"Pelan-pelan, Siera."
Tangan Nara yang hendak meraih ponsel di nakas terhenti geraknya. Perempuan yang setengah berbaring itu menoleh pada Dean di sisi kiri ranjang.
"Tidur di kamar saya, Siera."
Wanita dengan gaun tidur berwarna merah itu menganga. Di sana Dean tengah mengigau rupanya. Tentang Siera?
"Dean!" Naik pitam, Nara memukulkan bantal pada tubuh Dean. Laki-laki itu tersentak dengan dahi berlipat.
"Bisa bangunkan orang dengan cara lebih sopan?" Dean menegakkan punggung, mengusap wajah.
"Apa manggil-manggil nama perempuan lain di ranjang pacar sendiri itu sopan, Dean?"
Dean menatap Nara tak paham.
"Kamu mimpiin Siera barusan? Kamu manggil-manggil nama dia dalam tidur? Kamu mimpi lagi ngapain sama dia?" Nara tak sabar. Mendengar jawaban juga memberi Dean pelajaran.
Pelan-pelan ingatan soal mimpi tadi diperoleh Dean. Laki-laki itu mendesah berat. "Bukan apa-apa,"
Suara tawa Siera mengalun merdu. Perempuan dengan blouse krem itu tak kuasa menahan diri kala melihat Arkan tengah berupaya meniru anak burung di hadapannya."Berhenti, Ar. Aku capek." Ia berjongkok di tepi jalan setapak taman. Berusaha menghentikan tawa, tetapi Arkan malah semakin getol menggerakkan tangan, meniru kepakan sayap anak burung.Arkan berhenti, ikut duduk di samping Siera. Ia perhatikan baik-baik wajah cantik yang memerah karena tawa itu. Bodoh sekali Dean melepaskan perempuan sempurna seperti ini, pikirnya."Kamu senang?" tanya Arkan setelah Siera berhenti tertawa.Yang ditanyai mengangguk. Berjalan-jalan di taman. Bermain gelembung sabun, membeli balon dan memecahkannya, ini jalan-jalan paling menyenangkan."Baguslah. Aku juga.""Kamu enggak anggap ini aneh?" Siera meraih daun kuning yang barusa jatuh di rambut Arkan. Perempuan itu terkesiap kala tangannya d
"Kamu lagi marah sama aku, ya?"Dean tak bersuara. Jemarinya menekan remote TV asal."Aku ngerasa gitu. Kamu diam sejak tadi, noleh aja enggak."Menekan tombol merah, lelaki dengan kemeja berwarna abu-abu itu bersedekap, menatapi layar gelap di depan."Dean? Iya, kayaknya kamu lagi marah. Tapi, karena apa?"Siera tampak berpikir. Mencari-cari bagian yang terlewat, alasan mengapa sejak tadi si mantan suami tidak bicara padanya, mengabaikan pertanyaannya dan enggan membalas tatapan.Sejak siang tadi, Siera ada di rumah Mike dan Ana. Menghabiskan waktu liburnya bersama dua orang itu, kebetulan Dean tengah berkunjung.Sebenarnya cukup senang, tetapi si perempuan berusaha terlihat biasa saja. Mencoba tenang, ia malah mendapat sikap aneh dari Dean. Pria itu seolah menghindar dan sejak tadi terus menekuk wajah ke arahnya.Dean bicara pada Ana. Menimpali ucapan Mike, tetapi berpura tak me
Siera terlihat ragu melangkah melewati pagar rumah Dean. Pegangan totebag di bahu ia remas. Haruskah masuk?Sekitar setengah jam tadi, saat dirinya hendak berangkat kerja, Siera mendapat telepon dari Dean. Pria itu tanpa basa-basi mengutarakan maksud.[Saya terluka. Tolong datang ke rumah.]Tanpa pikir panjang, si perempuan mengubah tujuannya. Tidak jadi ke tempat kerja, melainkan ke rumah Dean. Namun, setibanya di sini, ia malah ragu untuk masuk.Gerbang masih tergembok. Siera punya kunci cadangan. Tidak seharusnya datang ke rumah mantan suami yang tinggal sendiri. Namun, Dean sedang terluka.Secepat kilat tangan perempuan itu merogoh tas. Kunci pagar terbuka, langkahnya terburu menuju pintu."Dean!" Seraya berjalan masuk, ia memanggil. Pria itu dia temukan di sofa ruang tamu.Terperanjat, Siera menutup mulut kala mendapati noda merah di bagian depan kemeja biru Dean. Menghampiri, ia merasa m
Kehilangan Paling PiluSejauh yang Dean ingat, ibunya adalah sosok paling sabar yang ada di dunia. Perempuan itu tak pernah lelah menghadapi gengsinya Dean. Bentuk keras kepala yang paling baik.Satu contoh. Dulu, waktu Dean masih duduk di bangku SMA. Lelaki itu pernah mengalami demam cukup lama. Berlagak layaknya pemuda dewasa, ia menolak diurus Ana. Akhirnya, lebih dari 3 hari harus tergolek di tempat tidur.Selama tiga hari pula ibunya tak henti menunjukkan perhatian, meski sudah Dean larang berulang kali."Mau kamu sebesar atau sedewasa apa, kamu tetap anaknya ibu." Begitulah omelan Ana saat akhirnya memutuskan tetap memijat Dean, walau si anak melarang.Saat itu Dean merasa dirinya sudah cukup tua untuk diurusi si ibu. Laki-laki itu merasa bisa merawat dirinya sendiri, tak perlu bantuan Ana dan lepas dari cap anak mami yang selama ini melekat pada dirinya. Namun, pemikiran itu salah. Karena setelah ia dipijat Ana,
Di meja makan, masih di rumah Mike, Dean yang pagi ini bangun dengan kepala pusing disuguhi pemandangan yang cukup membuat suasana hati sedikit membaik. Siera tengah menyiapkan sarapan.Perempuan itu tidak pulang. Menemaninya hampir sepanjang malam dan pagi ini memasak untuknya dan Mike."Papa suka tempenya enggak, ya?""Suka." Menjawab sekenanya, Dean tak mengalihkan pandangan dari perempuan itu yang pagi ini menggunakan kaus miliknya.Malu mengaku, tapi sungguh ia rindu akan suasana seperti ini. Ia dan Siera ada di satu rumah, di pagi hari si mantan sitri menyiapkan santapan untuknya."Kamu pergi bekerja hari ini, Siera?" Suara Mike terdengar di ruang makan. Pria itu menarik kursi di depan Dean."Siera udah izin datang agak siang. Habis dari sini." Semangkuk sayur bening dengan tauge, buncis dan jagung muda perempuan itu sajikan di meja. "Ayo makan," ajaknya pada semua orang.Mike sudah mula
Dean sedang menatapi proposal penelitian terbarunya di layar komputer saat sebuah ide tiba-tiba saja terlintas.Memundurkan kursi, lelaki itu mengambil ponsel. Bosan sekali beberapa hari ini. Rutinitas hanya di isi kegiatan mengajar, menghadiri seminar proposal mahasiswa, mengerjakan proyek penelitiannya sendiri dan pulang. Di rumah pun, tak ada kegiatan berarti selain menyirami tanaman milik sang mantan istri.Butuh sedikit hiburan, Dean punya ide. Ia akan mengirimi Siera pesan. Meminta perempuan itu datang. Alasannya? Dean akan mengaku sakit saja. Karena di jam segini biasanya si mantan istri sedang bekerja, jadi harus menggunakan alasan yang mendesak.Pesan terkirim, Dean tersenyum tak sabar. Lebih dari seminggu ia tak melakukan apa-apa dengan Siera. Hanya datang ke mini market tempat perempuan itu bekerja, pura-pura belanja dan sudah.Dean ingin lebih dari sekadar bertemu sebentar. Mungkin mengajak si mantan istri pulang ke rum
"Kamu mau ice cream?"Di kursi penumpang mobil Arkan, Siera mengangguk. Pandangan mata perempuan itu lurus ke depan."Coklat atau stroberi? Atau, susu vanila aja?"Lagi, Siera mengangguk. Ia membenarkan apa yang baru saja otak pikirkan. Bahwa, ia menyukai Dean Sandi.Apanya? Apa yang disuka dari Dean, si mantan suami?Pertama, pria itu terlihat bagus di mata. Wajah tampan dengan perbandingan pas di bagian hidung, mata dan bibir. Tubuh tinggi, kulit putih. Ditambah pembawaan yang tenang, terkesan tak acuh pada semua hal. Siera seperti melihat pemeran utama drama kesukaan muncul di dunia nyata.Baik. Katakan itu benar dan lumrah. Namun, benarkah fisik semata yang membuat Siera tertarik pada Dean?Perempuan itu menggeleng. Sedikit banyak ia kenal bagaiman karakter Dean. Tidak baik, apalagi sempurna. Pria itu memiliki banyak kekurangan, sama seperti Siera juga. Namun, tetap saja. Semua itu tak mem
Tepat saat suapan terakhir Mike melewati tenggorokan pria itu, suara Dean muncul di ruang makan.Siera hanya melirik sekilas. Kembali fokus pada sang mantan ayah mertua."Kamu ini dari mana saja? Ditunggu dari setengah jam lalu. Ayah sudah lapar, jadi makan duluan." Mike menandaskan air dalam gelasnya. Pria itu berdiri degan wajah semringah. "Masakan kamu makin hari makin enak, Siera. Terima kasih untuk makan malamnya.""Kembali kasih, Papa. Mau aku potongkan buah?"Mike menggeleng. "Papa mau nonton sebentar. Kamu, urusi saja ini anak." Ia melirik malas pada sang putra, lalu berjalan meninggalkan dapur.Duduk di kursi bekas Mike, tepat di samping Siera, Dean memasang wajah tak berdosa. Ia tahu perempuan di sebelahnya kesal. Dean terlambat di acara makan malam."Kamu masak apa? Aku dari siang belum makan." Dean menatap berbinar pada lauk di meja. Ikan teri dengan kacang. Sayurnya, daun singkong ditumis. Len