"Makan siang pake sate buntel?" Anita memperhatikan Lia yang sedang menata kotak bekal di atas meja kerjanya. "Kemarin kami beli terlalu banyak, jadi sisanya aku bawa pulang. Tenang aja, tadi pagi sudah aku angetin kok," Lia meletakkan sekotak nasi di depan Anita. "Ini apa?" Anita menunjuk sebuah kotak bekal yang berisi makanan berkuah kecoklatan. "Tongseng kambing, yuk makan," Lia mulai menyendok tongseng dan menuangkannya di atas nasi, lalu mengambil satu tusuk sate dan menggigitnya. "Ehmmm, ini enak banget," gumam Lia sambil terus mengunyah makanannya. "Memangnya Pak Revan pesen berapa banyak, sampai nggak habis di makan?" Anita mengambil sendoknya dan mengacak-acak nasi yang ada di depannya. "Dia pesen sate buntel tiga porsi, sama tongseng dua porsi. Gila kan? Kami cuma berdua loh. Padahal, sate ini walaupun satu porsi cuma tiga tusuk tapi kan besar banget." Lia menggelengkan kepalanya sambil terus melahap makan siangnya. Anita memutar bola matanya, "ya, namanya juga sedang
"Kamu pesan apa?" tasnya Revan, saat melihat Lia membawa bungkusan kresek warna putih di tangannya. "Bistik sapi, ini paling terkenal loh di Solo. Rasanya dijamin enak." Lia berjalan ke dapur untuk mengambil piring. Setelah itu, Lia menata piring dan makanan yang baru saja diantar oleh driver aplikasi pemesanan makanan. "Beneran enak? kapan-kapan kita makan di restoran nya saja ya?" Ajak Revan. Dia duduk manis di kursinya sambil memperhatikan Lia yang sangat cekatan menyiapkan makan malam. "Tempatnya di pinggir jalan, warung dadakan gitu dan pakai tenda. Aku takut kamu nggak nyaman nanti," jelas Lia sambil menyerahkan sepiring nasi dan sepiring bistik lidah sapi. "Terima kasih, sayang," ucap Revan sambil menerima sodoran piring dari Lia. Bukannya menjawab, Lia malah mematung. Melihat ekspresi Lia, Revan langsung tergelak. "Pak Revan jangan main-main! Sukanya bikin orang salting!" Kesal Lia. Dia menghempaskan pantatnya dengan kasar ke atas kursi dan melipat kedua tangannya, tan
"A-apa?!"Belum reda debaran jantung Lia karena serangan dari Revan, sekarang jantungnya berdebar dua kali lipat lebih cepat saat mendengar ucapan kekasihnya itu. "Lalu bagaimana?" Pekik Lia lirih, tampak sekali bahwa Lia sangat kalut. Revan terdiam, tatapannya menatap pintu depan yang masih di tutup dan di kunci dari dalam. Dia harus bagaimana? Apakah akan mengenalkan saja Lia kepada kedua orang tuanya? Toh, dia memang berniat untuk serius dengan Lia. Tapi, jika dia kenalkan Lia sekarang, apakah orang tuanya tidak akan berpikir negatif pada Lia? Karena Revan belum resmi bercerai tapi malah mengenalkan wanita lain pada kedua orang tuanya. Tapi jika Revan menyembunyikan Lia, bagaimana perasaan Lia? dia pasti sangat sedih. "Aku harus tenang dan berpikir jernih," batin Revan. Revan menatap Lia yang tampak gugup dan takut, lalu buru-buru dia mendekat dan memeluk kekasihnya itu. Tubuh Lia gemetar dalam pelukan Revan, dan Revan merasa bersalah karenanya. "Lia… tenang lah, jangan k
Revan segera berlari menuju mobilnya, menyalakannya dan bergegas untuk mencari Lia. Dia pasti belum begitu jauh -jika berjalan kaki-.Tapi sepertinya tidak mungkin Lia berjalan kaki, karena sandalnya masih tertinggal di rumah Revan.Mana mungkin Lia berjalan pulang ke rumah sambil bertelanjang kaki kan?Sepanjang jalan, Revan melajukan mobilnya dengan pelan, agar bisa mencari Lia yang mungkin sedang berjalan di pinggir jalan.Namun, semakin jauh Revan menyetir, dia belum juga bisa menemukan Lia.Mungkin saja Lia naik taxi atau ojek online.Tanpa berpikir panjang, Revan menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan cepat menuju Rumah Lia.Dia berharap Lia sudah sampai di rumahnya.Revan menepikan mobilnya, di pinggir jalan besar. Gang menuju rumah Lia tidak bisa dimasuki mobil, karena terlalu sempit. Hanya sepeda motor yang bisa memasukinya.Setelah keluar dari mobil, Revan segera berlari menuju rumah Lia yang ternyata sepi, bahkan lampu rumah pun masih mati.Apakah Lia belum sampa
Lia memasuki ruang kerjanya. Sebelum membuka pintu ruangannya, dia sempatkan diri melirik ruang kerja Revan yang masih kosong. Revan sepertinya belum berangkat, atau mungkin dia ada meeting di luar sehingga masuk kerja agak terlambat?Lia memasuki ruangan dan benar saja, ruangan yang tadinya riuh ramai langsung berubah sepi saat dia muncul.Semua mata menatap dirinya, lebih tepatnya menatap matanya yang membengkak. Semoga saja mereka hanya melihat mata Lia, bukan bibirnya.Secara tidak sadar, Lia berusaha menutupi bibirnya dengan tangan lalu berdhehem dan buru-buru duduk di kubikelnya."Habis berantem sama pacar ya? masa baru jadian udah berantem aja," celetuk Novi.Lia yang sedang menyalakan komputernya sempat terkejut dan menghentikan aktivitasnya, namun tak berselang lama, dia sudah bisa mengendalikan diri dan melanjutkan pekerjaannya."Namanya pacaran mah, biasa berantem kok, Li. Itu bumbu dalam bercinta," ucap Rita sambil tersenyum."Iya, kalau nggak berantem, pacarannya jadi ham
"Ada apa ya? Kok tiba-tiba staff admin sama staff gudang di suruh meeting?" gumam Mita. Mereka berempat, Novi, Rita, Mita dan Lia sedang berjalan menuju ruang meeting, karena baru saja Pak Revan mengirim pesan agar segera berkumpul di ruang meeting. "Nggak tau nih, sales juga sudah pada berangkat jadi nggak ada yang ikut meeting," timpal Rita. "Mungkin yang meeting cuma staff admin dan gudang saja," Mita membalas. "Duh, ada apa ya? Bikin deg-degan deh!" Rita mengelus dadanya, takut. "Kamu nggak tau, Li?" Tanya Novi sedikit ketus. Lia menoleh ke arah Novi, bingung dengan pertanyaan yang keluar dari mulutnya. "Kamu kan tadi di ruangan Pak Revan, lama pula. Pasti kalian ngobrol, kan? Siapa tau tadi Pak Revan sudah ngomong sama kamu!" Sinis Novi. Rita dan Mita yang penasaran, langsung menatap Lia. "Tadi aku lama, karena di ruang Pak Revan ada tamu. Jadi aku nunggu sampai tamunya pergi," Jawab Lia, enggan berdebat. "Kirain sudah tau dan dapat bocoran," Novi mencibir kan mulutnya.
Lia memarkir motornya di carport rumah Revan. Dia sengaja meletakkan motornya mepet ke tembok supaya jika mobil Revan masuk, tidak kesusahan. Lia tiba lebih dulu di rumah Revan dan tak lama kemudian, mobil Revan masuk dan berhenti tepat di dekat Lia. Lia tersenyum saat melihat Revan keluar dari mobilnya, namun Revan tak membalas senyumnya. Dia tampak tak senang dan kesal. Kenapa? Revan berjalan menuju teras, kemudian masuk ke dalam rumah meninggalkan Lia yang masih berada di luar.Lia terdiam tak percaya, tadi dia disuruh datang, tapi malah di cuekin? Ada apa gerangan dengan pacar barunya ini?Lia menghela napas, sebelum akhirnya berjalan menyusul Revan, masuk ke dalam rumah. Lia mencari keberadaan Revan, dia tak ada di ruang tamu sehingga Lia memutuskan untuk ke dapur. Dan benar saja, Revan ada di sana, membuka pintu kulkas, mengambil sebotol air mineral dan menenggaknya hingga tandas. Revan seperti unta yang kehausan. "Kenapa?" Tanya Lia, hati-hati. Dia tau suasana hati kekasi
Pagi ini Lia berangkat kerja dengan perasaan yang tidak menentu. Entah kenapa, sejak menjalin hubungan dengan Revan, hidupnya yang semula datar dan biasa saja berubah drastis seperti naik roller coaster.Mungkin juga ini memang salah Lia sendiri, karena sudah berani mengambil keputusan yang sangat besar, yaitu menjalin hubungan dengan suami orang.Lia menghela napas dengan kasar. Hatinya terasa sesak, tapi dia tak bisa berbuat apa apa. Lia pasrah akan apa yang akan terjadi nanti, dia juga tak akan menyalahkan Revan, jika dia berubah pikiran dan memutuskan hubungan dengan Lia. Lia sadar diri, dia hanya wanita biasa tak ada kelebihan apa apa.Lagi lagi, Lia menghela napas saat menempelkan jempolnya di mesin absensi."Kenapa? dari tadi aku perhatikan, kok, menghela napas terus?"Lia tersentak kaget dan menoleh ke asal suara yang begitu dekat di telinganya."Pak Tristan…" gumamnya."Ck! jangan panggil, Pak! Tristan aja. Kesannya kok tua amat," Tristan tersenyum.Lia mengangguk."Oiya, maa