☘️Subuh ini, aku dan Maryam terbangun. Lalu segera bergegas untuk mandi. Malu rasanya, jika ketahuan mandi keramas oleh Ibu ataupun Dini. Meskipun kami sudah resmi menikah, tapi tetap saja terasa canggung. Susah rasanya, jika sudah menikah dan tinggal satu atap dengan Ibu. Apalagi, kami hanya memiliki satu kamar mandi untuk dipakai secara bergantian. Itupun letaknya di ujung dapur. Sepertinya, aku harus merencanakan untuk hidup terpisah dari Ibu."Mar, aku sholat subuh ke masjid dulu ya?" pamitku pada Maryam."Iya, Mas," jawab Maryam lembut."Oh ya, Mar. Sepertinya, kita tinggal misah aja deh dari Ibu. Nanti kita cari kontrakan atau kost-kostan aja. Aku kasihan sama kamu kalau harus tinggal seatap sama Ibu. Kamu kan tahu sendiri, sikap Ibu seperti itu," ucapku."Aku terserah kamu aja, Mas, gimana baiknya. Tapi, kalau memang mau tinggal terpisah, kita tinggal di kosant aku aja, Mas. Kebetulan, kostan aku masih tiga Minggu lagi masa habisnya. Nanti, tinggal kita teruskan aja. Lagi pula
Dan akhirnya, hari ini, aku dan Maryam memutuskan untuk tinggal di kostan Maryam. Kami tak bicara pada Ibu sebelumnya. Sengaja memang, tak ingin urusan menjadi panjang. Lebih baik, kami langsung pamit saja. Biarlah jika Ibu marah, karena setahuku marahnya Ibu tak akan lama. Jika Ibu butuh sesuatu, pasti Ibu akan menegurku lagi.Lagi pula, besok, aku dan Maryam akan kembali bekerja seperti biasanya. Sebab kami hanya minta izin libur selama 3 hari saja. Kami sengaja meminta izin dengan alasan berbeda. Kami tak bilang bahwa kami izin untuk menikah. Jika atasan kami tahu, pastilah salah satu diantara kami akan dikeluarkan. Karena perusahaan tempat kami bekerja tak mengijinkan suami istri untuk bekerja di satu area yang sama."Bu, kami pamit untuk tinggal di kostan Maryam," ucapku pada Ibu. Pagi ini, Ibu sedang duduk di depan teras rumah. Aku dan Maryam sendiri sudah memasukkan barang-barang kami yang hanya berisi baju-baju kami ke dalam tas besar."Ken, Ibu kan sudah bilang. Ibu gak izink
☘️Aku masih memikirkan, bagaimana jika Maryam benar-benar hamil saat ini. Karena aku sendiri meragukan, jika bayi yang ada dalam kandungan Maryam adalah anakku. Setelah masa lalu pahit yang aku lalui, sudah bisa dipastikan bahwa aku tak bisa memiliki keturunan. Memang, aku belum melakukan pemeriksakan diri ke dokter, untuk memastikan bahwa aku mandul atau tidak. Tapi jika dilihat secara logika dan kenyataan yang terjadi, aku tak memiliki niat untuk melakukan pemeriksaan ke dokter. Tanpa perlu periksa, kehamilan Naya dan kenyataan bahwa kedua anak Anggun bukanlah anakku, itu sudah cukup untuk membuktikan.Sebenarnya, aku bukan tak mau memeriksakan diri ke dokter. Aku hanya takut. Takut jika benar adanya bahwa aku memang mandul. Itu hanya akan semakin menghancurkan perasaanku sendiri.Maryam memandangku dengan mata terlihat sendu, sebelum melakukan test kehamilan seperti yang bidan Nia sampaikan tadi. Dengan berat hati, aku mengangguk. Memberi jawaban pada Maryam, bahwa aku setuju Mar
"Mar, aku berangkat kerja dulu ya? Aku udah siapkan sarapan untuk kamu. Nanti obatnya jangan lupa diminum," pamitku pada Maryam."Iya, Mas. Maaf, Mas, aku gak bisa berangkat kerja hari ini. Badan aku belum sepenuhnya pulih," ucap Maryam."Sudah, Mar, kamu gak perlu minta maaf. Kerja itu kan tugas aku sebagai seorang suami. Kalau perlu, kamu berhenti kerja aja. Aku gak mau kamu dan bayi kita kenapa-kenapa," ucapku.Sebelum beranjak, aku memberikan banyak nasihat untuk Maryam. Aku tak ingin Maryam terus-terusan bersedih. Apalagi terlalu banyak berpikir tentang siapa ayah dari bayi yang ia kandung.Sebenarnya, aku sedikit merasa khawatir, meninggalkan Maryam di kostan sendirian. Ingin sekali aku izin, tapi tak enak sebab Maryam juga izin. Takut dikira kami janjian.**"Ken, dipanggil Pak Ahmad tuh," ucap Rio teman seprofesiku saat kami berpapasan."Tumben, ada apa ya, Ri?""Mana aku tahu, mau dikasih bonus mungkin," jawab Rio terkekeh."Aamiin ..." ucapku bersemangat.Aku berjalan menuj
☘️Aku berjalan dan terus berjalan menyusuri jalan yang biasa dilalui oleh orang-orang. Mata ini mengitari sekeliling, tapi tetap saja tak kutemukan keberadaan Maryam hingga saat ini. Hingga akhirnya, suara adzan magrib mulai berkumandang.Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa saat ini. Bingung, harus mencari Maryam kemana lagi. Aku juga tak memiliki kendaraan, hingga menyulitkan aku mencari keberadaan Maryam. Andai saja, aku memiliki motor, sudah pasti aku akan tancap gas untuk mencari keberadaan Maryam menyusuri setiap sudut kota ini.Aku berpapasan dengan orang-orang yang sedang berjalan ke arah masjid. Mereka semua pasti akan melaksanakan ibadah sholat magrib. Karena tak memiliki arah dan tujuan yang jelas, aku memutuskan untuk sholat magrib dulu sebelum melanjutkan pencarianku untuk menemukan Maryam.Aku segera mengambil air wudhu, karena sebentar lagi sholat magrib berjamaah akan segera dimulai. Setelah mengambil air wudhu, seketika hati ini sedikit tenang. Mungkin setelah
☘️Hari ini, kebetulan aku libur. Aku dan Maryam berencana untuk menginap di rumah Ibu seperti biasanya. Usia kandungan Maryam saat ini, sudah memasuki usia enam belas Minggu. Begitulah, yang dokter sampaikan saat Minggu kemarin aku menemani Maryam untuk USG.Sudah jelas bisa dipastikan, bahwa anak yang dikandung oleh Maryam bukanlah anakku. Karena berbeda dua Minggu dengan jarak pernikahanku dengan Maryam. Awalnya, aku memang merasa belum menerima sepenuhnya. Tapi sekarang, aku benar-benar sudah ikhlas. Apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintai Maryam sepenuh hati.Awalnya, Maryam merasa sangat terpuruk saat mengetahui usia kandungannya, tapi, aku berusaha meyakinkan Maryam, bahwa semua akan baik-baik saja. Aku berjanji pada Maryam akan mencintainya sepenuh hati. Tanpa pernah mengungkit masa lalu buruknya. Lagi pula, ini salah satu resiko yang harus aku terima karena sudah memutuskan untuk menikah dengan Maryam.Aku juga sudah menyuruh Maryam untuk berhenti bekerja. Aku ingin Mar
☘️"Ken, ingat ya, kalau kalian mau periksa kandungan Maryam ke dokter, kamu jangan lupa ajakin Ibu," bisik Ibu padaku.Malam ini, aku dan Maryam pamit untuk pulang ke kostan. Karena besok pagi, aku harus bekerja seperti biasanya."Iya, Bu," jawabku lirih.Setelah berpamitan, aku dan Maryam segera mencari angkutan umum untuk pulang ke kostan kami."Tadi, Ibu bicara apa sama kamu, Mas? Kok pakai bisik-bisik?" tanya Maryam. Saat ini, kami sedang berada di dalam angkutan umum menuju pulang."Oh, gak papa, Mar. Ibu cuma suruh kita buat sering-sering nginep di tempat Ibu," jawabku berbohong. Bagaimanapun juga, aku harus menjaga perasaan Maryam."Hmm gitu ya? Oh ya, Mas, gimana kalau kita beli motor aja. Kalau mau kemana-mana kan enak, gak perlu naik angkot," ucap Maryam."Aku juga mikir gitu sih. Tapi uang aku belum cukup, Mar.""Aku tambahin deh, Mas. Kebetulan aku masih punya sedikit tabungan. Kita beli motor second aja yang murah. Yang penting bisa buat kita pulang pergi.""Memang kamu
☘️"Ken, dapat salam tu dari si Sella," ucap Rio. Saat kami sedang duduk beristirahat di kantin."Marni siapa, Ri?""Itu, anak cleaning servis lantai lima. Kayaknya dia naksir sama kamu," jawab Rio."Hah! Ada-ada aja kamu ini, Ri.""Ada-ada aja gimana sih, Ken. Aku serius, tadi si Sella nanyain kamu ke aku. Katanya titip salam buat kamu," kata Rio dengan wajah serius."Buat kamu aja lah, Ri.""Aku sih mau aja, Ken. Tapi dia nya gak respect sama aku. Eh, malah kepincut sama kamu," ucap Rio terkekeh."Ya kalau kamu usaha, pasti bisalah. Belum juga usaha, udah nyerah gitu. Emang yang mana anaknya? Perasaan aku gak kenal," ujarku."Yang rambutnya sebahu itu loh, Ken. Yang biasa ngobrol sama aku di parkiran kalau mau masuk kerja. Biasanya juga papasan sama kamu juga.""Oh, itu. Iya aku ingat. Ya lumayan cantik sih.""Itu tau. Kamu gak mau deketin dia?""Enggak ah, buat kamu aja. Aku udah ada yang punya," jawabku tersenyum."Beneran? Emang ada yang mau sama kamu?""Gini-gini juga aku udah l