Share

Kosan Nadin

Malam harinya, sepulang dari kediaman Bramantyo, Arkan yang mengendarai motor matic yang diberikan oleh Dinda sebagai kado ulang tahunnya yang ke-28.

Melaju dengan kecepatan penuh, Arkan membelah jalanan yang cukup ramai, bermaksud menemui Nadin yang tidak bisa di hubungi sedari siang.

Sesampai di depan kosan Nadin, Arkan memarkirkan motornya secara sembarangan, kemudian dia langsung mengenakan topi dan bergegas melangkah menuju kamar Nadin yang berada paling pojok.

Sesekali Arkan memperhatikan sekitar, takut ada orang yang memergoki aksinya. Apalagi Arkan tahu, kalau kosan ini banyak di huni oleh karyawan yang bekerja di kantor Dinda.

Tok ... tok ....

Tidak lama kemudian, pintu terbuka, Arkan terperangah ketika melihat penampilan Nadin tampak jauh berbeda dari biasanya, di mana rambut acak-acakan dan matanya tampak begitu sayu.

"Ada apa?" tanya Nadin tanpa basa-basi.

Tanpa meminta persetujuan Nadin, Arkan langsung menerobos masuk ke kamar kosan Nadin dan menguncinya.

"Apa yang kamu lakukan? Bagaimana kalau pemilik kosan ini tahu dan berakhir dengan aku di usir seperti tempo lalu, Arkan?!" 

Nadin membeliak, dadanya naik turun. Detik berikutnya, dia langsung berjalan menuju pembaringan dan menjatuhkan badannya sendiri.

Arkan yang merasa bingung dengan sikap Nadin, segera menghampiri wanita berpenampilan acak-acakan tersebut dan duduk tepat di sebelahnya.

"Nadin, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu tidak menjawab telepon maupun pesan dariku?"

"Kenapa kamu bertanya padaku?! Tanyakan saja pada calon istrimu ini, Arkan!" jawab Nadin dengan penuh penekanan diakhir kalimat.

Merasa ada yang tidak beres dengan Nadin. Arkan, pun segera meraih tangan Nadin, mengenggamnya dengan cukup erat.

Malahan sesekali Arkan mendaratkan kecupan, tepat di punggung tangan Nadin yang terasa sedikit dingin.

"Sayang, memangnya apa yang Dinda lakukan padamu?"

Bukannya langsung menjawab, Nadin malah memalingkan wajahnya ke sisi lain seraya mengigit bibir bawah.

"Pokoknya dia begitu menyebalkan, Mas! Aku tidak tahan lagi, aku ingin keluar dari pekerjaanku yang sekarang."

"Jangan, Nadin!"

Nadin menoleh, dia menatap Arkan dengan tajam. 

"Tetapi, kenapa, Mas?"

"Ya, jangan saja! Kamu tahu, 'kan, mencari pekerjaan di zaman sekarang itu tidak mudah."

Nadin terpejam, dia kembali mengigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di tariknya satu tangannya yang berada dalam genggaman Arkan.

"Mas, tapi kamu bisa menjamin hidupku. Bukannya kamu selalu bilang, kalau Dinda suka memberikan uang kepadamu dengan jumlah yang tidak sedikit?"

Arkan menghela napas panjang, di tatapnya Nadin dengan tajam, hingga membuat wanita itu menelan ludah.

Sejujurnya, Nadin merasa takut tiap kali Arkan bersikap seperti itu padanya. Nadin, merasa kalau Arkan berubah secara drastis.

Terbukti dari Nadin yang langsung menunduk dalam seraya meremas tangannya dengan kasar.

"Berapa kali harus aku katakan, Nadin. Kalau semua uang itu akan aku gunakan untuk kita menikah nanti, untuk kita bisa pergi ke luar kota!" bentak Arkan tanpa ragu, hingga membuat Nadin tersentak.

Mata wanita yang memakai piyama berwarna biru laut itu sedikit memanas, dia masih tidak berani mendongak sedikitnya. Belum lagi, dadanya tiba-tiba sesak, ketika mendapatkan perlakuan kasar dari Arkan. 

Nadin mencengkeram piyamanya dengan kasar seraya menggertakkan gigi. Jujur saja, hati Nadin begitu sakit, ketika tahu kalau Arkan malah memperlakukan Dinda dengan sebaliknya.

"Maafkan, aku," lirih Nadin di sela-sela rasa sakit yang mendera hatinya.

Namun, Arkan yang baru sadar, kalau dia bersikap berlebihan pada Nadin, kembali meraih tangan kekasihnya.

"Tidak, Nadin. Harusnya aku yang meminta maaf, karena telah berlaku kasar padamu."

Nadin menggeleng lemah, satu tangannya sengaja dia gunakan untuk mengusap ujung matanya yang sedikit berair.

"Tidak apa-apa, bukannya aku layak mendapatkan ini semua, Mas?"

"Maksudmu?" tanya Arkan sembari sedikit menundukkan kepala, berusaha menatap Nadin.

Akan tetapi, wanita itu langsung memalingkan wajah ke arah lain, tidak ingin bertatapan dengan Arkan.

"Aku hanya wanita selingkuhanmu, Mas. Jadi, aku berhak mendapatkannya, 'kan?"

"Kenapa kamu--"

Brak!

Nadin dan Arkan langsung terperanjat dari tempat masing-masing, mereka saling pandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Arkan bangkit dari duduknya berniat keluar kamar.

Akan tetapi, Nadin malah menggeleng, mencegah Arkan untuk keluar. Arkan dengan keras kepalanya tidak menghiraukan perintah Nadin dan tetap pergi keluar.

Namun, sebelum itu, Arkan sudah lebih dulu menggunakannya topi dan masker. Dengan harapan tidak ada seorangpun yang tahu.

"Ada apa ribut-ribut?" tanya Arkan sembari menunduk, menatap kaki seorang wanita yang berdiri di hadapannya.

"Maaf, barusan saya tidak sengaja menendang kursi yang ada di depan kamar ini," jelas wanita itu tanpa rasa gugup sedikitpun.

Arkan mengangguk, tetapi beberapa detik kemudian, pandangan jatuh pada gawai yang di pegang wanita tersebut, serta sebuah bangku plastik yang berada tidak jauh darinya, di mana kursi itu sudah tergelak dengan posisi menyamping.

"Baik, tidak apa-apa."

"Terima kasih banyak dan maaf telah menganggu."

Arkan kembali bergegas masuk ke kamar Nadin, tetapi gerakannya terhenti oleh ucapan wanita yang bahkan tidak Arkan ketahui rupanya.

"Tetapi, kalau boleh saya ingatkan, jam malam di kosan ini untuk orang asing hanya sampai pukul sepuluh malam, sementara ini sudah hampir jam dua belas malam," sambung wanita asing tersebut.

"Terima kasih sudah mengingatkan. Saya akan pergi."

Karena takut Nadin terancam di keluarkan dari kosan, maka Arkan pun bergegas pergi.

Sepeninggalnya Arkan, wanita yang masih berdiri di depan kamar Nadin itu tersenyum sinis, kala ia menatap layar gawainya yang menampilkan sebuah rekaman suara.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status