"Memangnya, kamu lulusan apa? Gak kuliah?""Saya cuma tamatan SMA, Bu.""Terus, orang tua kamu kerja apa?" Kali ini Ibu bertanya dengan datar, tak ada lagi senyuman di bibir Ibu."Orang tua saya buruh tani, Bu.""Oh pantas saja, nama kamu terlihat kampungan," ujar Ibu lirih. "Kenapa gak cari laki-laki di kampung saja? Kenapa malah milih Kenzie?""Bu!" ucapku memberi peringatan pada Ibu. Aku tak suka jika Ibu bertanya yang bisa melukai hati Maryam. Sedari tadi, aku sudah berusaha bersabar mendengar pertanyaan Ibu yang seolah menyudutkan Maryam. Tapi Maryam justru menyenggol lenganku, seolah memberi kode bahwa ia tak keberatan dengan pertanyaan dari Ibu."Ibu cuma bertanya, Ken. Memang salah?""Maaf, Bu. Kalau jodoh saya ada di sini, kenapa harus cari di kampung? Mas Kenzie bisa menerima kekurangan saya, begitupun sebaliknya. Saya merasa nyaman dengan Mas Kenzie," jawab Maryam tersenyum. Maryam masih terlihat biasa saja dan terlihat santai. Sama sekali tak terpancing emosi dengan pertan
☘️POV Anggun"Tidak! Tidak! Jangan pergi, Mas!""Akh!" Aku terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Keringat membanjiri sekujur tubuhku hingga membuat piyama tidurku menjadi basah.Aku terduduk sambil memeluk kedua lututku. Mimpi buruk itu kembali datang setiap tengah malam setiap aku tertidur. Tak pernah satu hari pun terlewatkan tanpa mimpi buruk. Aku membenamkan wajah kedalam lutut. Lalu mulai menangis terisak sendirian.Aku selalu memendam mimpi buruk ini sendirian. Tanpa pernah sekalipun aku bercerita pada siapapun, termasuk Mama. Percuma aku bercerita juga, Mama tak pernah mengerti dengan perasaanku. Sebenarnya, aku sangat butuh teman. Teman untuk berbagi cerita yang bisa aku ajak bicara untuk mencurahkan segala beban di hatiku. Sayangnya, aku tak memiliki satu orangpun teman yang dekat denganku.Penyesalan yang begitu dalam selalu menghantui hidupku. Terutama rasa sesal karena tak bisa mengulang waktu untuk bisa kembali seperti dulu. Ya, seperti dulu, saat aku masih hidup bers
Dan akhirnya, pernikahanku dan Rian pun terjadi. Pernikahan kami berlangsung sangat sederhana dan hanya dihadiri oleh keluarga terdekat kami. Namun, Rian menceraikan aku meskipun pernikahan kami belum genap satu bulan. Rian beralasan tak sanggup hidup denganku karena kondisiku yang masih tetap sama. Tak ada perubahan yang berarti. Memang begitu kenyataannya, perhatian apapun yang diberikan oleh Rian padaku, sama sekali tak menggetarkan hatiku. Aku masih suka menyendiri dan melamun."Anggun, mau sampai kapan kamu seperti ini terus, Nak?" tanya Mama dengan berlinang air mata."Mama mau kamu sembuh seperti dulu, Nak. Kasian kedua anak kamu, gak bisa merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Tolong, Nak, jangan buat Mama sedih. Jalani hidup kamu seperti wanita normal pada umumnya, menikah dan hidup bahagia. Bukan terus-menerus melamun dan diam. Katakan sama Mama, apa yang kamu mau? Pasti Mama turuti. Tapi tolong ... sembuhlah, Nak," racau Mama sambil menangis terisak di hadapanku.Aku bi
Ingatan tentang masa lalu seolah berputar dalam pikiranku. Aku langsung teringat, bagaimana bahagianya kehidupanku saat menjadi istri Mas Kenzie dulu. Kami terlihat seperti keluarga yang sempurna. Memiliki dua anak yang lucu dan menggemaskan.Kami sering jalan berempat untuk menghabiskan waktu diluar. Memanjakan anak-anak kami, dan mengurus anak kami berdua dengan baik. Mas Kenzie sosok suami yang sempurna, yang selalu siap siaga menjaga anak-anak kami. Tak pernah merasa jijik ataupun terlihat lelah, saat mengurus kedua anak balita kami. Sayangnya, aku baru menyadari itu semua. Dan menyisakan sesal yang teramat dalam.Dulu, aku selalu meremehkan dan merendahkan Mas Kenzie setelah ia bercerai dari Naya. Karena setelah bercerai dari Naya, Mas Kenzie tak memiliki apapun lagi. Bahkan, pekerjaan pun ia tak punya. Dan yang lebih membuatku kesal, Mas Kenzie justru bekerja menjadi seorang cleaning servis. Yang memang pekerjaan yang aku anggap rendah saat itu. Tapi kini, aku sangat menyesal.A
Seorang pria yang terlihat tak asing sedang berdiri terpaku di depan pagar rumahku sambil memandangku dengan tatapan yang sulit untuk aku artikan. Sebab saat ini, aku sedang duduk menyendiri di depan teras rumah."Anggun!" teriak pria itu memanggil namaku. Seketika, aku memperhatikan wajah pria itu dengan seksama dan mencoba mengingat-ingat. Jika pria itu tahu namaku, berarti akupun mengenalnya.Pria itu melambaikan tangannya dan tersenyum. Seketika sekelebat bayangan dimasa lalu kembali muncul, aku baru ingat, jika pria itu adalah Mas Jody."Anggun, buka pagarnya, aku mau bicara!" teriak Mas Jody lagi. Tapi aku tetap diam dan tak merespon panggilannya."Siapa, Nak?" tanya Mama yang baru keluar dari dalam rumah."Mas Jody, Ma," jawabku singkat."Jody?" Mama seolah-olah mengingat nama itu lalu beralih memandang pria yang masih berdiri di depan pagar rumahku. Tak lama, wajah Mama berubah merah padam lalu kembali masuk ke dalam rumah dan memanggil Papa. Beberapa menit kemudian, Papa dan
☘️Aku masih berdiri mematung di depan pintu sambil menatap Mas Kenzie dengan tatapan sendu. Aku berusaha untuk tetap tegar dan menahan air mataku yang mungkin saja bisa jatuh sewaktu-waktu. Aku menghela nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan sesak di dalam dada."Nduk, kenapa bengong disini? Ayo duduk," ucap wanita paruh baya yang aku tahu adalah Ibunya Mas Kenzie.Ternyata, wanita yang Papa dan Mama sebut dengan Bu Leha itu adalah mantan mertuaku. Memandang wajah Bu Leha, ingatan masa lalu kembali hadir. Bagaimana beliau begitu antusias saat aku menikah dengan Mas Kenzie dulu. Namun, aku juga merasa bersalah pada beliau karena telah mengusirnya saat Bu Leha ingin tinggal di rumahku.Bu Leha menuntunku untuk duduk di sampingnya. Mata ini masih memperhatikan Mas Kenzie dan juga wanita muda yang sedang duduk di samping Mas Kenzie. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapa wanita itu sebenarnya. Apakah teman atau pacar Mas Kenzie?"Maryam, kenalkan, ini Anggun, mantan menantu kesayangan Ibu
"A ... Anggun, kamu serius dengan apa yang kamu ucapkan?" tanya Mas Kenzie yang aku jawab dengan anggukan pelan."Anggun, aku ... aku senang dengan niat baik kamu untuk berubah. Jujur, aku kaget, gak nyangka kamu bisa bilang gitu. Tapi, maaf, aku gak bisa kembali sama kamu. Aku sudah punya calon istri, dan sebentar lagi kami akan menikah.Anggun, kalau kamu memang mau berubah jadi wanita yang lebih baik aku akan dukung kamu. Tapi kalau untuk menjadi pendamping kamu, aku gak bisa. Maaf ..." ucap Mas Kenzie lirih.Penolakan dari Mas Kenzie seketika membuat hatiku sedih. Tapi, aku sadar diri, aku memang tak pantas untuk kembali pada Mas Kenzie. Apalagi mengingat luka yang pernah aku goreskan di hatinya. Aku membuang nafas panjang, dan berusaha terlihat tegar di hadapan Mas Kenzie."Iya, Mas, gak papa. Aku mengerti. Rasanya lega, udah mengungkapkan perasaan hati aku," kataku. Tapi memang benar, hati ini rasanya benar-benar lega, sudah mengungkapkan semua perasaan yang aku pendam dalam hat
POV KenzieAku merasa sangat kesal dengan sikap Ibu yang dengan terang-terangan membanggakan Anggun di depan Maryam. Seolah Ibu tak menghargai Maryam sebagai calon menantunya yang baru. Untungnya, Maryam sangat sabar menghadapi Ibu. Maryam bersikap sangat tenang, sama sekali tak terpancing emosi meskipun terlihat jelas ketidaksukaan di raut wajah Ibu pada Maryam."Mar, kita pulang aja, yuk? Udah mau Magrib. Nanti takut kemalaman," bisikku pada Maryam."Aku terserah kamu aja, Mas," ucap Maryam.Akhirnya, aku pamit pada Ibu dan semua yang ada di rumahku untuk mengantarkan Maryam pulang. Aku beralasan pada mereka, bahwa kami harus mempersiapkan kebutuhan pernikahan kami. Sengaja memang, agar Anggun dan kedua orang tuanya tahu bahwa Maryam adalah calon istriku."Mas Kenzie!"Aku dan Maryam menoleh secara bersamaan, saat terdengar suara Anggun berteriak memanggilku. Aku sedikit terkejut, karena tiba-tiba saja Anggun memanggilku. Sebab sedari tadi, tak sepatah katapun keluar dari bibir Angg