Pegawai yang menolong Angela mengurungkan niatnya meminta nomor WA setelah dia tahu bahwa profesi Angela adalah perias jenazah. Padahal dia sudah sangat antusias sebelumnya. "Ada untungnya juga jadi perias jenazah," ujar Angela seraya tertawa kecil saat keluar dari rumah makan mengerikan itu. Makanan yang ia pesan tidak sedikit pun ia makan. Angela berjalan cepat ke sisi rumah makan di mana ia melemparkan bonekanya tadi. Namun, sial sisi kanan dinding itu adalah sebuah rumah besar yang pasti tidak bisa sembarang orang memasukinya. Apalagi orang yang tidak dikenal seperti Angela. Sejenak Angela berdiri di depan rumah besar bercat kuning gading itu. Memikirkan bagaimana caranya agar bisa masuk. Tetapi otaknya seperti buntu tidak bisa berpikir. Ia menyeberang, kembali ke kios bapaknya Pauli. "Maaf, Bu, saya agak lama," kata Angela pada ibu penjual rokok di samping kios."Tidak apa-apa, Mbak. Saya belum pernah melihat Mbak. Apa bukan orang sini?" tanya ibu penjual rokok ramah. "Iya,
Angela berdiri, kemudian menyalami lelaki gondrong di depannya. Olla lalu mengantar Angela sampai ke halaman. Ia menepuk-nepuk bahu Olla membesarkan hati temannya itu. Angela hanya tersenyum tipis. Hatinya belum bisa menerima kenyataan yang menurutnya masih bisa dirubah. Namun, apa daya. Awan-awan pembawa air mulai memenuhi hamparan langit kota. Angela memacu motornya lebih cepat. Ia tidak mau kehujanan di jalan karena air hujan yang dingin bisa memunculkan alergi di kulitnya. Dan itu akan mengganggu konsentrasi pekerjaannya. Tujuan Angela menjelang sore ini adalah sebuah rumah duka yang cukup terkenal. Berdiri sejak tiga puluh tahun lalu. Melayani berbagai kalangan sesuai kebutuhan. Tidak jarang rumah duka ini memberikan layanan gratis untuk keluarga yang tidak mampu. Termasuk untuk jasa rias yang dilakukan Angela. Hujan sedang berbaik laku, ia turun tepat setelah Angela tiba di rumah duka. Pak Topan, pemilik sekaligus pengelola rumah duka tersebut sudah menunggunya. Ada dua jenaz
Biasanya Agus dan Parman yang akan mendorong peti sampai ke ruang duka. Salah satu anggota keluarga akan lebih dulu melihat hasil riasan. Bila dianggap ada kekurangan Angela akan merubahnya sesuai permintaan. Bunyi kenop pintu ditekan kembali memacu detak jantungnya. Kedua rekan kerja Angela masuk bersama Budiman. Tatapan lelaki itu terus melekat pada Angela seperti singa mengawasi mangsa. "Bagaimana, Pak? Apa masih ada yang kurang?" tanya Angela bersikap profesional seolah mereka tidak saling kenal. "Cukup. Terima kasih." Budiman menjawab dengan intonasi datar dan dingin. "Terima kasih kembali. Saya turut berduka cita." Angela hanya menundukkan sedikit kepalanya. Biasanya dia menyalami anggota keluarga yang pertama melihat hasil riasannya. Budiman suatu pengecualian.Angela berdiri menunduk sampai peti benar-benar melewati pintu. Hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir untuk jenazah. Jenazah selanjutnya seorang wanita tua yang meninggal sendirian tanpa pendamping
Matahari semakin turun ke langit barat. Angela melirik arlojinya. Sudah waktunya ia pulang. Tempat di mana semakin lama semakin terasa seperti bukan lagi rumahnya. "Kau sengaja tidak membaca pesanku, An?" tanya Rania menghadang Angela di ambang pintu depan. "Berarti aku lagi di jalan, Kak. Memangnya Kakak mengirim pesan apa?" Angela menurunkan standar samping motornya lalu menghampiri kakaknya. "Tidak ada apa-apa di rumah. Kau belilah sesuatu untuk makan malam," katanya enteng. "Baiklah. Aku mau ambil mantelku di kamar. Udara dingin seperti ini bisa bikin alergiku kambuh." Angela beralasan. "Ya, ya … terserah kau saja!" Rania tidak begitu peduli. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah malas. Pakaian yang dikenakannya masih sama seperti kemarin. Dia pasti tidak mandi dari pagi tadi. Yang ada di otaknya hanya uang, makan dan rebahan saja.Angela memasukkan surat rumah, novel kesayangan ibunya dan beberapa potong pakaian untuk keperluan ganti beberapa hari. Tidak lupa kunci cadangan pi
Bu Tami lebih awal datang dari biasanya. Ia tampak buru-buru dan terkesan asal-asalan membersihkan kamar. Wajahnya pun terlihat murung. "Ibu kelihatan pucat, apa Ibu sakit?" tanya Angela setelah wanita itu menutup pintu kamar. "Itu sudah saya siapkan teh hangat untuk Ibu di meja depan. Diminum dulu," sambung Angela. "Terima kasih, tapi saya sedang buru-buru. Pak Topan minta disiapkan sarapan.""Minumlah dulu, Bu. Nanti bareng saya ke tempat Pak Topan. Gak apa-apa," bujuk Angela. Sebenarnya dia menahan Bu Tami karena ingin menanyakan tentang kamar yang mulai berisik itu. Bu Tami tidak kuasa menolak."An menyewa rumah sebesar ini sendiri? Saya tidak pernah melihat suami An," kata Bu Tami sembari menyeruput sedikit-sedikit teh di gelasnya. "Gratis, Bu. Tadinya saya mau di kosan bapak, tapi katanya di sini kosong. Jadi, diminta tinggal di sini saja," jelas Angela. "Anaknya saja tidak mau tinggal di sini apalagi orang lain," ujarnya santai meletakkan gelas tehnya lalu mengambil sepoton
Sengaja Angela menunggu hingga tengah malam. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa di ruang tengah. Ia tidak menyalakan lampu. Penerangan hanya dibantu lilin yang tadi ia temukan saat membersihkan laci di meja telepon kuno yang masih terawat baik. Lewat tengah malam Adam belum juga menunjukkan keberadaannya. Mata Angela sudah sangat berat hingga ia tertidur tanpa sadar.Di tengah tidurnya Angela mendengar suara laki-laki berbisik di telinganya."Miranda adalah cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. Bawalah dia ke sini."Angela terbangun. Ia yakin itu suara Adam. Lelaki itu setuju untuk bertemu Miranda. Artinya Angela dengan sukarela 'menyerahkan diri' pada perempuan monster itu.Malam itu juga Angela mengirimkan lokasi rumah Pak Topan ke WA Lula dan menuliskan pesan untuk Miranda.Keesokan harinya Lula memberitahu Angela bahwa Miranda akan datang. Sesuai kesepakatan mobil tidak boleh masuk ke halaman untuk menghindari rasa ingin tahu Pak Topan karena posisi rumah bersebelahan.Dar
"Maaf sebelumnya, Nyonya. Apakah Nyonya tahu apa yang terjadi dengan Bang Adam?""Setelah kami terpaksa berpisah, aku dikirim ke Singapur oleh Papa. Sejak itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Aku mau datang ke sini karena ada hal penting yang belum sempat kukatakan pada Adam.""Jadi Nyonya belum tahu kalau …." Angela jadi ragu mengatakan hal yang sesungguhnya. "Apa?" Miranda bersedekap, memandang tajam pada Angela. "Katakan!""Bang Adam sudah meninggal beberapa tahun lalu, Nyonya.""Bercandamu sangat tidak lucu." Miranda menghampiri Angela. "Jangan main-main denganku!""Saya tidak main-main, Nyonya.""Tidak mungkin." Miranda menggeleng tidak percaya. "Bang Adam memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Sampai detik ini jiwanya masih tertahan di sini. Ada urusan yang belum selesai dengan Nyonya.""Kalau kau hanya ingin aku mendengarkan omong kosongmu. Aku sangat menyesal telah datang." Miranda berbalik melangkah menuju pintu. Tiba-tiba semua lampu padam dan menyala bergantian dengan cepa
Berkendara di saat gerimis di malam buta bukan yang pertama kali dilakukan Angela. Terakhir dua bulan lalu dan menyisakan kenangan tak terlupakan. Saat pergi seorang perempuan berkepala buntung duduk di boncengan. Dari spion Angela hanya bisa melihat dari leher hingga bagian dada yang berbalut gaun kuning dipenuhi bercak darah.Begitupun ketika pulang dan gerimis masih turun hampir di seluruh penjuru kota, sosok wanita berbau sangat busuk dengan rambut kusut masai dan panjang. Ia duduk diam di boncengan dan sesekali menoleh ke arah spion. Ada satu dua kali mereka bersitatap dan dengan ramah ia menyeringai. Angela berharap gerimis malam ini kejadian sama tidak terulang lagi. Melihat sosok tak kasatmata dengan rupa tidak sempurna membuatnya susah tidur berhari-hari. Malam ini sepertinya kejadian sama tidak terjadi lagi. Sudah lebih dari separuh perjalanan Angela tidak melihat apa pun. Harapannya sampai ke tujuan semua normal-normal saja. Karena terus memikirkan hal itu, dia tidak mel