Kaki Siera berayun riang menyusuri jalan menuju salah satu rumah di kompleks elit itu. Saat mata sudah bisa menangkap julangan pagar berwarna emas itu, bibir membentuk kurva sempurna.
Sebulan. Tiga puluh hari. Rasanya rindu sekali. Siera sudah tak sabra bersua Ana dan Mike. Sore ini, sepulang bekerja, dengan buah tangan, ia mengunjungi orang tua yang sudah sangat dirindukan itu.
"Maa!"
Dibukakan pagar, melempar senyum pada si satpam yang terlihat terkejut, perempuan itu setengah berlari menuju pintu.
Bel ia tekan tak sabar. "Pa! Ma!"
Saat daun pintu itu ditarik ke dalam, Siera langsung menghambur ke pelukan Ana.
"Rinduu!" Erat sekali Siera mendekap ibunya Dean itu. Selama ini, setelah resmi berpisah dengan Dean, Siera hanya bertukar kabar lewat telepon atau pesan dengan Mike dan Ana. Sangat bersyukur karena dua orang itu tetap mau menerimanya.
"Kamu kenapa tidak bilang mau datang? Papa bisa je
"Kak Ciela!"Panggilan manis itu membuat Siera yang semula menunduk, seketika mendongak. Senyum riang ia berikan sebagai balasan pada bocah tiga tahun yang berlari menghampiri."Galen! Jangan lari-lari gitu, ah. Aku takut kamu jatuh." Berpelukan sebentar, Siera mengusap sayang puncak kepala Galen, anaknya Arkan."Kita jadi pelgi, 'kan? Kakak udah janji." Galen memegangi tangan Siera kuat. Menagih janji yang si perempuan buat seminggu lalu. Mereka akan ke pasar malam, tepat setelah Siera selesai bekerja.Yang ditanyai mengangguk pasti. Ia berdiri, berjalan menuju mobil Arkan sambil menggandeng Galen."Kita makan dulu, ya, Gal. Kak Siera kan baru pulang kerja." Arkan yang baru saja melajukan mobil meninggalkan area parkiran mini market mencoba merayu putranya.Galen di pangkuan Siera menggeleng. "Pasal malam ulu." Ia bersandar pada dada Siera. Menikmati benar usapan tangan si perempuan yang tak berhenti di k
"Pelan-pelan, Siera."Tangan Nara yang hendak meraih ponsel di nakas terhenti geraknya. Perempuan yang setengah berbaring itu menoleh pada Dean di sisi kiri ranjang."Tidur di kamar saya, Siera."Wanita dengan gaun tidur berwarna merah itu menganga. Di sana Dean tengah mengigau rupanya. Tentang Siera?"Dean!" Naik pitam, Nara memukulkan bantal pada tubuh Dean. Laki-laki itu tersentak dengan dahi berlipat."Bisa bangunkan orang dengan cara lebih sopan?" Dean menegakkan punggung, mengusap wajah."Apa manggil-manggil nama perempuan lain di ranjang pacar sendiri itu sopan, Dean?"Dean menatap Nara tak paham."Kamu mimpiin Siera barusan? Kamu manggil-manggil nama dia dalam tidur? Kamu mimpi lagi ngapain sama dia?" Nara tak sabar. Mendengar jawaban juga memberi Dean pelajaran.Pelan-pelan ingatan soal mimpi tadi diperoleh Dean. Laki-laki itu mendesah berat. "Bukan apa-apa,"
Suara tawa Siera mengalun merdu. Perempuan dengan blouse krem itu tak kuasa menahan diri kala melihat Arkan tengah berupaya meniru anak burung di hadapannya."Berhenti, Ar. Aku capek." Ia berjongkok di tepi jalan setapak taman. Berusaha menghentikan tawa, tetapi Arkan malah semakin getol menggerakkan tangan, meniru kepakan sayap anak burung.Arkan berhenti, ikut duduk di samping Siera. Ia perhatikan baik-baik wajah cantik yang memerah karena tawa itu. Bodoh sekali Dean melepaskan perempuan sempurna seperti ini, pikirnya."Kamu senang?" tanya Arkan setelah Siera berhenti tertawa.Yang ditanyai mengangguk. Berjalan-jalan di taman. Bermain gelembung sabun, membeli balon dan memecahkannya, ini jalan-jalan paling menyenangkan."Baguslah. Aku juga.""Kamu enggak anggap ini aneh?" Siera meraih daun kuning yang barusa jatuh di rambut Arkan. Perempuan itu terkesiap kala tangannya d
"Kamu lagi marah sama aku, ya?"Dean tak bersuara. Jemarinya menekan remote TV asal."Aku ngerasa gitu. Kamu diam sejak tadi, noleh aja enggak."Menekan tombol merah, lelaki dengan kemeja berwarna abu-abu itu bersedekap, menatapi layar gelap di depan."Dean? Iya, kayaknya kamu lagi marah. Tapi, karena apa?"Siera tampak berpikir. Mencari-cari bagian yang terlewat, alasan mengapa sejak tadi si mantan suami tidak bicara padanya, mengabaikan pertanyaannya dan enggan membalas tatapan.Sejak siang tadi, Siera ada di rumah Mike dan Ana. Menghabiskan waktu liburnya bersama dua orang itu, kebetulan Dean tengah berkunjung.Sebenarnya cukup senang, tetapi si perempuan berusaha terlihat biasa saja. Mencoba tenang, ia malah mendapat sikap aneh dari Dean. Pria itu seolah menghindar dan sejak tadi terus menekuk wajah ke arahnya.Dean bicara pada Ana. Menimpali ucapan Mike, tetapi berpura tak me
Siera terlihat ragu melangkah melewati pagar rumah Dean. Pegangan totebag di bahu ia remas. Haruskah masuk?Sekitar setengah jam tadi, saat dirinya hendak berangkat kerja, Siera mendapat telepon dari Dean. Pria itu tanpa basa-basi mengutarakan maksud.[Saya terluka. Tolong datang ke rumah.]Tanpa pikir panjang, si perempuan mengubah tujuannya. Tidak jadi ke tempat kerja, melainkan ke rumah Dean. Namun, setibanya di sini, ia malah ragu untuk masuk.Gerbang masih tergembok. Siera punya kunci cadangan. Tidak seharusnya datang ke rumah mantan suami yang tinggal sendiri. Namun, Dean sedang terluka.Secepat kilat tangan perempuan itu merogoh tas. Kunci pagar terbuka, langkahnya terburu menuju pintu."Dean!" Seraya berjalan masuk, ia memanggil. Pria itu dia temukan di sofa ruang tamu.Terperanjat, Siera menutup mulut kala mendapati noda merah di bagian depan kemeja biru Dean. Menghampiri, ia merasa m
Kehilangan Paling PiluSejauh yang Dean ingat, ibunya adalah sosok paling sabar yang ada di dunia. Perempuan itu tak pernah lelah menghadapi gengsinya Dean. Bentuk keras kepala yang paling baik.Satu contoh. Dulu, waktu Dean masih duduk di bangku SMA. Lelaki itu pernah mengalami demam cukup lama. Berlagak layaknya pemuda dewasa, ia menolak diurus Ana. Akhirnya, lebih dari 3 hari harus tergolek di tempat tidur.Selama tiga hari pula ibunya tak henti menunjukkan perhatian, meski sudah Dean larang berulang kali."Mau kamu sebesar atau sedewasa apa, kamu tetap anaknya ibu." Begitulah omelan Ana saat akhirnya memutuskan tetap memijat Dean, walau si anak melarang.Saat itu Dean merasa dirinya sudah cukup tua untuk diurusi si ibu. Laki-laki itu merasa bisa merawat dirinya sendiri, tak perlu bantuan Ana dan lepas dari cap anak mami yang selama ini melekat pada dirinya. Namun, pemikiran itu salah. Karena setelah ia dipijat Ana,
Di meja makan, masih di rumah Mike, Dean yang pagi ini bangun dengan kepala pusing disuguhi pemandangan yang cukup membuat suasana hati sedikit membaik. Siera tengah menyiapkan sarapan.Perempuan itu tidak pulang. Menemaninya hampir sepanjang malam dan pagi ini memasak untuknya dan Mike."Papa suka tempenya enggak, ya?""Suka." Menjawab sekenanya, Dean tak mengalihkan pandangan dari perempuan itu yang pagi ini menggunakan kaus miliknya.Malu mengaku, tapi sungguh ia rindu akan suasana seperti ini. Ia dan Siera ada di satu rumah, di pagi hari si mantan sitri menyiapkan santapan untuknya."Kamu pergi bekerja hari ini, Siera?" Suara Mike terdengar di ruang makan. Pria itu menarik kursi di depan Dean."Siera udah izin datang agak siang. Habis dari sini." Semangkuk sayur bening dengan tauge, buncis dan jagung muda perempuan itu sajikan di meja. "Ayo makan," ajaknya pada semua orang.Mike sudah mula
Dean sedang menatapi proposal penelitian terbarunya di layar komputer saat sebuah ide tiba-tiba saja terlintas.Memundurkan kursi, lelaki itu mengambil ponsel. Bosan sekali beberapa hari ini. Rutinitas hanya di isi kegiatan mengajar, menghadiri seminar proposal mahasiswa, mengerjakan proyek penelitiannya sendiri dan pulang. Di rumah pun, tak ada kegiatan berarti selain menyirami tanaman milik sang mantan istri.Butuh sedikit hiburan, Dean punya ide. Ia akan mengirimi Siera pesan. Meminta perempuan itu datang. Alasannya? Dean akan mengaku sakit saja. Karena di jam segini biasanya si mantan istri sedang bekerja, jadi harus menggunakan alasan yang mendesak.Pesan terkirim, Dean tersenyum tak sabar. Lebih dari seminggu ia tak melakukan apa-apa dengan Siera. Hanya datang ke mini market tempat perempuan itu bekerja, pura-pura belanja dan sudah.Dean ingin lebih dari sekadar bertemu sebentar. Mungkin mengajak si mantan istri pulang ke rum