Wajah Pauli terbilang baik karena hanya terdapat sedikit jahitan di pipi, dagu dan kening. Pada bagian hidung dan matanya terdapat lebam. Kapas yang disumpalkan pada hidung dan telinga terlihat memerah. Angela mengganti dengan yang baru kemudian menempelkan plester agar kapas tersebut tidak terlepas.
Baru saja diganti kapas di rongga-rongga tersebut, warnanya kembali memerah. Angela merasa perlu bicara pada Pauli. "Pauli cantik, warna merah memang bagus, menunjukkan keberanian. Terima kasih, Kakak jadi tahu kalau Pauli anak yang berani. Coba sekarang tunjukkan pada Kakak kebaikan dan rasa kasih di hati Pauli." Angela kembali mengganti kapas yang memerah dan sangat berharap darahnya akan berhenti kali ini. "Kata Kakak Pauli baik, tapi kenapa dua orang ini mengikat Pauli dengan kuat. Pauli tidak bisa bergerak." Akhirnya Pauli mau bicara. Angela mengangkat kepalanya sedikit lebih tinggi dari posisi sebelumnya. Ia merasakan hawa panas yang tidak biasa di seberang peti. Terlihat tiga sosok, dua sama tinggi dan satu sedada keduanya. Mereka tampak samar seperti arsiran pada gambar dengan pensil 2B. Dalam hati Angela bertanya-tanya sendiri. Siapa dua sosok yang menggamit Pauli? Malaikat? Rasanya tidak mungkin. Tetapi bisa mungkin juga. "Apa Pauli mengenal mereka?" "Kalau Pauli kenal pasti sudah Pauli minta mereka melepaskan tali panas ini, Kak." Sebuah pertanyaan bodoh yang disesali Angela. Kalau Pauli tahu tentu ia tidak akan berkata demikian. Terlihat Pauli terus menggerakkan badannya ke kanan dan kiri berusaha melepaskan ikatan pada tubuh dan tangannya. Ia mungkin sudah lelah memohon pada kedua orang yang tetap bergeming seperti karang di tepi pantai. "Pauli, bagaimana cara Kakak membantumu?" Pertanyaan yang Angela tujukan untuk dirinya sendiri. Ia sama sekali belum pernah mengalami hal seperti ini selama merias jenazah. Duma memuji kerja bagus Angela. Hampir tidak terlihat bahwa sebelumnya wajah Pauli terdapat banyak jahitan. Namun, Angela merasa ini belum selesai. Karena Pauli masih berdiri di tempat yang sama dengan keadaan yang sama pula. "Maaf, Kak Duma. Saya boleh menunggu di sini sebentar. Paling sekitar lima belas sampai dua puluh menit," pinta Angela. Sebenarnya ia sedang berpikir bagaimana caranya Pauli terbebas sebelum dua puluh menit itu. "Silakan, Angela. Tapi maaf saya tidak bisa menemani," kata Duma seraya mengatupkan kedua tangan di depan dadanya. "Tidak apa, Kak. Silakan." Angela tersenyum kecil. Ia harus bertanya dengan Olla soal ini. Angela menelepon Olla tetapi sampai beberapa kali tersambung tetap tidak diangkat. Mungkin dia sedang ada pertemuan dengan kawan seindigo-nya. Mereka memang memiliki base camp tersembunyi untuk saling berinteraksi dan bertukar informasi. "Kabarnya si Pauli jadi tumbal di jalan itu. Sudah sering terjadi kecelakaan di sana. Dan korbannya selalu anak kecil." Seorang ibu muda berbisik-bisik dengan perempuan di sebelahnya. Angela mencuri dengar sambil terus pura-pura sibuk dengan ponselnya. "Kudengar juga begitu. Mana ibu si Pauli lagi sakit pula. Kasian aku lihatnya," sahut perempuan di sebelah ibu muda tersebut. Angela menulis pesan pada Olla tentang kemungkinan Pauli menjadi tumbal. Ia menjabarkan seluruh kronologi kejadian berdasarkan cerita Duma dan bisik-bisik para pelayat tadi. Thanks God, Olla cepat membalas pesan dan meminta Angela untuk meneleponnya tiga menit lagi. Sembari menunggu tiga menit, Angela keluar ruangan untuk mencari tempat yang agak sepi agar pembicaraannya nanti dengan Olla tidak didengar orang lain. Apalagi yang akan dibahas adalah tentang Pauli. Mulut ibu-ibu kadang lebih panjang dari jalan kenangan. "Aku tidak mungkin kesana sekarang, An. Kata temanku yang mengerti tentang hal seperti ini, kau harus temukan bonekanya dan musnahkan. Tapi tidak sembarangan juga memusnahkannya," kata Olla ketika Angela menanyakan cara membebaskan Pauli. "Akan aku tanyakan dulu. Mudah-mudahan mereka ada menyimpan boneka itu. Nanti kuhubungi lagi."Angela menemui Duma. Dengan hati-hati dia menyampaikan apa yang dilihatnya saat merias Pauli. "Ya, Tuhan … aku sangat menjaga agar ibu Pauli tidak mendengar tentang dugaan sebab kematian anaknya. Pauli ditabrak mobil. Titik. Itu saja. Saat mendengar kabar kematian Pauli, aku sudah merasa kalau ada sesuatu yang tidak benar.""Apakah Kakak tahu di mana boneka itu sekarang? Menurut seorang teman untuk membebaskan Pauli boneka itu harus kita musnahkan," terang Angela. "Bapaknya Pauli hanya mendengar Pauli berteriak ingin mengambil boneka di jalan tetapi sampai detik ini tidak ada yang melihat wujud benda itu. Hanya itu yang saya tahu.""Atau jangan-jangan boneka itu hanya bisa dilihat Pauli. Kalau begini kita harus bagaimana? Kasihan dia.""Saya pun tidak tahu. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa. Mudah-mudahan dengan doa dari banyak orang yang datang, jiwa Pauli bisa pergi dengan tenang.""Semoga …." Angela menghela napas. Ia bukan tidak yakin dengan doa. Tetapi yang terlihat di depan matanya, keadaan Pauli masih sama seperti sebelumnya. Perlu sebuah tindakan seperti yang dikatakan Olla, supaya pasti Pauli terbebas. Angela kembali menghubungi Olla. Ia mengatakan pada Angela bahwa tidak ada cara lain selain menemukan boneka yang dilihat Pauli dan memusnahkannya. "Kau tahu di mana lokasinya, kan?" tanya Olla."Jangan bilang aku harus ke sana mencari boneka itu," kata Angela dengan suara agak meninggi. "Katamu mau menolong. Jadi jangan tanggung-tanggung. Harus tuntas.""Terus cara menemukannya bagaimana? Aku tidak mau jalan-jalan di sekitar lokasi seperti tanpa tujuan.""Kau tahu rasa energi yang meliputi Pauli bukan?""Rasa panas-panas gitu, La. Apa itu energi yang kau maksud?""Iya, yang itu kurang lebih. Kau jalan saja di depan kios bapaknya Pauli. Menurut kabar yang beredar di antara kami, rumah makan besar yang buka dua puluh empat jam tak jauh dari kios itu adalah sumber dari kecelakaan yang sering terjadi di sekitar situ.""Olla …." Angela menarik napas. "Berat Olla, berat ….""Dicoba saja dulu, siapa tahu ringan." Olla tertawa kecil. Angela tidak punya pilihan. Setelah pamit dengan Duma, ia langsung menuju kios bensin milik keluarga Pauli yang hanya berjarak kurang lebih satu kilometer.Di depan kios yang tutup itu, Angela memarkirkan motornya. Ia menitipkannya pada ibu penjual rokok di sebelah kios. Cukup ramai kendaraan yang lalu lalang di jalan raya di depan kios tersebut. Mata Angela langsung tertuju pada sebuah rumah makan besar yang tadi disebutkan Olla."Tuhan, tolong bantu saya," ucap Angela dalam hati seraya menyeberang jalan ke arah rumah makan itu. Sesampainya di depan rumah makan yang terkenal itu telinga Angela sebelah kiri tiba-tiba berdengung hebat hingga matanya terpejam dan keningnya berkerut menahan sakit. Memang ada yang tidak benar dengan tempat ini. Angela bersikap seperti pelanggan lain yang akan makan siang. Ia masuk dengan telinga yang semakin berdengung. Suara-suara lain semakin tidak terdengar. Berdasarkan petunjuk Olla bahwa Angela harus menemukan energi yang sama dengan Pauli. Tetapi Angela jadi bingung, karena panasnya di dalam rumah makan ini sudah sama. Lalu, di mana benda yang sedang dicarinya. Meja-meja yang tersedia hampir selur
Pegawai yang menolong Angela mengurungkan niatnya meminta nomor WA setelah dia tahu bahwa profesi Angela adalah perias jenazah. Padahal dia sudah sangat antusias sebelumnya. "Ada untungnya juga jadi perias jenazah," ujar Angela seraya tertawa kecil saat keluar dari rumah makan mengerikan itu. Makanan yang ia pesan tidak sedikit pun ia makan. Angela berjalan cepat ke sisi rumah makan di mana ia melemparkan bonekanya tadi. Namun, sial sisi kanan dinding itu adalah sebuah rumah besar yang pasti tidak bisa sembarang orang memasukinya. Apalagi orang yang tidak dikenal seperti Angela. Sejenak Angela berdiri di depan rumah besar bercat kuning gading itu. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa masuk. Tetapi otaknya seperti buntu tidak bisa berpikir. Ia menyeberang, kembali ke kios bapaknya Pauli. "Maaf, Bu, saya agak lama," kata Angela pada ibu penjual rokok di samping kios."Tidak apa-apa, Mbak. Saya belum pernah melihat Mbak. Apa bukan orang sini?" tanya ibu penjual rokok ramah. "Iya,
Angela berdiri, kemudian menyalami lelaki gondrong di depannya. Olla lalu mengantar Angela sampai ke halaman. Ia menepuk-nepuk bahu Olla membesarkan hati temannya itu. Angela hanya tersenyum tipis. Hatinya belum bisa menerima kenyataan yang menurutnya masih bisa dirubah. Namun, apa daya. Awan-awan pembawa air mulai memenuhi hamparan langit kota. Angela memacu motornya lebih cepat. Ia tidak mau kehujanan di jalan karena air hujan yang dingin bisa memunculkan alergi di kulitnya. Dan itu akan mengganggu konsentrasi pekerjaannya. Tujuan Angela menjelang sore ini adalah sebuah rumah duka yang cukup terkenal. Berdiri sejak tiga puluh tahun lalu. Melayani berbagai kalangan sesuai kebutuhan. Tidak jarang rumah duka ini memberikan layanan gratis untuk keluarga yang tidak mampu. Termasuk untuk jasa rias yang dilakukan Angela. Hujan sedang berbaik laku, ia turun tepat setelah Angela tiba di rumah duka. Pak Topan, pemilik sekaligus pengelola rumah duka tersebut sudah menunggunya. Ada dua jenaz
Biasanya Agus dan Parman yang akan mendorong peti sampai ke ruang duka. Salah satu anggota keluarga akan lebih dulu melihat hasil riasan. Bila dianggap ada kekurangan Angela akan merubahnya sesuai permintaan. Bunyi kenop pintu ditekan kembali memacu detak jantungnya. Kedua rekan kerja Angela masuk bersama Budiman. Tatapan lelaki itu terus melekat pada Angela seperti singa mengawasi mangsa. "Bagaimana, Pak? Apa masih ada yang kurang?" tanya Angela bersikap profesional seolah mereka tidak saling kenal. "Cukup. Terima kasih." Budiman menjawab dengan intonasi datar dan dingin. "Terima kasih kembali. Saya turut berduka cita." Angela hanya menundukkan sedikit kepalanya. Biasanya dia menyalami anggota keluarga yang pertama melihat hasil riasannya. Budiman suatu pengecualian.Angela berdiri menunduk sampai peti benar-benar melewati pintu. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk jenazah. Jenazah selanjutnya seorang wanita tua yang meninggal sendirian tanpa pendamping
Matahari semakin turun ke langit barat. Angela melirik arlojinya. Sudah waktunya ia pulang. Tempat di mana semakin lama semakin terasa seperti bukan lagi rumahnya. "Kau sengaja tidak membaca pesanku, An?" tanya Rania menghadang Angela di ambang pintu depan. "Berarti aku lagi di jalan, Kak. Memangnya Kakak mengirim pesan apa?" Angela menurunkan standar samping motornya lalu menghampiri kakaknya. "Tidak ada apa-apa di rumah. Kau belilah sesuatu untuk makan malam," katanya enteng. "Baiklah. Aku mau ambil mantelku di kamar. Udara dingin seperti ini bisa bikin alergiku kambuh." Angela beralasan. "Ya, ya … terserah kau saja!" Rania tidak begitu peduli. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah malas. Pakaian yang dikenakannya masih sama seperti kemarin. Dia pasti tidak mandi dari pagi tadi. Yang ada di otaknya hanya uang, makan dan rebahan saja.Angela memasukkan surat rumah, novel kesayangan ibunya dan beberapa potong pakaian untuk keperluan ganti beberapa hari. Tidak lupa kunci cadangan pi
Bu Tami lebih awal datang dari biasanya. Ia tampak buru-buru dan terkesan asal-asalan membersihkan kamar. Wajahnya pun terlihat murung. "Ibu kelihatan pucat, apa Ibu sakit?" tanya Angela setelah wanita itu menutup pintu kamar. "Itu sudah saya siapkan teh hangat untuk Ibu di meja depan. Diminum dulu," sambung Angela. "Terima kasih, tapi saya sedang buru-buru. Pak Topan minta disiapkan sarapan.""Minumlah dulu, Bu. Nanti bareng saya ke tempat Pak Topan. Gak apa-apa," bujuk Angela. Sebenarnya dia menahan Bu Tami karena ingin menanyakan tentang kamar yang mulai berisik itu. Bu Tami tidak kuasa menolak."An menyewa rumah sebesar ini sendiri? Saya tidak pernah melihat suami An," kata Bu Tami sembari menyeruput sedikit-sedikit teh di gelasnya. "Gratis, Bu. Tadinya saya mau di kosan bapak, tapi katanya di sini kosong. Jadi, diminta tinggal di sini saja," jelas Angela. "Anaknya saja tidak mau tinggal di sini apalagi orang lain," ujarnya santai meletakkan gelas tehnya lalu mengambil sepoton
Sengaja Angela menunggu hingga tengah malam. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa di ruang tengah. Ia tidak menyalakan lampu. Penerangan hanya dibantu lilin yang tadi ia temukan saat membersihkan laci di meja telepon kuno yang masih terawat baik. Lewat tengah malam Adam belum juga menunjukkan keberadaannya. Mata Angela sudah sangat berat hingga ia tertidur tanpa sadar.Di tengah tidurnya Angela mendengar suara laki-laki berbisik di telinganya."Miranda adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. Bawalah dia ke sini."Angela terbangun. Ia yakin itu suara Adam. Lelaki itu setuju untuk bertemu Miranda. Artinya Angela dengan sukarela 'menyerahkan diri' pada perempuan monster itu.Malam itu juga Angela mengirimkan lokasi rumah Pak Topan ke WA Lula dan menuliskan pesan untuk Miranda.Keesokan harinya Lula memberitahu Angela bahwa Miranda akan datang. Sesuai kesepakatan mobil tidak boleh masuk ke halaman untuk menghindari rasa ingin tahu Pak Topan karena posisi rumah bersebelahan.Dar
"Maaf sebelumnya, Nyonya. Apakah Nyonya tahu apa yang terjadi dengan Bang Adam?""Setelah kami terpaksa berpisah, aku dikirim ke Singapur oleh Papa. Sejak itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Aku mau datang ke sini karena ada hal penting yang belum sempat kukatakan pada Adam.""Jadi Nyonya belum tahu kalau …." Angela jadi ragu mengatakan hal yang sesungguhnya. "Apa?" Miranda bersedekap, memandang tajam pada Angela. "Katakan!""Bang Adam sudah meninggal beberapa tahun lalu, Nyonya.""Bercandamu sangat tidak lucu." Miranda menghampiri Angela. "Jangan main-main denganku!""Saya tidak main-main, Nyonya.""Tidak mungkin." Miranda menggeleng tidak percaya. "Bang Adam memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Sampai detik ini jiwanya masih tertahan di sini. Ada urusan yang belum selesai dengan Nyonya.""Kalau kau hanya ingin aku mendengarkan omong kosongmu. Aku sangat menyesal telah datang." Miranda berbalik melangkah menuju pintu. Tiba-tiba semua lampu padam dan menyala bergantian dengan cepa