Hamil"Assalammualaikum!" ucapku di depan pintu. Aku sudah sampai di rumah Bapak dan Ibu sekarang. "Waalaikumsalam!" sahut suara Ibu dari dalam rumah. Kucium punggung tangan Ibu dengan takzim ketika sudah berhadapan dengan Ibu di depan pintu."Bu!" Aku menghambur ke pelukan Ibu. Menangis terisak mengeluarkan perih di hati ini. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi? Kenapa malam begini baru sampai sini? Kamu sendirian? Faiz tak mengantarmu?" cerca Ibu dengan berbagai pertanyaan. Ibu pasti bingung melihat kedatanganku malam-malam begini. Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Ibu. Tenggorokan ini terasa tercekat. Sesak di dada kian menjadi ketika wanita yang telah melahirkanku itu mendekap erat tubuh ini. Rasanya, aku ingin menumpahkan seluruh air mataku di pelukannya, agar sakit yang dirasa segera hilang. Ibu membimbingku masuk ke dalam rumah."Menangislah, Nak. Menangislah sepuasmu! Agar rasa sakit di hatimu berkurang," ucap Ibu lembut."Ada apa, Bu? Kenapa Ratna nangis?" Bapak yang baru ke
Mengambil Hasil Tes DNAIya, Mir. Mbak tunggu, ya!" Setelah m nucapkan salam, Mirna memutuskan panggilan telepon. Tak lama, ponselku kembali berbunyi. Sebuah kiriman video masuk ke aplikasi berwarna hijau itu. Aku dan Vera menonton video itu dengan serius sampai akhir. "Fix! Simpan video ini. Aku yakin ini akan berguna nanti!" ucap Vera bersemangat."Iya, itu juga yang aku pikirkan. Makanya aku meminta Mirna untuk terus memata-matai Chintya.dan merekam semua tindak-tanduknya yang mencurigakan. "Ya, sudah! Kita tunggu saja reaksi dari Faiz. Tapi, kalai ternyata dia tak juga mengambil tindakan. Kita yang bertindak! Kamu siap kan, Ratna?""Siap, dong. Apalagi ada kamu, sahabat terbaikku. Aku pasti kuat melewati semua ini.""Yup, betul. Kamu bisa mengandalkan aku. Kapan pun aku siap membantumu!" ucap Vera sembari tertawa. Dasar Vera. Kalau ada dia, sedihku selalu hilang. Dia memang sahabatku yang selalu ada untukku, baik suka maupun duka. ***Seminggu kemudian Aku sedang menonton te
Hasil Tes DNA"Iya, ini aku buka." Dengan tangan gemetar, dan hati berdebar tak menentu kubuka amplop yang membungkus hasil tes DNAku dengan Keysha. "Ya Allah!" Kukedipkan mata ini berulang kali, takut kalau mata ini salah membaca. Seketika tubuhku terasa lemas tak bertulang. Aku ambruk, jatuh ke lantai. Air mata yang memenuhi kedua kelopak mata ini, seketika jatuh dan luruh di pipi. "Kenapa, Rat?" Vera merampas kertas yang berada di tanganku. Lalu membaca hasilnya."Alhamdulillah, Rat! Anakmu ketemu, Rat!" teriak Vera sembari memeluk dan mengguncang-guncang bahu ini. Aku hanya bisa menangis. Menangis bahagia, anak yang selama ini aku rindukan ternyata ada di dekatku. Ya Allah, hamba sangat bersyukur, engkau telah mengembalikan anak hamba yang hilang. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Rasanya aku ingin menjerit sekuat-kuatnya karena kebahagiaan ini. Ingin aku berlari ke rumah Bang Faiz, lalu mengambil Keysha dari sana. Tapi, itu tak mungkin. Bang Faiz pasti akan menghalangiku. A
Bertemu Pengacara***"Ya udah, masuk dulu, nanti kita ngobrol di dalam." Andi mengajak kami masuk ke rumahnya. Kami duduk di sofa yang ada di ruang tamu. "Aku tinggal ke belakang sebentar, ya! Mau minta tolong Bik Minah buatin minum." Andi beranjak meninggalkan kami."Jangan repot-repot, Ndi! Keluarin aja semua!" seru Vera diikuti gelak tawa dari Andi.Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan ini. Tak ada foto Andi dengan istrinya yang terpampang di sana. Hanya ada foto-foto Andi seorang diri dan fotonya bersama kedua orang tuanya, yang berjejer rapi di atas lemari kecil di belakang sofa"Ver, si Andi belum nikah, ya?" tanyaku kepada Vera."Kenapa? Minat jadi istrinya?" Vera meledekku. "Apaan, sih?" Sekali lagi aku mencubit lengan Vera."Awww, lama-lama bisa lebam lengan ini, Ratna!" Vera kesakitan, lalu mengusap-usap lengannya. "Kenapa, Ver?" tanya Andi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping kami."Gak apa-apa, cuma digigit nyamuk aja!" jawab Vera sekenanya. Aku m
Kabar BaikDua minggu kemudianAku sedang membuat pola-pola jilbab dan baju gamis di kamarku. Ya, aku sudah kembi ke rumah orang tuaku kemarin. Tiba-tiba, ponsel yang kuletakkan di atas meja berdering. Tak ada nama yang tertera di layar ponsel, hanya sebuah nomor baru. Siapa ya? Pikirku.Kutekan tombol berwarna hijau, lalu kudekatkan benda pipih itu ke telinga. "Halo, assalammualaikum," ucapku mengawali percakapan. "Hei, Ratna. Berani-beraninya kau melaporkan Chintya ke polisi, ya! Mau main-main dengan kami? Apa yang kau anggarkan sampai berani melakukan itu, hah? Lihat saja, kau tak akan berhasil memenjarakan Chintya," cerca Mama mertuaku. Bukannya menjawab salam dariku, malah marah-marah gak jelas. Aku mendapat informasi dari Andi, kalau hari ini Chintya dipanggil ke kantor polisi. Dia masih menjalani pemeriksaan di sana. Semoga status Chintya akan segera naik menjadi tersangka. "Kok marah-marah begitu, Ma? Mama ketakutan? Apa Mama juga terlibat dan bersekongkol dengan Chintya
Salah PahamPagi ini aku dan Vera kembali ke kota Kisaran. Kota dimana aku dan Bang Faiz pernah mengukir kenangan indah. Walau hati ini sudah mengikhlaskan kandasnya hubungan kami, namun, entah mengapa masih ada rasa yang mengganjal di hati. Rasa itu meninggalkan perih di sini.Kepergianku dari rumah itu bukan semata atas keinginanku. Aku masih merasa ada sesuatu yang menghimpit hati ini. Bang Faiz mengusirku dengan sebuah alasan yang dia sendiri belum tahu kebenarannya. Walaupun sebenarnya, sikap Bang Faiz sudah dapat dijadikan pegangan, kalau ternyata lelaki yang bergelar suamiku itu sudah tak dapat lagi dipertahankan, karena dia sendiri sudah tak percaya kepadaku. Namun, aku masih belum terima difitnah seperti itu."Rat! Ngelamun lagi? Masih mikirin Faiz lagi?" Pertanyaan Vera membuyarkan lamunanku."Nggak!" jawabku seraya mengedipkan mata ini agar butiran-butiran bening yang sedari tadi sudah menggantung di kedua kelopak mata ini, tak jatuh di depan Vera."Apaan! Tuh, matamu ber
BerpisahAku harus cari Bik Surti. Aku harus tanya, siapa lelaki yang bersamanya kemarin. Ada hubungan apa dia dengan lelaki itu? Apa Bik Surti juga ikut dalam fitnah keji ini? Aku berbalik dan melangkah gontai menuju mobil yang sedang terparkir di seberang jalan. Kutatap nanar ke arah rumah Bang Faiz. Perih, hatiku sangat perih mengingat perlakuan Bang Faiz tadi. Dia menganggap, seolah-olah aku ini pelac*r murahan, hingga aku tak boleh membawa dan merawat anakku sendiri. "Kita kemana, Bu?" Pertanyaan Pak Kardi membuyarkan lamunanku. "Ke toko yang menjual alat-alat jahit, Pak. Jalan aja sambil saya arahkan," jawabku sembari menyapu sisa air mata yang membekas di pipi ini.Pak Kardi melajukan mobil ke arah yang sesuai dengan instruksi yang kuberikan. Tak lama kami tiba di depan toko yang dituju."Permisi, Pak. Apa Bik Surti masih bekerja di sini?" tanyaku pada salah seorang pekerja yang kebetulan sedang membersihkan mesin jahit di depan toko."Bik Surti? Kayaknya gak ada yang namanya
Menjemput Keysha"Gimana? Jadi kita ke rumah Faiz?" tanya Vera sembari menyapu sudut bibirnya dengan tisu."Kayaknya aku berubah pikiran. Biar besok, aku sendirian ke rumah Bang Faiz.""Kamu yakin, Rat? Gak mau aku temenin?" tanya Vera."Yakin. Aku takut kalau kita datang bertiga, Bang Faiz malah tak mengizinkan aku bertemu dengan Keysha. Dia pasti menduga aku ada hubungan dengan Andi." "Ya udah, kalau maunya begitu. Tapi, kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku ya, Rat! Sekali lagi aku minta maaf atas kejadian tadi," ucap Andi dengan raut wajah penuh penyesalan. Aku mengangguk.Kami segera pergi meninggalkan kafe dan berpisah dengan Andi di pelataran parkir.*"Halo Mbak-Mbak semua, apa kabar?" sapaku kepada para wanita hebat yang telah banyak mbantu usahaku hingga sesukaes ini."Eh, Mbak Ratna. Kok gak ngomong-ngomong mau ke sini?" ucap Mbak Wiwin sembari bangkit dari kursi jahitnya lalu menyambut kedatanganku dan Vera."Iya, Mbak, mendadak soalnya. Ini ada oleh-oleh untuk Mbak-Mbak