolak. Apalagi Ilham yang hanya dengan tangan kosong kesana?

"Sudah. Pertanyaanya nanti saja Nyonya. Sekarang Nyonya masuk dulu. Selesaikan apa yang harus diselesaikan," pintanya.

Hampir saja aku memutuskan mengalah. Hampir saja aku menyerah dan pasrah. Tetapi pertolongan itu ternyata ada.

Aku masuk ke ruang acara. Mewah dan meriah. Aku belum bisa memastikan ada acara apa di dalam. Namu bisa aku lihat, Mas Agam. Ya suamiku yang bilang sedang lembur sedang mengobrol dengan santai dan riangnya dengan Mama mertua.

Aku mendekat perlahan 

"Senang ya? Dikira aku tidak bisa menembus acara ini? Kalian salah memilih lawan," ucapku yang membuat mereka melotot tak percaya saat melihat kehadiranku.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status