"Urus saja anak kamu sendiri!"
Mobil segera kujalankan meninggalkan halaman rumah. Aku abaikan wajah mengiba Mas Arif. Lelaki itu kenapa memikirkan perasaannya sendiri, tak tahukan betapa hancur hatiku ini.Hening, tak satu kata yang mampu keluar dari mulutku. Talita sendiri asyik dengan ponsel. Seolah tak ada masalah yang menimpanya.Sejujurnya aku ingin kembali seperti anak kecil. Mereka bisa tersenyum meski kenyataan tak seindah khayalan. Mereka mudah menangis, namun dalam sekejap dapat tertawa hanya karena hal konyol.Dewasa menyakitkan, apalagi jika takdir mempermainkan hidup dan hati. Ingin memaki, tapi tidak tahu pada siapa? Menjerit pun percuma. Nyatanya berdamai dengan keadaan tak semudah mengomentari kehidupan orang lain.Taman terbilang sepi saat kami tiba. Mungkin karena ini hari kerja sehingga tak banyak orang yang bermain di sini."Talita mau main apa?""Prosotan sama ayunan, Ma.""Mama tunggu di sini, ya."Talita mengangguk, lalu berlari menuju tempat bermain. Aku melangkah gontai, duduk tepat di bawah pohon rindang. Sedikit lega saat melihat senyum Talita yang begitu lebar. Seolah luka yang Mas Arif torehkan telah hilang.Kebanyakan pengunjung taman adalah ibu-ibu yang tengah menyuapi anaknya. Tak aku temukan anak-anak seuasia Talita. Ya, karena mereka pasti sekolah.Aku diam, menatap Talita yang asyik bermain. Sesekali tawa lepas keluar dari mulutnya."Siapa Cintya, Mas?""Dia anakku, Dek."Mas Arif menundukkan kepala, suaranya bergetar lalu bulir demi bulir jatuh dari sudut netra."An ... anakmu?"Suaraku bergetar. Tanpa diminta bulir demi bulir air bening jatuh. Sesak, seolah paru-paru tak mampu menampung oksigen. Bahkan kepala mulai berputar-putar. Tuhan, kenyataan apa ini?"Maaf, Rin. Maaf."Sesaat aku diam, tenggelam dalam luka yang tak mampu aku jelaskan. Delapan tahun usia pernikahan kami. Selama itu Mas Arif membohongiku. Apa dia pikir aku tak bisa menerima jika ia duda sekali pun? Tapi kenapa harus berbohong?"Di mana ibunya? Kenapa dia harus dibawa kemari?"Selama delapan tahun, kenapa sekarang dia mengakuinya? Kenapa di saat ulang tahun Talita? Kenapa?"Ibunya meninggal, Rin. Jadi tolong terima dia sebagai anak kita.""Kenapa kamu tak mengatakan jika punya anak sebelum menikah denganku? Kenapa status kamu masih bujangan saat itu? Kalian berzina?""Mama ... huhuhu...."Aku terperanjak, tangisan anak kecil menyentak lamunanku. Menghilangkan kenangan malam itu. Seketika aku menatap ayunan. Putri kecilku masih asyik main ayunan. Tangisan itu berasal dari seorang balita yang terjatuh tak jauh dari tempatku duduk.Setelah lelah bermain di taman, kami pun pergi ke minimarket terdeket untuk membeli minum. Sejenak menyenangkan diri tak masalah.***Tepat pukul lima sore kami tiba di rumah. Mas Arif tengah duduk di teras seraya menatap tak suka pada kami. Namun sorot mata itu tak membuatku ketakutan. Justru kebencian yang semakin besar tertanam."Talita langsung mandi, ya."Talita mengangguk, belanjaan miliknya ia bawa. Dengan cepat dia berjalan dan menghilang di balik pintu. Sengaja dia kuminta pergi karena Mas Arif sudah menunjukkan amarah. Aku tak mau Talita mendengar pertengkaran kami.Pertengkaran orang tua adalah luka bagi anak. Mungkin dia diam, namun kepalanya akan selalu mengingat kejadian itu. Selama ini aku selalu menjauhi perdebatan. Namun kenapa justru Mas Arif yang melakukannya?"Kenapa lama sekali, Dek? Mana kamu gak masak."Aku menghela napas, entah kenapa pertanyaan itu sangat menyakitkan? Tak tahukah apa yang aku lakukan saat ini? Mencoba menenangkan hati agar bisa berdamai dengan kenyataan. Namun tak semudah itu Bambang! Tak semudah membalikkan telapak tangan."Kamu bisa beli online kan, Mas? Atau mungkin beli di rumah makan."Aku kembali melangkah seraya membawa barang belanjaan."Gak begitu juga cara kamu, Dek."Seketika kuhentikan langkah kaki ini. Kembali memutar badan, menatap tajam lelaki yang berdiri tepat di hadapanku."Sebelum kamu berkomentar ini dan itu, harusnya kamu ngaca, Mas! Apa yang kamu lakukan selama ini padaku, pada Talita!"Aku tinggalkan Mas Arif yang diam mematung di depan pintu.Sayur dan buah kutata di dalam kulkas. Sabun dan bahan pokok yang lain masih berada di atas meja. Aku menata satu persatu karena tak ada yang membantu."Boleh aku bantu, Ma."Aku menghentikan gerakan tangan lalu menoleh ke samping kanan. Anak itu sudah berdiri di sampingku. Lengkungan indah tergambar di wajahnya.Ah, apa-apaan ini, kenapa aku justru memperhatikannya dengan detail?"Boleh Cintya bantu, Ma?""Gak usah! Aku bisa sendiri! Satu lagi ... jangan panggil aku mama, aku bukan mama kamu!"Senyum yang sempat tergambar indah seketika lenyap. Hanya mendung yang nampak di sorot mata itu."Pergi sana! Jangan ganggu!"Cintya berlari menuju kamar tamu. Ah, kenapa aku jadi jahat begini? Dia hanya anak kecil yang tak tahu apa pun. Harusnya yang kubenci orang tuanya, bukan dia. Tapi karena dia, Talita menangis.Sudahlah, tak penting mengurusi anak itu. Biar saja Mas Arif yang melakukan tugas itu."Mama!"Belum selesai aku meletakkan belanjaan tapi teriakan Talita menghentikan gerakan tangan ini. Sabun kembali kuletakkan di atas meja. Gegas kulangkahkan kaki menuju kamar Talita."Kenapa teriak, Nak?" tanyaku seraya membuka pintu kamar.Talita dan Cintya sudah berdiri berhadapan di sebelah ranjang. Putri kecilku menggenggam erat boneka beruang kesukaannya. Sementara Cintya hanya diam seraya menundukkan kepala."Talita kenapa teriak?""Dia mau ambil mainanku!" Talita menunjuk Cintya."Aku cuman pinjam. Aku ...."Cintya berlari tanpa melanjutkan kata-kata. Melihat netranya yang mengembun membuatku merasa bersalah. Ah, untuk apa aku memikirkannya?"Kenapa Talita gak pinjamkan?""Ini punyaku, Ma! Bukan punya dia."Aku menghela napas, bingung harus bagaimana? Talita harus belajar berbagi, namun apa bisa? Aku saja belum bisa menerima keberadaannya. Ini terlalu menyakitkan untuk kami.Tuhan, kapan ini berakhir?***Pagi-pagi aku sudah disibukkan dengan kegiatan rumah. Masak adalah prioritas pertama sebelum melakukan kegiatan yang lain. Ya, karena Talita butuh asupan gizi sebelum berangkat sekolah.Semalam aku sudah membujuknya, untungnya dia mau bersekolah kembali. Ya, walaupun harus membawa bekal sendiri. Tak apalah repot sebentar, semua demi masa depannya.Sarapan sudah tertata rapi di atas meja. Tak lupa segelas susu untuk Talita."Sayang, sarapannya sudah siap!""Iya, Ma!"Tak lama terdengar langkah kaki mendekat. Bukan hanya satu, melainkan beberapa langkah kaki. Aku menoleh, benar saja Mas Arif dan Cintya yang datang terlebih dahulu.Tunggu, ada yang aneh dari penampilan Mas Arif kali ini. Kemeja dan celana panjang kain melekat di tubuhnya. Aroma maskulin juga tercium kala suamiku mendekat."Kamu mau ke mana, Mas?"Kalimat itu meluncur begitu saja. Meski sudah kucoba untuk bungkam dan diam. Namun rasa penasaran menghapuskan keinginan itu."Aku mau daftarkan Cintya sekolah. Dia akan sekolah di sekolah yang sama dengan Talita.""Apa!"Aku menghela napas beberapa kali. Sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak. Ingin rasanya memaki, namun memilih diam karena keputusan Mas Arif tak bisa diganggu gugat. Hening, mobil ini berjalan lambat. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Bahkan tak ada alunan lagu yang terdengar. Tegang, itu yang kami rasakan saat ini. Ingin rasanya lari, atau mungkin menghilang dalam sekejap. Namun lagi-lagi tubuh terpatri. Sungguh, aku benci keadaan ini. Pernikahan adalah menyatukan dua orang untuk hidup bersama dalam istana yang dibangun atas dasar cinta dan kepercayaan. Mulanya aku percaya penuh jika istanaku akan berdiri kokoh. Namun rupanya aku salah, istana kami dibangun dengan pondasi kebohongan, perlahan bangunan itu mulai rapuh bahkan nyaris roboh. Semenjak kedatangan Cintya, rumahku bak neraka. Amarah dan kebencian justru semakin kuat mengakar. Tuhan, apa yang harus aku lakukan saat rasa percaya nyaris hilang? Aku duduk tepat di samping Mas Arif, namun tak sediki
"Bagaimana, Bu. Syarat untuk mendaftarkan sudah ada, kan?"Ibu kepala sekolah kembali bertanya setelah kami diam untuk beberapa saat. Lebih tepatnya aku mengabaikan kepanikan Mas Arif. Biar saja dia bertanggung jawab atas pilihan hidupnya. Toh dia tega menghancurkan kebahagiaan kami. "Bu Karina.""Itu urusan suami saya, Bu. Saya tidak mau ikut campur."Seketika Mas Arif menatapku tajam, namun aku pura-pura tak melihat. Biar dia mengurus sendiri urusannya dengan Cintya. "Ini rapot dari sekolahnya terdahulu, Bu. Kartu keluarga menyusul. Apakah boleh?" Mas Arif meletakkan dokumen penting di atas meja. "Maaf, Bu. Saya permisi, biar suami saya yang mengurus semuanya."Aku beranjak sebelum ibu kepala sekolah menjawab ucapanku. Jujur saja aku tak sanggup berada di tempat itu terlalu lama. Ada rasa sesak yang kian terasa di dada. Aku takut menangis di depan wanita nomor satu di sekolah ini. Aku melangkah perlahan menuju mobil. Semilir angin memainkan rambut yang kubiarkan tergerai. Sesek
"Apa maksud kamu, Mas? Mengangkat anak? Cintya bukan anak kamu!"Mas Arif terdiam, wajahnya menjadi tegang kala aku berbalik dan menatap tajam netranya. Buru-buru dia mengalihkan pandangan, pura-pura mencari ponsel padahal benda itu ada di tangan. Sungguh tak masuk akal. "Kamu ngelantur, ya, Dek? Mana ada aku bilang angkat anak?"Aku menggeleng pelan, kecewa dengan sikap Mas Arif yang tak mau berkata jujur. Jelas aku mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Apa dia pikir aku tuli? Jangan membohongiku, Mas! "Siapa ibunya Cintya? Di mana rumahnya? Aku mau tahu asal usul Cintya.""Mas udah bilang dia anakku, kan!""Aku minta Mas jujur! Kalau tidak, jangan salahkan aku jika rumah tangga kita menjadi taruhannya!""Kok ngomongnya gitu? Jangan ngomong sembarangan, Dek!"Mas Arif menyentuh pergelangan tangan kananku. Namun kutepis kasar tangan itu. Melangkah dengan kesal menuju kamar. Akan kucari tahu sendiri, Mas!Suara ketukan pintu kamar menyentak lamunanku. "Ma ...."Suara Cintya
"Apa-apaan kamu, Rin? Tas saja dipermasalahkan.""Bukan masalah tasnya, Mas. Cara kamu yang salah, harusnya kamu izin pada Talita terlebih dahulu. Bukan justru mengambilnya begitu saja."Mas Arif membisu, tak mampu menjawab ucapanku. Lelaki itu justru kembali masuk ke rumah. Dia tinggalkan rasa kesal yang bersemayam dalam rongga dada. "Maaf, ya, Ma."Cintya menunduk, bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku mengelus dada yang terasa sesak. Baru beberapa hari Cintya berada di sini. Namun rumah ini bak di dalam neraka. "Tas Talita, Ma ...."Talita terus merengek sambil menangis. Kepalaku mendadak mau pecah. Tuhan, bagaimana ini? "Sudah, Ta. Kasihan Kak Cintya gak punya tas."Aku elus pucuk kepala Talita. Namun ia semakin menangis sesenggukan. "Tapi Ma ....""Talita masih punya tas yang lain. Kalau mama punya uang, kita beli lagi."Aku terus membujuk Talita agar diam. Dengan wajah ditekuk Talita masuk ke dalam mobil, disusul Cintya dan aku. Aku fokus mengendarai mobil, mengesampin
[Tolong jemput Cintya, Mas.]Aku segera mengajak Talita untuk pulang setelah pihak sekolah menyelesaikan biaya administrasi. Empat jahitan untuk menutup luka di keningnya. "Talita udah makan?" "Belum, Ma.""Mau makan apa?" "Steak, Ma."Kami menuju sebuah restoran tak jauh dari rumah sakit. Sebuah restoran yang menghidangkan berbagai jenis steak. Ini adalah salah satu restoran yang sering kami kunjungi. Selain tempatnya yang nyaman, rasa masakan pas di lidah kami. Talita memesan steak udang, menu kesukaannya. Aku sendiri memilih memesan minuman dingin. Kenyang karena sempat makan pizza bersama Cantika, meski hanya satu potong. Entah kenapa sejak kedatangan Cintya, nafsu makanku menghilang. "Kenapa bisa jatuh dan dijahit, Ta?" tanyaku pelan. Talita menyeruput es teh lalu menatap lekat netra ini. Bibir yang semula mengembang seketika redup. Senyum itu hilang, diganti sebuh kekecewaan yang nampak jelas di sana. "Katakan pada mama, Ta."Aku genggam jemarinya, memberi sebuah kekuata
Suara ketukan pintu terdengar jelas sampai ke kamar. Aku beranjak, melangkah gontai menuju sumber suara. Cintya dan Pak Didik sudah berdiri di terasa saat pintu kubuka. Perasaan lega hadir tanpa diminta, meski tak bisa menampik jika amarah dan kebencian masih bertahta di tempat yang sama. "Maaf, Pak jadi merepotkan," ucapku tak enak hati. Sebenarnya ini salah Mas Arif, tapi justru aku yang menanggung malu. Ah, bukan hanya malu tapi menjadi tempat melampiaskan amarahnya. Sebenarnya aku ini harus bagaimana? Cintya segera masuk setelah guru matematika itu pulang. Aku hanya diam, membiarkan anak kecil itu berada dalam tempat aman, kamar. Sebenarnya jiwa ini meronta, ingin bertanya tentang masalah Talita. Namun kembali aku urungkan. [ Cintya sudah pulang.]Aku mengirimkan sebuah pesan pada Mas Arif. Tak lama pesan tersebut berubah warna menjadi centang biru. Namun tak ada balasan dari lelaki itu. Duduk di ruang keluarga seraya menunggu kedatangan Mas Arif. Kamar Cintya berada persisi
Tubuhku luruh di lantai. Ponsel Mas Arif pun terlepas dari genggaman. Baru saja aku bernapas lega, bahkan mulai berdamai dengan kenyataan, namun kenapa Tuhan memberiku sebuah kejutan baru. Makasih udah mau jaga anak aku, Yang. Kalimat itu bak syair lagu yang terus terngiang di telinga. Namun bukan lagu cinta dan kebahagiaan, melainkan lagu kematian. Tuhan, misteri apa yang Engkau hadirkan untukku? Kenapa rasanya menyesakkan dada? Beberapa menit aku duduk di lantai dengan tubuh menempel di tembok. Tangisku kembali pecah, bahkan kini semakin menyesakkan dada. Mas Arif membohongiku lagi. Moya Zaya ... siapa pemilik nama itu? Kenapa dia memanggil sayang kepada Mas Arif? Tunggu ... anak mana yang ia maksud? Ibukah ibu Cintya Sri Sari Ningsih, bukan Moya Zaya. Tuhan, teka-teki macam apa ini? Aku hembuskan napas perlahan, mengatur sesak yang masih bersemayam dalam rongga dada. Sesakit ini menerima kenyataan. Setelah cukup tenang aku pun beranjak lalu melangkah menuju kamar. Aku s
"Ibu kandung kamu masih hidup atau sudah meninggal?""Bunda, maksud Mama?"Aku mengangguk. Entah bunda atau ibu, aku hanya ingin tahu wanita itu masih hidup atau sudah mati."Bundaku s....""Sayang, dompetku ketinggalan!"Aku mendengus kesal saat Mas Arif tiba-tiba muncul di belakangku. Gagal sudah niat untuk mengorek informasi Cintya. Ah, menyebalkan! Mas Arif pun masuk ke kamar, mengambil dompet lalu pergi lagi. Suara motor menjauh menandakan Mas Arif benar-benar pergi. Kali ini aku ingin dia pergi, bahkan dari hadapanku. Talita kembali duduk di sebelahku setelah meletakkan segelas air putih di atas meja. Dia menikmati es krim rasa vanila seraya menonton televisi. Senyum kembali hadir di wajahnya setelah awan mendung menyelimuti. Pertanyaan yang hendak keluar terpaksa kutelan kembali. Aku tak ingin awan mendung menyelimuti Talita. Ini bukan saat yang tepat untuk mengorek informasi. Biarlah aku menunggu asal Talita tak terluka kembali.Diamku seperti bom, hanya menunggu waktu yang