Sengaja Angela menunggu hingga tengah malam. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa di ruang tengah. Ia tidak menyalakan lampu. Penerangan hanya dibantu lilin yang tadi ia temukan saat membersihkan laci di meja telepon kuno yang masih terawat baik. Lewat tengah malam Adam belum juga menunjukkan keberadaannya. Mata Angela sudah sangat berat hingga ia tertidur tanpa sadar.Di tengah tidurnya Angela mendengar suara laki-laki berbisik di telinganya."Miranda adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. Bawalah dia ke sini."Angela terbangun. Ia yakin itu suara Adam. Lelaki itu setuju untuk bertemu Miranda. Artinya Angela dengan sukarela 'menyerahkan diri' pada perempuan monster itu.Malam itu juga Angela mengirimkan lokasi rumah Pak Topan ke WA Lula dan menuliskan pesan untuk Miranda.Keesokan harinya Lula memberitahu Angela bahwa Miranda akan datang. Sesuai kesepakatan mobil tidak boleh masuk ke halaman untuk menghindari rasa ingin tahu Pak Topan karena posisi rumah bersebelahan.Dar
"Maaf sebelumnya, Nyonya. Apakah Nyonya tahu apa yang terjadi dengan Bang Adam?""Setelah kami terpaksa berpisah, aku dikirim ke Singapur oleh Papa. Sejak itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Aku mau datang ke sini karena ada hal penting yang belum sempat kukatakan pada Adam.""Jadi Nyonya belum tahu kalau …." Angela jadi ragu mengatakan hal yang sesungguhnya. "Apa?" Miranda bersedekap, memandang tajam pada Angela. "Katakan!""Bang Adam sudah meninggal beberapa tahun lalu, Nyonya.""Bercandamu sangat tidak lucu." Miranda menghampiri Angela. "Jangan main-main denganku!""Saya tidak main-main, Nyonya.""Tidak mungkin." Miranda menggeleng tidak percaya. "Bang Adam memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Sampai detik ini jiwanya masih tertahan di sini. Ada urusan yang belum selesai dengan Nyonya.""Kalau kau hanya ingin aku mendengarkan omong kosongmu. Aku sangat menyesal telah datang." Miranda berbalik melangkah menuju pintu. Tiba-tiba semua lampu padam dan menyala bergantian dengan cepa
Berkendara di saat gerimis di malam buta bukan yang pertama kali dilakukan Angela. Terakhir dua bulan lalu dan menyisakan kenangan tak terlupakan. Saat pergi seorang perempuan berkepala buntung duduk di boncengan. Dari spion Angela hanya bisa melihat dari leher hingga bagian dada yang berbalut gaun kuning dipenuhi bercak darah.Begitupun ketika pulang dan gerimis masih turun hampir di seluruh penjuru kota, sosok wanita berbau sangat busuk dengan rambut kusut masai dan panjang. Ia duduk diam di boncengan dan sesekali menoleh ke arah spion. Ada satu dua kali mereka bersitatap dan dengan ramah ia menyeringai. Angela berharap gerimis malam ini kejadian sama tidak terulang lagi. Melihat sosok tak kasatmata dengan rupa tidak sempurna membuatnya susah tidur berhari-hari. Malam ini sepertinya kejadian sama tidak terjadi lagi. Sudah lebih dari separuh perjalanan Angela tidak melihat apa pun. Harapannya sampai ke tujuan semua normal-normal saja. Karena terus memikirkan hal itu, dia tidak mel
"Cantik sekali aku. Waktu jiwaku belum terlepas tidak pernah aku dirias secantik ini. Saat menikah pun dirias ala kadarnya. Yang penting menikah," kata Ina lalu menyentuh pipinya yang berwarna merah muda."Mbak Ina suka, ya. Sudah bisa sedikit melapangkan hati?" tanya Angela mengalihkan pandangan ke arah wajah sendu perempuan ayu itu. "Ya, yang terpenting Arjunaku akan baik-baik saja," ujarnya lirih. "Pasti, Mbak," kata Angela meyakinkan Ina yang mulai bisa tersenyum walau sangat tipis. Angela pun bisa pulang dengan hati ringan. Setelah membereskan peralatannya, Angela mohon diri pada keluarga. Ia berpesan pada Meri, kalau Arjuna membutuhkan sesuatu dia kenal beberapa orang yang bisa membantu. "Terima kasih banyak, Kak. Ini ada sedikit untuk Kakak," kata Meri menyerahkan amplop putih tertutup pada Angela. "Tidak usah. Pakai saja untuk keperluan pemakaman," tolak Angela lalu mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Kami jadi tidak enak, Kak. Sudahlah semalam ini, gerimis pula.
"Namanya juga planning hidup, maunya yang perfect.""Padahal kau tau hidup ini gak ada yang sempurna. Ada sedihnya, senangnya, dukanya, kau sendiri sudah pernah ada pada situasi seperti itu dan bisa melewati semuanya, dan kau tetap baik-baik saja hingga saat ini. Serius amat, yak, omongan kita." Olla menghabiskan sisa kopinya. "Sekali-kali gak apa juga, La. Jangan becanda terus," kata Angela lalu bangkit melangkah ke arah jendela. Ia membuka gorden yang tadi memang sengaja tidak dibuka oleh Bu Tami. "Aku langsung pergi, ya. Ada janji sama orang. Takut telat. Kau istirahat saja."Olla mengambil sepatunya di dekat pintu lalu pergi lewat pintu belakang. Kebiasaan yang jarang dilakukan orang kebanyakan. Kondisi badan Angela sudah jauh lebih baik. Suhu tubuhnya pun sudah tidak tinggi lagi. Hanya tersisa rasa kantuk yang butuh diringankan. Ia kembali ke tempat tidur. Membenamkan kepalanya di bantal sampai terlelap. ***Angela terbangun di tengah hari karena bunyi ponselnya. Seorang laki
"Anda terlalu keras pada diri Anda, Nyonya. Dan itu ditularkan pada anak-anak tanpa Anda sadari. Menangis itu bukan dosa, Nyonya. Sekali waktu tidak kuat itu biasa. Begitulah seharusnya manusia."Nyonya Esther mengangguk. "Rasanya pasti tidak enak, bukan? Lalu kenapa Anda melakukan itu pada Novena? Anda ingin membalas dendam?" cecar Angela. Ia hampir saja tidak bisa menahan diri.Sontak Nyonya Esther menoleh ke arah Angela. "Tidak! Bukan begitu. Saya hanya ingin membentuk anak-anak menjadi pribadi yang kuat, itu saja.""Kata Novena, cukup sampai di dia saja. Jangan teruskan pada kedua kakaknya. Dia rindu ingin dipeluk maminya seperti kecil dulu.""Maafkan Mami, Vena ...." Nyonya Esther menunduk, menopang wajahnya dengan kedua tangan. "Novena sangat menyayangi, Anda, Nyonya," kata Angela seraya menoleh pada Novena yang berdiri di sebelah ibunya."Mami pun sangat sayang sama Vena," ucapnya terbata. Air mata Nyonya Esther pun akhirnya tumpah.Angela menggeser duduknya. "Menangis saja, N
Antoni Hakim melepaskan seat belt-nya, kemudian menggeser duduknya ke arah Angela. Merunduk membukakan pintu. Angela refleks mendorong tubuhnya ke belakang. Hampir tak berjarak dengan pria itu membuat jantungnya seolah akan meledak. "Silakan, Nona." Ia meminta Angela turun setelah pintunya terbuka. Angela pun hanya mengangguk kecil. Ia turun dengan dada berdebar-debar. Angela melihat sekeliling setelah tidak ia temukan remaja perempuan itu di depan maupun di bawah mobil. "Mungkin benar memang tidak ada siapa-siapa." Angela membatin. "Bagaimana Nona? Apa Nona temukan orang yang dimaksud?" Antoni Hakim bertanya seraya menghampiri Angela. "Beri saya waktu sebentar lagi, Tuan." Mata Angela menangkap sekelebat bayangan hitam mengarah ke tepi jalan di dekat pohon albasia. "Jangan ke sana, Nona!" Antoni setengah berlari memblokir langkah Angela dengan berdiri di depannya. "Saya melihat gadis itu di sana, Tuan.""Jangan berhalusinasi, Nona. Ini sudah malam.""Percayalah pada saya, Tuan
Angela dibawa masuk ke dalam mobil dengan digendong oleh Antoni Hakim. Walaupun pingsan, Angela masih bisa mendengar dan merasakan kejadian di dekatnya."Nona … Nona Angela, tolonglah bangun!" Antoni menepuk-nepuk kedua pipi Angela. "Kita masih harus menunggu polisi datang. Setelah itu kita ke rumah sakit, ya," ucapnya cemas. Angela hanya menggerakkan jarinya. Ia masih belum sanggup membuka mata. Tubuhnya pun masih lemas. Rasanya ia hanya ingin berbaring dan tidur. Namun, suara aneh berdengung terus-menerus setelah Angela jatuh pingsan. Dengungnya mirip dengan suara di rumah makan saat membantu Pauli. "Tuan Antoni …." Angela memanggil pria itu dengan suara lemah. "Iya, Nona." Antoni mendekatkan wajahnya pada Angela. Mereka duduk bersebelahan di kursi belakang. "Bisakah kita pergi sekarang saja? Ada sesuatu yang sangat mengganggu." "Tunggulah beberapa menit lagi. Teman saya bilang akan datang secepatnya."Angela tidak bisa berbuat banyak ataupun memaksa. Dia yang memulai semua in