Sepulang dari perjalanan refreshing ke Curup, Diana berpapasan dengan Pak Wongso di rute jalan yang dilewati menuju rumahnya. Pak Wongso membunyikan klaksonnya begitu berpapasan dengan Aksan yang memboncengnya, dibalas klakson juga oleh Aksan sebagai penghormatan sesame pengguna jalan.
Begitu tiba di rumah, Diana bertanya dalam hatinya, jangan-jangan Pak Wongso tadi habis bertamu ke rumahnya.
“Ibu, tadi di jalan tanjakan tebing kuburan aku ketemu Pak Wongso,” ucap Diana ketika bertemu Ibunya di teras rumahnya ingin tahu,
“Ya, tadi dia dari sini, mengobrol dengan Ibu tentang Kau!” kata Ibunya memberitahu dirinya jika Pak Wongso habis bertamu ke rumahnya dan menanyakan perihal dirinya.
“Ada perlu apa, Pak Wongso menemui Ibu?”
“Dia menanyakan kenapa kau tidak berjualan lagi, dia tadi mau memesan porsi besar untuk acara pengajian di kecamatan.”
“Terus Ibu bilang apa dengan Pak Wongso?”
“Ya, pertama Ibu bilang Kau lagi malas aja. Tapi akhirnya dia tahu peristiwa keretakan rumah tangga kalian. Dia meminta maaf karena telah menyebabkan retaknya hubunganmu dengan suami hanya karena salah paham.”
“Syukurlah, kalau dia sudah tahu, Bu!” kata Diana lega.
“Dia berjanji akan menemui Herman untuk memberitahukan kebenaran cerita sebenarnya.”
“Untuk apa, Dia menemui Kak Herman lagi,” ucap Diana bersunggut marah.
Ibunya menatap Diana penuh tanda tanya,”Bukankah Kau masih sayang dengan Herman?”
“Entahlah, Bu! Sayang sih tapi kalau dia masih mengepit Ibunya terus, saya juga tidak tahan bersama kecuali Kak Herman menyetujui usulku untuk menyewa rumah sendiri,” ungkap Diana membenarkan jika perasaannya masih ada untuk Herman.
“Bukankah kalau kalian sendiri masih akur-akur saja. Yang selama ini merecoki rumah tangga kalian yaitu si Mak Lampir!”
Mendengar julukan Ibu mertuanya disebut mendadak Diana teringat dengan semua ulah antagonis sang mertua yang selalu menjadi orang ketiga dalam menebar ancaman dan fitnah yang menyakitkan. Seketika dirinya menjadi marah mendengar nama itu!
“Pak Wongso menawari pekerjaan!” ucap Ibunya kemudian menyambung pembicaraan.
“Pekerjaan apa, Bu?” tanyanya tak sabar mendengarnya.
“Honor di Kecamatan.”
“Honor, Bu. Jadi Tenaga Kerja Sukarela/TKS!” ujar Diana merasa keheranan, sebab sekalipun tak pernah dia menginginkan bekerja di kantoran sebagai staf.
“Daripada kerjamu hanya huru-hara setiap hari, mending mencari kesibukan dengan honor saja,” bujuk Ibunya memberikan pertimbangan yang baik bagi dirinya.
“Berapa gajinya,Bu?”
“Ibu juga tak tahu, tapi setahu ibu banyak pegawai negeri yang diangkat dari honor. Siapa tahu kau berjodoh,” kata Ibunya menginspirasi dari berita-berita yang banyak dibacanya tentang honorer.
“Ibu... mending aku dagang aja daripada mehonor!” katanya yang membuat ibunya kaget.
“Kalau begitu kenapa kau tak jualan saja, daripada keluyuran terus,” pinta Ibunya kepada Diana agar dia punya kegiatan positif.
“Kan masih ada Ibu yang mencukupi kebutuhanku, untuk apa jualan?” katanya sinis membantah keinginan sang Ibu yang menyuruhnya kembali berjualan saja.
Keesokan harinya, Pak Wongso mengirim pesan di W******p miliknya. Intinya meminta Diana datang ke kecamatan dan menemuinya di ruangannya. Ada sesuatu hal yang ingin dibicarakan serius dengannya.
“Kenapa Pak Wongso menyuruhku menemuinya, bukannya dia bisa langsung saja menelpon atau memberitahu lewat chat WA, masalah apa yang mau Dia katakana?” gerutu Diana ketika membaca chat yang tertulis di WA ponselnya.
“Mungkin ada hal penting yang tidak enak jika dibicarakan lewat HP,” kata Ibunya menyahut dari luar kamar putrinya yang masih cantik seperti perawan tingting.
“Masalah apa,sih Ibu! Sepenting itu!” teriaknya merasa dongkol karena harus mencari baju yang sesuai untuk dipakai bertemu Pak Wongso pagi ini.
Ibunya meninggalkan Diana sendirian mengomel kesal di kamarnya. Wanita tua itu meneruskan pekerjaannya membersihkan rumah, setelah itu baru berangkat ke sawah untuk mengantarkan makanan buat ayahnya Diana yang sudah ke sawah begitu selesai salat Subuh.
Ayah Diana selalu pergi ke sawah atau ke kebun setelah bakda Subuh, sesampainya di sawah dia langsung bekerja. Agak siangan dia beralih ke kebun yang jaraknya dekat dengan sawahnya sehingga bisa dua pekerjaan selesai dalam sehari, menyiangi padi sekalian menyiangi kopi di kebun.
****************************
Kantor Kecamatan Anak Bukit yang terletak di Kampung Joglo sudah ramai oleh orang-orang yang mengurusi kepentingannya berkaitan dengan administrasi kependudukan sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Diana harus melewati beberapa ruangan staf untuk tiba di ruang kantor yang bertuliskan Sekretaris Kecamatan atau biasa disingkat Sekcam.
“Assallamualaikum wr.wb. .....” Diana memberi salam sebelum masuk karena pintu tidak terkunci, di dalam terlihat Pak Wongso sedang meneliti beberapa berkas.
“Waalikum salam wr.wb,” jawabnya sambil melepaskan kacamatanya dan menoleh ke arahsuara yang member salam.
Begitu dilihatnya Diana sedang berdiri di muka pintu ruangannya,”Masuklah...!”
Tanpa ragu Diana memasuki ruangan yang biasa dia masuki sewaktu masih sering mengantar pesanan beruge dulu.
“Rupanya Ibumu sudah menyampaikan obrolan kami ya,” katanya membuka pembicaraan dengan Diana.
“Ya, Pak!” jawab Diana singkat menanti perkataan Pak Wongso selanjutnya.
“Pertama Bapak meminta maaf karena sudah dianggap sebagai orang ketiga di dalam rumah tangga kalian. Bapak sangat menyayangkan hal itu dan berakibat pisah ranjangnya kalian berdua,” ucap Pak Wongso prihatin dengan kejadian yang menimpa Diana.
“Semua sudah terjadi, Pak.”
“Belum ada upaya dari Herman untuk menjemputmu pulang?”
“Belum!”
Pak Wongso menghela napasnya,”Sayang sekali suamimu lebih percaya Ibunya daripada istrinya sendiri.”
“Ya, begitulah Pak! Mungkin dia terkena hasutan Ibunya yang memang tidak suka menantukan saya,” kata Diana memberitahu Pak Wongso ketidaksukaan mertuanya pada dirinya.
“Ya, ya! Bapak mengerti. setiap rumah tangga pasti ada cobaannya. Hanya pasang suami istri yang setialah dapat mengarungi bahtera rumahtangga dengan saling memahami keinginan masing-masing, bukan mudah terprovokasi oleh pihak lain,” ucap Pak Wongso menyayangkan sikap Herman yang lebih memilih Ibunya daripada istrinya sendiri.
Diana terdiam, begitu juga Pak Wongso. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing, sehingga terasa kesunyian di ruangan itu. Hingga akhirnya ;”Beralih ke masalah pekerjaan yang Bapak tawarkan melalui Ibumu kemarin, apakah kamu bersedia menerimanya?”
Diana belum juga sempat menjawab, begitu Pak Wongso meneruskan ucapannya,”Bapak pikir lebih baik kamu menenangkan diri dengan mehonor di kecamatan ini, menjadi staf umum. Itu akan lebih baik daripada kamu selalu keluyuran yang membuat image kamu sebagai perempuan menjadi kurang baik dalam pandangan masyarakat umum.”
“Saya nggak bisa kerja kantoran, Pak!” kata Diana pelan.
“Nanti akan diajari oleh staf senior lainnya yang menjadi atasanmu di kantor ini.” ungkap Pak sekcam menyakinkan Diana.
Diana berpikir kembali. DIa membayangkan selama ini telah banyak membuang waktunya dengan keluyuran saja sehingga banyak waktu yang seharusnya bermanfaat menjadi sia-sia hanya karena dia ingin menenangkan dirinya yang tersakiti dalam pernikahannya.
“Terus terang kalau masalah gaji, itu memang sedikit prihatin. Sebab honor yang nanti akan dapatkan setiap tiga bulan sekali, untuk membeli bedak saja tidak cukup. Tapi harapan kedepannya sangat bagus untuk kamu, siapa tahu ada pengangkatan pegawai negeri dari staf honorer seperti beberapa staf disini yang sudah terangkat,” terangnya menambahkan bahwa jika bernasib baik bisa diangkat menjadi pegawai negeri lewat jalur pengabdian sebagai honorer yang diajukan dan tetap menjalani tes sebagai syarat lulusnya.
“Baik, Pak!” kata Diana tiba-tiba menyetujui penawaran kerja sebagai staf honorer di kantor kecamatan ini,”Kapan saya mulai bekerja?”
“Kamu bisa mulai besok bekerja!” kata Pak sekcam menyalami Diana sebagai ucapan selamat bergabung di kantor kecamatan ini guna melayani kepentingan masyarakat dalam memenuhi hak administrasi kependudukannya.
Diana meninggalkan ruangan Pak sekcam tersebut, menebus teriknya cahaya matahari siang yang mengenai kepalanya. Taklupa dia mampir ke rumah Sri, teman SMA dulu yang tinggalnya tidak jauh dari lokasi kecamatan. Sri membuka warung nasi, warung yang bila saat makan siang tiba dipenuhi oleh pegawai kecamatan, Puskes, KUA dan DANRAMIL yang makan siang di warungnya. Diana menikmati hari bebasnya sebelum besok mulai hari baru sebagai salah satu staf honorer yang bekerja di kecamatan.
==Bersambung bab 6==
Hari baru yang penuh makna dengan berpakaian seragam khas honorer, Diana tampak keren dan sangat cantik terlihat. Tak pernah dibayangkannya jika dia memulai hari-harinya ke depan sebagai staf honorer di salah satu kecamatan baru di kabupaten tempat tinggalnya. Kecamatan baru yang memang membutuhkan banyak tenaga untuk melayani kepentingan masyarakat yang memerlukannya. “Selamat pagi, saudara-saudari sekalian. Alhamdulilah kita panjatkan puji dan syukur atas nikmat dan rahmat sehat jasmani dan rohani sehingga kita semua masih dapat melaksanakan pelayanan kepada amsyarakat dengan baik. Untuk itu marilah kita memberikan pelayanan yang ramah, cepat dan rapih serta tertib sehingga masyarakat senang dan sesuai dengan standard operasi prosedur yang ditentukan oleh pemerintah. Mari bersama kita wujudkan SOP pelayanan public yang baik menuju good government,” kata Pak Camat dalam sambutan apel pagi. &nbs
Pak Camat keluar dari ruangan sementara istri Pak Sekcam masih terlihat sangat marah kepada suaminya, dengan gemetar bibirnya menahan emosi yang meluap sampai ke ubun-ubun kepala. Bujuk rayu Pak Sekcam dalam melunakkan hati istrinya yang sedang full emosi tak mempan, malah suaminya dibentaknya dengan suara yang keras,”Ini kehendak Papa!” ujarnya sambil menghujam belati kecil yang terselip di dalam tas membeset kulit tangan yang mulus. Seketika darah keluar dari jari tangan Bu Sekcam yang tanpa disadari telah melukai dirinya sendiri dengan menorehkan belati kecil yang selalu dibawa kemana-mana untuk memperingatkan Pak sekcam agar tidak main-main dengan perempuan di belakangnya. “Mama, ini sudah gila!” bentak Pak Sekcam mengambil belati kecil dan melemparkannya ke lantai, sambil menotok jalan darah yan
Kirana semakin marah, benci dan tidak suka dengan Diana yang sudah dipercaya oleh atasan untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya mereka kerjakan. Sekarang malah mereka yang dikucilkan oleh teman-teman sehingga mereka dijauhi dan tidak dipercaya lagi mengerjakan job pelayanan administrasi kependudukan.Mereka juga sering ditinggalkan menunggu kantor jika ada acara kunjungan kegiatan di kampung tertentu. Biasanya mereka yang dulu menjadi ujung tombak protokolernya acara yang akan dilangsungkan tetapi sekarang malah Diana yang diserahi menggantikan tugas Kirana. Otomatis dia hanya datang ke kantor hanya untuk mengabsen, duduk santai sambil mengobrol saja, setelah itu makan siang lalu pulang jika jam kerja sudah berakhir.“Semenjak Diana bekerja, kita tidak pernah lagi diberi tugas protokoler,” ucap KIrana kepada temannya gusar.“Ya, kita sekarang jadi kayak pengangguran. Datang hanya untuk absen, ngobrol,makan siang lalu pulang,&
Hampir dua minggu lamanya Diana menganggur, untuk mengurangi rasa bosannya berada di rumah terus. Dia ikut ibunya ke sawah atau ke kebun, walaupun hanya sebagai teman saja bagi ibunya. Setidaknya keikutsertaan anaknya ke kebun menjadi tukang masak dan pembuat kopi atau teh ketika istirahat dari kerja, lumayan menghemat kerjaan karena begitu waktu istirahat tinggal menyeruput kopi dan kue buatan anak gadisnya. Dari jauh, Diana terpaku pandangannya saat melihat sosok lelaki yang sangat dia kenal sedang menghalau gerombolan burung yang hendak hinggap dan mematuk padi yang mulai menguning. Lelaki yang begitu dekat dihatinya beberapa waktu yang lalu, lelaki yang menemani hidupnya sebelum pisah ranjang. Masih terselip rasa sayang yang begitu dalam kepada sosok tersebut, hanya karena ibunya yang tidak bersahabat saja menjadi batu sandungan bagi keharmonisan rumah tangga yang dibangun dahulu.
Bu Eneng tidak mempedulikan lagi apa yang ingin dilakukan oleh menantunya. Jika suasana hatinya sedang tidak baik, sesekali masih terlihat gaya lamanya yang suka menyinggung perasaan Diana baik dengan perkataan atau tingkah laku yang sinis, tidak diobral seperti dulu yang setiap saat selalu memarahinya. Semua yang dilakukan oleh Bu Eneng semata agar Herman tidak meninggalkannya seorang diri, dia tak ingin kehilangan anaknya setelah suaminya meninggalkannya sejak Herman masih remaja. Betapa sulitnya move on ketika kehilangan, oleh sebab itu dia tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Biarlah dia saja yang meninggalkan anaknya menghadap Ilahi jika ajal telah menjemput daripada Herman yang meninggalkannya menyewa rumah lain. Diana juga lebih berhati-hati lagi menghadapi gelagat mertuanya, jika dilihatnya sang mertua dalam suas
Baru saja Diana menikmati indahnya kebahagiaan menjalani bahtera pernikahan, tiba-tiba hadirlah seorang perempuan lain yang menumpang di rumahnya. Wanita geulis berdarah Sunda, yang berambut ikal berwajah tirus dengan face wajah yang manis. Bertingkah sedikit genit dan nakal, paling suka menggoda Herman dengan kerlngan mata yang manja.Bu Eneng sangat senang dengan kehadiran Dita, apalagi wanita yang masih kerabat ibunya Herman ini memiliki perasaan tersendiri kepada Herman. Ibunya Herman sangat mendukung keinginan Dita agar dapat merebutnya dari Diana untuk dijadikan suaminya. Dita minta dukungan dari Bu Eneng untuk melunakkan hati Herman agar mau menerimanya sebagai istri dan mencampakkan Diana.“Ibu harus membuat rencana yang jitu untuk memisahkan mereka,” kata Dita membujuk Bu Eneng untuk menyusun siasat memisahkan Herman dan Diana.“Iya, tapi kamu juga harus mencari ide juga, jangan Ibu saya yang kamu suruh mencari jalan memutuskan h
Dita semakin sering mencuri waktu mendekati Herman di sela-sela waktu yang ada, apalagi secara diam-diam ibu mertuanya mendukung rencana Dita bermain api asmara terlarang. “Ibu harus mendukung aku, pokoknya,” kata Dita kepada Bu Eneng meminta dukungan dengan penuh semangat. “Ibu mendukungmu dari belakang, bahaya kalau ketahuan Herman,” ucap Bu Eneng “Iya, Bu. Jangan sampai ketahuan. Ibu mesti bermain cantik,” ucap Dita menekankan agar Bu Eneng berhati-hati dalam menjalankan siasat mereka. “Sip,” kata Bu Eneng menimbali. Dita begitu bersemangat untuk memisahkan Diana dari H
Sejak saat itu Dita tak canggung lagi berduaan dengan Herman sekalipun ada Diana diantara mereka. Suasana terwujudnya cinta segitiga ini hanya menunggu waktu saja terjadi, sebab kepandaian Dita dalam mengambil hati Herman yang selalu disupport oleh Ibunya membuat dirinya tak bisa menolak jika Ibunya ingin dirinya mengantarkan atau menemani dan ditemani oleh Dita jika pergi ke suatu tempat termasuk ke sawah. Keakraban antara suaminya dan Dita memjadi buah bibir orang di kampungnya. Banyak orang yang mencibir, banyak pula yang merasa kasihan dengan Diana yang harus termakan oleh isu poligami. Tak sedikit orang yang berusaha menunjukkan empatinya dengan terus memberikan dukungan kepada Diana agar bersabar dan tetap mempertahankan rumah tangganya yang saat ini berada di ujung tanduk. “Sabar, Diana. Ini ujian dari Yang Kuasa, insy