Pov RafiAku menggenggam erat amplop putih yang baru saja kuterima dari salah satu temanku yang berprofesi sebagai dokter kandungan. Kubuka perlahan amplop tersebut, dengan hati berdebar kubaca satu persatu kata yang ada. Aku menahan nafas saat melihat bagian akhir surat tersebut. Aku bernafas lega saat dokter menyatakan aku sehat dan tak ada masalah di bagian reproduksiku. Jadi selama ini masalah yang membuat aku tak kunjung punya anak berada di Silvi, wanita yang lima tahun yang lalu terpaksa aku nikahi.Di tahun pertama pernikahanku dengan Silvi semua berjalan baik-baik saja. Walaupun kami menikah melalui perjodohan, nyatanya kami bisa hidup berdampingan. Aku yang saat itu belum mencintai Silvi sama sekali perlahan belajar membuka hati untuknya.Memang di hubungan kami tak ada yang spesial seperti pasangan pada umumnya. Aku menjalani semua ini hanya karena jika aku memang tak bisa menentang kemauan orang tuaku.Memang tak ada kesulitan yang berarti dalam kehidupan rumah tanggaku.
“Tidak salah lagi dia anakku.”Perlahan kubuka jendela mobil untuk melihatnya lebih jelas. Matanya, hidungnya persis dengan pantulan wajahku di kaca spion. Tanpa pikir panjang aku segera turun berniat menyapa mereka.“Anita,” panggilku ragu. Dia yang sedang memakaikan helm pada anak itu menoleh. Dia terlihat kaget saat pandangan mata kami bertemu, namun dengan cepat ia berbalik dan segera pergi. Kuusap wajahku kasar saat ia hilang dari pandangan. “Maaf, Bu. Apa yang barusan jalan itu Bu Anita?” tanyaku pada seorang Ibu yang juga sedang menjemput anaknya.“Iya, Pak. Dia Bu Anita mamanya Miko.”**Aku memutuskan untuk tidak langsung menemui Anita dan harus memikirkan cara agar ia mau menerimaku lagi.Ada rasa yang membuncah sejak aku tahu Anita ternyata tak pernah menggugurkan kandungannya. Ia juga terlihat sangat menyayangi Miko, anak kami. Hari-hariku yang biasanya datar kini terasa memiliki tantangan. Anak yang aku dambakan selama ini sudah ada di depan mata.Seminggu berlalu, aku
PoV Anita“Pergi saja, Mas,” kataku sambil membawa Miko ke dalam.“Om Rafi mau ke mana, Ma? Katanya kalo udah nikah sama mama dia jadi Ayah Miko. Kenapa pergi lagi? Aku mau sama Ayah, Ma!” Miko terus meracau menanyakan Mas Rafi.“Miko sama mama dulu, ya. Ayah ada urusan penting.”“Tapi, Ma...”“Coba Miko bilang sendiri sama Ayah.” Aku membiarkan Miko menghampiri Mas Rafi.Benar saja Mas Rafi yang sudah bersiap pergi langsung mengurungkan niatnya saat Miko memanggilnya. Wajahnya terlihat bimbang, ia menggendong Miko sambil memberinya pengertian, tapi Miko tetap saja tak memperbolehkan ia pergi.Aku tersenyum penuh kemenangan saat Mas Rafi akhirnya tak jadi pergi dan kembali masuk kembali ke dalam rumah setelah menyuruh Desi pulang terlebih dahulu.“Sini sama Mama, Sayang. Ayah mau pergi sebentar, besok pasti Ayah balik,” ucapku pura-pura memberi pengertian.Miko terus menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya pada Mas Rafi.“Biar seperti ini dulu, toh di sana ada Mama dan Desi seb
“Mulai sekarang Ayah bobo bareng Mama, kan?” Aku terperanjat mendengar pertanyaan Miko. Mas Rafi yang tadinya santai juga langsung berdiri memandangku dan Miko. Bagaimana mungkin anak sekecil ini bisa bertanya hal seperti itu.“Ma-maksudnya bobo sama Miko? Ayah bobo sama Miko?” tanyaku hati-hati.Ia mengangguk namun masih enggan beranjak masuk. Aku mengedipkan mata sebagai isyarat pada Mas Rafi untuk memberi alasan pada Miko.“Ayah ngerjain tugas dulu sebentar ya, sayang. Nanti Ayah nyusul,” ucap Mas Rafi sambil menunjukkan ponselnya.Untung saja Mas Rafi cepat paham saat kuberi kode. Jadi tak perlu ada drama di antara kami bertiga. Akhirnya Miko mau masuk ke kamar dan segera tidur.Ternyata hampir dua jam aku tertidur di samping Miko. Aku terbangun saat mengingat sesuatu. Segera aku berdiri perlahan agar tak mengganggu Miko lalu berjalan mengendap-endap meninggalkan kamar untuk mengecek Mas Rafi pergi atau tidak.Aku tersenyum senang saat melihat Mas Rafi tengah berbaring di kursi
"Udah di kunci belum?" tanya Mas Rafi dari balik pintu.Bukannya menjawab aku malam menjatuhkan tubuhku dalam keadaan telungkup di atas ranjang. Kubenamkan wajahku ke bantal dalam-dalam sambil membayangkan bagaimana jadinya kalo tadi Mas Rafi benar-benar ikut masuk ke dalam kamar. “Arghh...!” Bisa-bisanya aku berpikiran kotor seperti itu. "Ma, Ayah mana?" tanya Miko yang baru saja membuka matanya."Emm... A-Ayah sudah bangun dari tadi," jawabku sekenanya.Miko turun dari ranjang dan berjalan mendekati pintu. Ia berbalik saat tak bisa membuka pintu yang masih terkunci."Kok pintunya di kunci, sih!" Katanya sambil menggerak-gerakan handle pintu.Tanpa menjawab aku segera bangun dan membukakannya. Aku kembali untuk mengambil ikat rambut, lalu berjalan mengikuti Miko.Ada pemandangan tak biasa saat kulihat Miko tengah berbaring di samping Mas membenamkan kepalanya di dada Mas Rafi yang tidur dalam posisi menyamping. Tak ingin mengganggu akhirnya aku melewatinya begitu saja dan bergeg
"Rania, kamu kenapa?" Aku berdiri dan menuntunnya agar duduk di kursi."Mas Rendi mengamuk, Mbak! Dia hampir saja memukuliku," jelasnya."Sebentar aku ambil minum dulu, ya!"Gegas aku berlari kedapur dan kembali dengan membawa segelas air putih. Aku segera menyodorkannya pada Rania dan langsung ia teguk hingga tandas. "Udah sedikit tenang, kan?""I-iya, Mbak!" Rania mengangguk pelan."Udah bisa cerita sekarang?""Mas Rendi mengamuk, Mbak! Dia mabuk sejak semalam dan sekarang dia sedang mengamuk di rumah.""Terus kenapa kamu ke sini?" tanyaku sedikit heran."Dia meracau manggil nama Mbak terus, mungkin dia begitu karena Mbak menikah.""Terus keluarganya gimana?"Rania menggeleng, "Mereka semua sudah angkat tangan. Aku ke sini cuma mau bilang agar Mbak berhati-hati. Takut sewaktu-waktu dia datang ke sini," ungkap Rania.Aku mengusap wajahku kasar. Separah itukah Rendi saat marah. Padahal selama ini aku tak pernah sekalipun melihat ia berbuat nakal seperti laki-laki pada umumnya. Jang
“Miko, badan kamu panas banget, Nak.” Aku meraba dahi Miko berkali-kali. Walaupun telah meminum obat turun panas dua jam yang lalu, panas di badan Miko tak kunjung turun. “Miko mau minum, Ma,” ucapnya dengan mata yang masih terpejam.Aku membangunkan Miko dan meletakkan beberapa bantal di punggungnya agar ia bisa duduk. Aku sodor kan segelas air yang langsung di minumnya separuh. Kemudian Miko berbaring dan kembali memejamkan mata.Jam menunjukkan pukul dua dini hari tapi mataku masih saja enggan terpejam. Berkali-kali aku bangun untuk mengecek dan mengompres Miko. Aku mengambil ponsel di atas nakas berharap ada balasan atau telepon dari Mas Rafi. Tapi nihil, jangankan membalas, pesan yang kukirimkan semalam juga masih centang abu-abu, itu tandanya ia belum membacanya. Aku beralih mengecek status dari beberapa temanku. Tanganku berhenti mengusap layar ponsel saat melihat status Mbak Silvi lima jam yang lalu. Ia mengunggah sebuah gambar yang menunjukkan Ia dan Mas Rafi sedang berad
“Mas, ada Ari,”Aku menunjuk ke arah pintu sambil mendorong Mas Rafi. “Tunggu nanti malam kau, Anita!” pekik Mas Rafi yang baru menyadari jika telah dibohongi.Aku berdiri di balik pintu kamar sambil meraba dada yang sejak tadi tak berhenti berdebar. Entah mengapa aku selalu terbuai dengan perlakuan Mas Rafi. Tak bisa dipungkiri, dihatiku masih ada sedikit rasa untuk Mas Rafi, berkali-kali kucoba menepis semua rasa itu, tapi tak juga hilang.Setelah kejadian itu aku selalu berusaha menghindar jika berpapasan dengan Mas Rafi. Aku takut merasakan debaran itu lagi saat memandangnya.“Apakah aku jatuh cinta lagi?”**“Hey wanita pelakor! Udah puas kamu bisa merebut Mas Rafi dari aku, ya!” ucap Mbak Silvi sambil berkacak pinggang. Aku baru saja keluar dari tempat kerja saat seseorang menyeretku ke sebuah tanah kosong di belakang gudang. Di sana Mbak Silvi telah menunggu bersama beberapa temannya. “Oh, jadi ini istri kedua Rafi. Benar-benar kampungan.” Salah seorang teman Mbak Silvi maju