Sebagai ganti rugi dan pelipur hati Galen atas pertanyaan yang tak bisa Siera jawab, sore ini si perempuan bersedia diajak jalan-jalan. Hanya mereka berdua, tanpa Arkan. Urusan pekerjaan, si ayah akan menyusul segera setelah senggang.
Agendanya, Siera menemani dan mengajari Galan naik sepeda. Maka, sebuah lapangan sepak bola dijadikan tujuan.
Sesaat setelah tiba di sana, Galen yang tak sabar langsung menuntun sepedanya berkeliling. Hanya dituntun, tetapi wajah bocah itu lebih cerah dari mentari siang tadi.
"Bentar lagi, Kak. Bentar lagi ajari Gal. Gal mau keliling dulu."
Siera mengangguk saja. Berdiri di pinggir lapangan, ia menontoni Galen. Lelah yang didapat dari pekerjaan sejak pagi perlahan hilang. Melihat Galen tersenyum senang, suasana hati menjadi sangat baik.
Puas menuntun sepeda berkeliling, Galen menghampiri Siera. Anak lelaki itu semakin melebarkan senyum kala tangan Siera mengusap lembut kening yang berpelu
Sebenarnya Siera belum siap datang ke sini. Bertemu Mike, menginjakkan kaki di rumah orang tuanya Dean itu tidak lagi semudah dulu.Pertemuan tidak sengajanya dengan Dean di lapangan kemarin membawa dampak besar bagi Siera. Ia mendadak merasa asing, termasuk pada Mike.Jika bukan karena Mike sangat memaksa, Siera akan kembali mengelak datang hari ini. Mungkin alasan lembur bekerja bisa dipakai lagi."Datanglah, Siera. Ada yang ingin Papa sampaikan."Berusaha mengesampingkan perasaan tidak nyaman dan sedihnya, kaki Siera melangkah mendekati pintu rumah Mike. Menekan bel beberapa kali sampai akhirnya si tuan rumah muncul.Diberi pelukan, mata Siera menghangat. Bisakah ia benar-benar menjauh dari Mike nantinya? Si mantan mertua sudah ia anggap ayah sendiri. Selalu ingin diperlakukan bak anak sendiri, seperti sekarang, tetapi ia harus menerima kenyataan.Dean sudah bersama dengan Nara lagi. Besar kemungkinan d
"Dadah, Mamah!"Lambaian tangan Siera berhenti sejenak. Perempuan itu membeliak, kemudian berusaha tersenyum. "Gal?" panggilnya mengingatkan.Galen yang berdiri di samping ayahnya tertawa. "Iya, iya. Dadah, Kak Ciela."Hari ini Arkan dan Galen menjenguk Siera yang sudah dua hari dirawat di rumah sakit. Demam dan kelelahan, Arkan adalah pihak yang sangat memaksa agar si kekasih menjalani perawatan minimal sampai besok.Datang beberapa jam lalu, sekarang Arkan dan Galen akan segera pulang. Si bocah ternyata sedikit usil karena tiba-tiba saja memanggil Siera dengan sebutan Mamah."Cepat sembuh, ya, Kak Ciela.""Iya."Arkan mengulurkan tangan, mengusap pundak kekasihnya. "Masuk sana, istirahat. Kami pulang dulu. Besok datang lagi." Sebenarnya ingin menginap menemani, tetapi Arkan tak mungkin membiarkan Galen berdua saja dengan asisten rumah tangga.Siera mengangguk saja. Kembali melam
Saat terbangun dari tidur, Siera mendapati dirinya tidak lagi di kamar Dean. Ia terbaring di ranjang rawat miliknya."Sudah bangun?"Suara itu membuatnya menegakkan tubuh, duduk seraya mengucek mata. Saat penglihatan kembali jelas, sosok Arkan didapati di sana."Kenapa aku di sini? Dean? Di--" Ucapan menggantung. Siera menyadari perubahan raut wajah Arkan. Tidak lagi tersenyum seperti beberapa saat lalu, lelaki itu memasang ekspresi tak nyaman kini."Kenapa kamu tidur di kamar Dean? Nanti, apa pacarnya nggak akan marah?"Arkan bertanya, tetapi Siera paham itu adalah bentuk peringatan. Seketika Siera merasa sangat jahat."Mau sarapan? Udah jam sembilan, kamu pasti udah lapar banget." Bicara tanpa menatap wajah, Arkan sibuk menyiapkan bubur yang tadi sempat ia beli. "Oh, ya. Habis makan kita bicara sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan."Serius sekali nada bicara itu. Siera jadi gugup dan tak sa
Sial. Siera meradang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia mengepalkan tangan di dalam taksi itu.Perempuan ini baru saja mengunjungi tempat kecelakaan Dean. Tepi jalan yang toko atau ruko di dekat sana tidak memasang CCTV yang mengarah ke tempat kejadian.Siera kehilangan bukti untuk mengadukan Nara pada pihak berwajib. Hilang sudah kesempatan memenjarakan perempuan jahat itu.Terpikirkan untuk meminta bantuan di supir pick up. Namun, orang itu menolak bekerjasama. Katanya, tidak ingin terlibat lagi atas kejadian yang nyaris membuatnya jadi tersangka.Sungguh ini bukan keadaan baik. Menunggu Dean sadar dan membuat laporan atas Nara? Itu sama saja mengharapkan pohon kelapa berbuah jeruk. Mustahil. Setelah semua ini, Siera yakin manta suaminya masih akan membela Nara.Bodoh. Apa cinta memang mampu membuat manusia hilang akal, tidak waras?Tentu. tidak perlu Dean, contohnya adalah Siera sendiri. ia melepas
Mendahului Mike turun dari mobil, Siera bergegas menuju pintu di sisi kiri. Membukanya, untuk kemudian membantu Dean keluar dari sana.Pagi ini pria itu sudah diizinkan pulang oleh dokter, setelah satu minggu di rumah sakit. Dengan usaha keras dan perdebatan antara si ayah dan anak, Dean akhirnya mau dibawa pulang ke kediaman Mike. Pria keras kepala itu kukuh bisa merawat dirinya sendiri sebelum ini."Aku udah bilang, harusnya pakai kursi roda aja tadi." Mengalungkan lengan Dean di bahunya, Siera meringis melihat cara pria itu berjalan. Terpincang-pincang."Aku tidak lumpuh. Lututku hanya masih sedikit nyeri jika dipakai berjalan.""Pacaran kok lebih parah dari uji nyali," gerutu si perempuan saat mereka melewati pintu."Bukannya senang, malah babak belur.""Katanya cinta, tapi terus-terusan disiksa.""Biasanya laki-laki yang lakuin KDRT, ini kebalik. Dasar budak cinta. Buta kamu. Dianiaya, ma
Memang ada yang berbeda dengan Siera. Dean sepenuhnya menyadari itu. Pertama, perempuan itu jadi lebih sering datang ke rumah Mike. Bukan dulu tidak demikian, tetapi kali ini hampir setiap hari. Bahkan tidak jarang di pagi hari sudah muncul dengan membawa sarapan.Kedua, keteguhan perempuan itu untuk menjauhkannya dari Nara. Tidak main-main. Bahkan telepon dari Nara tidak diizinkan Dean jawab. Dan yang terakhir, soal Arkan.Awalnya Dean tak sungguh percaya jika hubungan Arkan dan Siera memang sudah berakhir. Namun, melihat Siera selalu di rumah ayahnya dan tak pernah sekali pun dijemput Arkan, Dean jadi agak percaya.Untuk benar-benar mendapat kepastian, Dean pun menyuarakan tanya itu sore ini. Saat Siera tengah duduk sendirian di teras belakang."Kamu bukannya tidur?"Dean menggeleng, memposisikan diri duduk tepat di samping si perempuan. "Kamu enggak kerja?""Udah enggak." Siera menekuri ujung kaki. 
Turun dari mobil, cara Dean berjalan masih sedikit pincang. Pria itu hendak membuka pagar rumah yang sudah lima hari terakhir ditinggal. Di dekatnya, ia melihat Nara.Tidak menghindar, meski hanya melirik sekilas, pria itu membiarkan saja perempuan itu ikut masuk ke rumah. Mereka memang harus bicara.Suasana hati masih tidak terlalu baik, Dean memilih untuk mandi lebih dulu. Mengganti pakaian kerjanya, lalu kemudian menyusul Nara di ruang tamu."Aku mau minta maaf, An." Nara memulai konversasi. Perempuan itu menunduk dalam di depan sang kekasih. "Aku benar-benar marah waktu itu."Marah. Selalu itu yang menjadi pembenaran Nara sesudah berbuat kasar saat mereka bertengkar. Dean sudah kenyang mendengar alasan itu."Aku sungguh nggak terima kamu membela dia. Aku salah paham dan ngira kamu udah jatuh cinta sama dia."Mendengarkan saja, dalam hati si lelaki membenarkan. Siera memang telah punya tempat spesial di
Terlalu terkejut, Siera nyaris tersandung karena tiba-tiba saja melihat sosok Arkan di depan Ramaji. Mereka beradu pandang sebentar, Siera ditampar oleh senyuman lembut yang mantan pacarnya suguhkan.Masih saja baik, meski sudah disakiti. Siera tak berani mengangkat wajah saat Arkan mengajaknya masuk ke mobil. Mengekori seraya memegang tali tote bag erat, perempuan itu kehilangan muka.Arkan bertanya kabar. Menyayangkan mengapa Siera sampai harus resign dari mini marketnya. Pria itu berkata bisa membedakan mana urusan kerja dan ranah pribadi. Semua penjelasan itu disuarakan tanpa ada kemarahan apalagi kebencian."Aku terlalu banyak ngomong kayaknya. Kamu kenapa diam aja?"Melirik ke pria itu sesaat, Siera berusaha tersenyum. "Aku enggak tahu harus bilang apa. Kepalaku hanya diisi kata maaf sekarang," akunya sungguh.Arkan menatapi jalan di depan mereka. "Aku memang sempat marah. Patah hati aku kamu tinggal gitu aja. Ka