POV KenzieAku merasa sangat kesal dengan sikap Ibu yang dengan terang-terangan membanggakan Anggun di depan Maryam. Seolah Ibu tak menghargai Maryam sebagai calon menantunya yang baru. Untungnya, Maryam sangat sabar menghadapi Ibu. Maryam bersikap sangat tenang, sama sekali tak terpancing emosi meskipun terlihat jelas ketidaksukaan di raut wajah Ibu pada Maryam."Mar, kita pulang aja, yuk? Udah mau Magrib. Nanti takut kemalaman," bisikku pada Maryam."Aku terserah kamu aja, Mas," ucap Maryam.Akhirnya, aku pamit pada Ibu dan semua yang ada di rumahku untuk mengantarkan Maryam pulang. Aku beralasan pada mereka, bahwa kami harus mempersiapkan kebutuhan pernikahan kami. Sengaja memang, agar Anggun dan kedua orang tuanya tahu bahwa Maryam adalah calon istriku."Mas Kenzie!"Aku dan Maryam menoleh secara bersamaan, saat terdengar suara Anggun berteriak memanggilku. Aku sedikit terkejut, karena tiba-tiba saja Anggun memanggilku. Sebab sedari tadi, tak sepatah katapun keluar dari bibir Angg
Aku berjalan kaki setelah memastikan Maryam sudah masuk ke dalam kostannya. Aku merasa, begitu banyak cobaan yang datang silih berganti setelah aku memutuskan untuk menikah dengan Maryam. Meskipun berat, aku merasa kuat dan semangat setelah melihat sikap Maryam yang ternyata lebih kuat dan lebih dewasa dariku.Tapi lagi-lagi, aku teringat dengan ucapan Anggun tadi. Jujur saja, hati ini ikut merasa sedih saat melihat Anggun menangis tadi. Terlihat bagaimana sedihnya Anggun saat minta maaf dan juga meminta aku untuk kembali padanya.Apalagi, melihat kondisi kejiwaan Anggun yang memang sedang tidak baik-baik saja itu. Mungkin jika aku mau kembali padanya, kondisi kejiwaan Anggun bisa pulih kembali. Sebab setahuku, hanya orang terdekat lah yang bisa membantu menyembuhkan jiwa seseorang yang terkena penyakit mental. Mungkin jika aku tak ada niat untuk menikah dengan Maryam, aku akan membantu untuk proses penyembuhan jiwa Anggun.Dalam hati, aku berharap, Tuhan menjaga Anggun dan menyembuhk
☘️Setelah acara ijab kabul kami selesai, dilanjutkan dengan acara meminta doa restu kepada orang tua kami. Kami melakukan sungkeman secara bergantian, seperti adat di daerah kami. Maryam terlihat menangis haru dan terisak, saat bersujud meminta doa restu di pangkuan Bapak dan Ibunya. Wajar memang, karena ini adalah pernikahan pertama untuk Maryam. Setelah selesai, aku bergantian meminta doa restu pada kedua mertuaku. Mereka memberi aku wejangan atau nasihat padaku untuk menjaga dan menyayangi Maryam sepenuh hati.Bapak mertua bilang, kini tugasnya telah usai untuk menjaga Maryam dan diserahkan padaku. Wejangan demi wejangan yang Bapak dan Ibu mertua sampaikan padaku, aku dengar dengan seksama. Dan Insya Allah, aku akan menjalankan amanah dari mereka."Kenzie, tolong jaga anak kami Maryam dengan baik. Jaga dan lindungi Maryam, sayangi dia, seperti kami menyayanginya selama ini. Jangan pernah kasar atau melukai Maryam secara batin ataupun fisik. Kalau kamu sudah bosan atau tak sanggup
"Mar, kamu ngapain?" tanyaku. Pertanyaan basa-basi meskipun aku tahu apa yang sedang Maryam kerjakan saat ini."Lagi nyuci piring, Mas. Nanggung, bentar lagi selesai," jawab Maryam tersenyum.Ada rasa miris dalam hati ketika Maryam masih bisa tersenyum disaat seperti ini. Meskipun aku tahu, Maryam pastilah sangat lelah saat ini. Terlihat dari peluh yang membasahi kening Maryam. Padahal, cuaca malam ini cukup dingin karena hujan gerimis sedari tadi.Aku tak melihat kehadiran Ibu ataupun Dini di dapur. Itu artinya, Maryam hanya sendiri mencuci piring dan perabotan sisa bekas memasak acara siang tadi. Aku membuang nafas kasar, pastilah Ibu yang sudah menyuruh Maryam untuk mengerjakan ini semua sendirian. Aku bukannya suuzon pada Ibuku sendiri, tapi memang begitulah sikap Ibu jika tak suka pada seseorang. Selalu berbuat sesuka hati."Astaga, Mar, harusnya kamu gak perlu nyuciin piring sama perabotan ini," ujarku."Gak papa, Mas. Gak enak lihatnya, kalau pada kotor semua begini.""Ya udah,
☘️Subuh ini, aku dan Maryam terbangun. Lalu segera bergegas untuk mandi. Malu rasanya, jika ketahuan mandi keramas oleh Ibu ataupun Dini. Meskipun kami sudah resmi menikah, tapi tetap saja terasa canggung. Susah rasanya, jika sudah menikah dan tinggal satu atap dengan Ibu. Apalagi, kami hanya memiliki satu kamar mandi untuk dipakai secara bergantian. Itupun letaknya di ujung dapur. Sepertinya, aku harus merencanakan untuk hidup terpisah dari Ibu."Mar, aku sholat subuh ke masjid dulu ya?" pamitku pada Maryam."Iya, Mas," jawab Maryam lembut."Oh ya, Mar. Sepertinya, kita tinggal misah aja deh dari Ibu. Nanti kita cari kontrakan atau kost-kostan aja. Aku kasihan sama kamu kalau harus tinggal seatap sama Ibu. Kamu kan tahu sendiri, sikap Ibu seperti itu," ucapku."Aku terserah kamu aja, Mas, gimana baiknya. Tapi, kalau memang mau tinggal terpisah, kita tinggal di kosant aku aja, Mas. Kebetulan, kostan aku masih tiga Minggu lagi masa habisnya. Nanti, tinggal kita teruskan aja. Lagi pula
Dan akhirnya, hari ini, aku dan Maryam memutuskan untuk tinggal di kostan Maryam. Kami tak bicara pada Ibu sebelumnya. Sengaja memang, tak ingin urusan menjadi panjang. Lebih baik, kami langsung pamit saja. Biarlah jika Ibu marah, karena setahuku marahnya Ibu tak akan lama. Jika Ibu butuh sesuatu, pasti Ibu akan menegurku lagi.Lagi pula, besok, aku dan Maryam akan kembali bekerja seperti biasanya. Sebab kami hanya minta izin libur selama 3 hari saja. Kami sengaja meminta izin dengan alasan berbeda. Kami tak bilang bahwa kami izin untuk menikah. Jika atasan kami tahu, pastilah salah satu diantara kami akan dikeluarkan. Karena perusahaan tempat kami bekerja tak mengijinkan suami istri untuk bekerja di satu area yang sama."Bu, kami pamit untuk tinggal di kostan Maryam," ucapku pada Ibu. Pagi ini, Ibu sedang duduk di depan teras rumah. Aku dan Maryam sendiri sudah memasukkan barang-barang kami yang hanya berisi baju-baju kami ke dalam tas besar."Ken, Ibu kan sudah bilang. Ibu gak izink
☘️Aku masih memikirkan, bagaimana jika Maryam benar-benar hamil saat ini. Karena aku sendiri meragukan, jika bayi yang ada dalam kandungan Maryam adalah anakku. Setelah masa lalu pahit yang aku lalui, sudah bisa dipastikan bahwa aku tak bisa memiliki keturunan. Memang, aku belum melakukan pemeriksakan diri ke dokter, untuk memastikan bahwa aku mandul atau tidak. Tapi jika dilihat secara logika dan kenyataan yang terjadi, aku tak memiliki niat untuk melakukan pemeriksaan ke dokter. Tanpa perlu periksa, kehamilan Naya dan kenyataan bahwa kedua anak Anggun bukanlah anakku, itu sudah cukup untuk membuktikan.Sebenarnya, aku bukan tak mau memeriksakan diri ke dokter. Aku hanya takut. Takut jika benar adanya bahwa aku memang mandul. Itu hanya akan semakin menghancurkan perasaanku sendiri.Maryam memandangku dengan mata terlihat sendu, sebelum melakukan test kehamilan seperti yang bidan Nia sampaikan tadi. Dengan berat hati, aku mengangguk. Memberi jawaban pada Maryam, bahwa aku setuju Mar
"Mar, aku berangkat kerja dulu ya? Aku udah siapkan sarapan untuk kamu. Nanti obatnya jangan lupa diminum," pamitku pada Maryam."Iya, Mas. Maaf, Mas, aku gak bisa berangkat kerja hari ini. Badan aku belum sepenuhnya pulih," ucap Maryam."Sudah, Mar, kamu gak perlu minta maaf. Kerja itu kan tugas aku sebagai seorang suami. Kalau perlu, kamu berhenti kerja aja. Aku gak mau kamu dan bayi kita kenapa-kenapa," ucapku.Sebelum beranjak, aku memberikan banyak nasihat untuk Maryam. Aku tak ingin Maryam terus-terusan bersedih. Apalagi terlalu banyak berpikir tentang siapa ayah dari bayi yang ia kandung.Sebenarnya, aku sedikit merasa khawatir, meninggalkan Maryam di kostan sendirian. Ingin sekali aku izin, tapi tak enak sebab Maryam juga izin. Takut dikira kami janjian.**"Ken, dipanggil Pak Ahmad tuh," ucap Rio teman seprofesiku saat kami berpapasan."Tumben, ada apa ya, Ri?""Mana aku tahu, mau dikasih bonus mungkin," jawab Rio terkekeh."Aamiin ..." ucapku bersemangat.Aku berjalan menuj