Saat terbangun dari tidur, Siera mendapati dirinya tidak lagi di kamar Dean. Ia terbaring di ranjang rawat miliknya.
"Sudah bangun?"
Suara itu membuatnya menegakkan tubuh, duduk seraya mengucek mata. Saat penglihatan kembali jelas, sosok Arkan didapati di sana.
"Kenapa aku di sini? Dean? Di--" Ucapan menggantung. Siera menyadari perubahan raut wajah Arkan. Tidak lagi tersenyum seperti beberapa saat lalu, lelaki itu memasang ekspresi tak nyaman kini.
"Kenapa kamu tidur di kamar Dean? Nanti, apa pacarnya nggak akan marah?"
Arkan bertanya, tetapi Siera paham itu adalah bentuk peringatan. Seketika Siera merasa sangat jahat.
"Mau sarapan? Udah jam sembilan, kamu pasti udah lapar banget." Bicara tanpa menatap wajah, Arkan sibuk menyiapkan bubur yang tadi sempat ia beli. "Oh, ya. Habis makan kita bicara sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan."
Serius sekali nada bicara itu. Siera jadi gugup dan tak sa
Sial. Siera meradang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ia mengepalkan tangan di dalam taksi itu.Perempuan ini baru saja mengunjungi tempat kecelakaan Dean. Tepi jalan yang toko atau ruko di dekat sana tidak memasang CCTV yang mengarah ke tempat kejadian.Siera kehilangan bukti untuk mengadukan Nara pada pihak berwajib. Hilang sudah kesempatan memenjarakan perempuan jahat itu.Terpikirkan untuk meminta bantuan di supir pick up. Namun, orang itu menolak bekerjasama. Katanya, tidak ingin terlibat lagi atas kejadian yang nyaris membuatnya jadi tersangka.Sungguh ini bukan keadaan baik. Menunggu Dean sadar dan membuat laporan atas Nara? Itu sama saja mengharapkan pohon kelapa berbuah jeruk. Mustahil. Setelah semua ini, Siera yakin manta suaminya masih akan membela Nara.Bodoh. Apa cinta memang mampu membuat manusia hilang akal, tidak waras?Tentu. tidak perlu Dean, contohnya adalah Siera sendiri. ia melepas
Mendahului Mike turun dari mobil, Siera bergegas menuju pintu di sisi kiri. Membukanya, untuk kemudian membantu Dean keluar dari sana.Pagi ini pria itu sudah diizinkan pulang oleh dokter, setelah satu minggu di rumah sakit. Dengan usaha keras dan perdebatan antara si ayah dan anak, Dean akhirnya mau dibawa pulang ke kediaman Mike. Pria keras kepala itu kukuh bisa merawat dirinya sendiri sebelum ini."Aku udah bilang, harusnya pakai kursi roda aja tadi." Mengalungkan lengan Dean di bahunya, Siera meringis melihat cara pria itu berjalan. Terpincang-pincang."Aku tidak lumpuh. Lututku hanya masih sedikit nyeri jika dipakai berjalan.""Pacaran kok lebih parah dari uji nyali," gerutu si perempuan saat mereka melewati pintu."Bukannya senang, malah babak belur.""Katanya cinta, tapi terus-terusan disiksa.""Biasanya laki-laki yang lakuin KDRT, ini kebalik. Dasar budak cinta. Buta kamu. Dianiaya, ma
Memang ada yang berbeda dengan Siera. Dean sepenuhnya menyadari itu. Pertama, perempuan itu jadi lebih sering datang ke rumah Mike. Bukan dulu tidak demikian, tetapi kali ini hampir setiap hari. Bahkan tidak jarang di pagi hari sudah muncul dengan membawa sarapan.Kedua, keteguhan perempuan itu untuk menjauhkannya dari Nara. Tidak main-main. Bahkan telepon dari Nara tidak diizinkan Dean jawab. Dan yang terakhir, soal Arkan.Awalnya Dean tak sungguh percaya jika hubungan Arkan dan Siera memang sudah berakhir. Namun, melihat Siera selalu di rumah ayahnya dan tak pernah sekali pun dijemput Arkan, Dean jadi agak percaya.Untuk benar-benar mendapat kepastian, Dean pun menyuarakan tanya itu sore ini. Saat Siera tengah duduk sendirian di teras belakang."Kamu bukannya tidur?"Dean menggeleng, memposisikan diri duduk tepat di samping si perempuan. "Kamu enggak kerja?""Udah enggak." Siera menekuri ujung kaki. 
Turun dari mobil, cara Dean berjalan masih sedikit pincang. Pria itu hendak membuka pagar rumah yang sudah lima hari terakhir ditinggal. Di dekatnya, ia melihat Nara.Tidak menghindar, meski hanya melirik sekilas, pria itu membiarkan saja perempuan itu ikut masuk ke rumah. Mereka memang harus bicara.Suasana hati masih tidak terlalu baik, Dean memilih untuk mandi lebih dulu. Mengganti pakaian kerjanya, lalu kemudian menyusul Nara di ruang tamu."Aku mau minta maaf, An." Nara memulai konversasi. Perempuan itu menunduk dalam di depan sang kekasih. "Aku benar-benar marah waktu itu."Marah. Selalu itu yang menjadi pembenaran Nara sesudah berbuat kasar saat mereka bertengkar. Dean sudah kenyang mendengar alasan itu."Aku sungguh nggak terima kamu membela dia. Aku salah paham dan ngira kamu udah jatuh cinta sama dia."Mendengarkan saja, dalam hati si lelaki membenarkan. Siera memang telah punya tempat spesial di
Terlalu terkejut, Siera nyaris tersandung karena tiba-tiba saja melihat sosok Arkan di depan Ramaji. Mereka beradu pandang sebentar, Siera ditampar oleh senyuman lembut yang mantan pacarnya suguhkan.Masih saja baik, meski sudah disakiti. Siera tak berani mengangkat wajah saat Arkan mengajaknya masuk ke mobil. Mengekori seraya memegang tali tote bag erat, perempuan itu kehilangan muka.Arkan bertanya kabar. Menyayangkan mengapa Siera sampai harus resign dari mini marketnya. Pria itu berkata bisa membedakan mana urusan kerja dan ranah pribadi. Semua penjelasan itu disuarakan tanpa ada kemarahan apalagi kebencian."Aku terlalu banyak ngomong kayaknya. Kamu kenapa diam aja?"Melirik ke pria itu sesaat, Siera berusaha tersenyum. "Aku enggak tahu harus bilang apa. Kepalaku hanya diisi kata maaf sekarang," akunya sungguh.Arkan menatapi jalan di depan mereka. "Aku memang sempat marah. Patah hati aku kamu tinggal gitu aja. Ka
Jauh dari kesan hangat, ruang tamu yang Dean huni itu malah terasa kaku dan dingin. Bahkan setelah si pria mengutarakan maksud kedatangan pada orang tua Nara.Menepati janji yang ia buat, Selasa ini Dean mengesampingkan sejenak jadwal kerja. Ia bersama Nara mendatangi kediaman orang tua si perempuan guna membicarakan perihal pertunangan.Dean bisa membaca keterkejutan Brian dan Ria atas apa yang ia sampaikan. Namun, setelah itu, dua orang itu hanya saling pandang, lalu diam untuk beberapa saat."Semua keperluan aku dan Dean yang akan mengurus. Kami hanya perlu restu Mama dan Papa." Nara memecah hening yang canggung itu.Brian mengangguk paham. "Baiklah kalau demikian. Wajar jika kami terkejut. Nara tak pernah menyinggung soal hubungannya dengan kamu." Pria itu menetap sedih pada si putri.Dean mengamini dan meminta maaf. Meski itu bukan salahnya. Naralah yang selama ini menolak membawa dan memperkenalkannya pada Brian
Siang ini, sehabis dari percetakan untuk mengambil undangan, Nara menyempatkan diri berkunjung ke rumah Mike. Sedikit memaksa untuk bisa masuk, karena asisten rumah tangga tak membolehkan, perempuan itu menemukan Sier di ruang tamu calon mertuanya."Aku bawa martabak. Semoga Om suka." Tersenyum lebar pada Mike, ia melirik berang pada Siera.Mike hanya menatap buah tangan yang ditaruh Nara di meja. Pria itu tak punya kalimat yang ingin disuarakan."Aku baru aja ambil undangan ke percetakan, Om. Besok mulai dibagiin ke saudara."Bisa dilihatnya Siera menunduk. Agaknya menutupi perasaan kalah dan patah hati. Nara tergelak dalam hati menyaksikan itu. Akhirnya, ia menang.Kalau saja tidak diinterupsi oleh dering ponsel, sudah pasti Mike langsung meminta Nara pulang saja. Ia tahu kunjungan ini hanya basa-basi. Nara hanya perlu Dean dan bukan dirinya."Papa angkat telepon dulu, ya." Berat hati pria itu untuk pami
Dean memegang kemudi erat. Ponsel di telinga masih saja menderingkan nada tunggu, tak ada tanda-tanda akan dijawab.Pria itu memutus sambung. Melempar gawai tadi ke kursi penumpang di samping. Siera sepertinya memang tak ingin menjawab panggilan teleponnya. Yang barusan adalah percobaan Dean yang kesepuluh kali hingga malam ini.Memijat pelipis, seraya berusaha fokus ke jalanan, Dean merutuk dirinya. Lelaki itu marah pada dirinya yang masih saja bersikap plin-plan hingga sekarang.Sudah memilih Nara. Undangan pertunangannya sudah disebar. Dan apa? Dean sempat-sempatnya mengkhawatirkan si mantan istri yang beberapa hari belakang tak membalas pesan atau mengangkat telepon.Dean sungguh tak paham akan inginnya sendiri. Berlagak gentleman, bertanggung jawab pada Nara. Namun, merasa bersalah dan tidak tega pada Siera. Belum lagi, Mike yang kukuh tak ingin ikut campur atau terlibat di acara pertunangannya. Si ayah bahkan menolak datang d