Setelah tahu kalau Mia hamil, Dirga sering pulang malam. Dia sengaja menghindari wanita itu, memberi kesempatan agar Mia lebih dekat dengan Gilang.
Mia terpaksa menggoda Gilang untuk melakukan hubungan suami istri, meski sebenarnya dia sangat malas, akan tetapi hanya itu satu-satunya cara agar suaminya tidak curiga.
"Papa, belum pulang?" Gilang tak melihat mobil papanya di luar.
"Mungkin ada urusan," jawab Mia asal.
"Kamu sudah sehat, Sayang?" Gilang memperhatikan wajah Mia.
"Sudah," sahut Mia agar suaminya tidak cemas.
Dua minggu telah berlalu, Mia sengaja membeli alat tes kehamilan lalu meletakkan di kamar mandi setelah ia gunakan agar ditemukan oleh Gilang.
Saat Gilang selesai mandi, dia tak sengaja melihat alat itu di samping wash tafel lalu membaca tulisan di bungkusnya.
"Sayang, ini apa?" Gilang menunjukkan alat itu.
"Mmm ... kamu menemukannya. Itu ... alat tes urine, aku terlambat jadi coba kutes pakai itu."
<Kebiasaan baru sebelum tidur, Gilang mengelus perut Mia mengajak bicara mahluk yang kini bersemayam di dalam sana. Dia begitu bahagia tak sabar menunggu kelahiran buah hatinya.Mia menghalau tangan Gilang dari perutnya, ia bangkit lalu berjalan ke kamar mandi untuk buang air kecil, belum sempat jongkok di kloset ia terkejut saat melihat bercak merah di celana dalamnya."Gilang!" teriak Mia.Sontak Gilang meloncat dari ranjang melihat istrinya di kamar mandi, Mia tengah terduduk di kloset duduk termangu menatap celana dalamnya."Ada apa?" Gilang gugup, Mia menunjuk bercak itu."Loh, i-ini darah?" Gilang mulai panik, dia berlari keluar mencari papanya.Namun saat itu Dirga belum pulang ke rumah, Gilang kembali ke kamar mengambil ponsel untuk menghubungi papanya."Pa, Mia ngeluarin darah!""Hah, kok bisa?" Dirga ikut panik."Nggak tahu, Sayang kamu sakit nggak?" tanya Gilang pada Mia yang masih duduk di kloset, wanita itu m
Kehamilan Mia semakin membesar, kakinya mulai bengkak dan gampang lelah, berat badan juga naik drastis. Mendapat perhatian dari dua orang pria yang sama-sama menyayanginya membuat manjanya semakin menjadi."Pa, nanti malam antar Mia ke dokter kandungan, ya. Aku ada pertemuan mendadak," pinta Gilang melalui sambungan telepon."Baik lah." Dirga sangat antusias saat putranya meminta tolong mengantar Mia ke dokter.Demikian juga dengan Mia, dia lebih senang saat periksa kandungan bersama Dirga, sang ayah dari bayi yang ia kandung."Anda sangat beruntung memiliki mertua yang sayang sama anda," ujar sang dokter."Kalau suami sibuk, terpaksa diantarin sama mertua, maklum cucu pertama," kilah Mia sambil tersenyum pada Dirga.Selesai periksa mereka langsung pulang, menurut dokter perkiraan lahir sekitar dua minggu lagi. Mia merasa mudah lelah, saat berjalan rasanya kepala bayi mengganjal di antara dua kakinya seolah mau keluar."Istirahat, ya,
Siang itu, Mia sedang bersantai di kamar, tiba-tiba celana dalamnya terasa basah, kemudian ia ke toilet untuk memeriksa, ternyata ia mengeluarkan cairan yang tidak biasa."Jangan-jangan aku mau melahirkan, duh ... gimana ini?" Mia mengambil ponsel menghubungi Dirga karena panik."Om, aku sudah ngeluarin cairan, dan sangat banyak," adu Mia gugup."Hah ... apa kamu sudah pecah ketuban?" Dirga ikut panik mendengar cerita Mia."Nggak tahu, Om.""Kalau gitu cepat ke rumah sakit sekarang, biar Om nyusul!" pinta Dirga.Mia langsung memesan taksi online untuk pergi ke rumah sakit, dia tidak merasakan mulas seperti orang yang mau melahirkan, akan tetapi cairan yang keluar lumayan banyak, hingga ia harus menggunakan pembalut agar tidak rembes keluar.Sementara itu Dirga menghentikan rapatnya dan bergegas ke rumah sakit, saat akan masuk ke dalam mobil tiba-tiba dadanya kembali nyeri kali ini lebih panas dari biasanya. Dia berhenti sejenak menari
Ponsel Gilang bergetar, sebuah pesan masuk dari Mia memintanya datang menemaninya di ruang operasi. Namun Gilang tak menjawab, pikirannya kacau menghadapi kepergian papanya ditambah lagi dengan ucapannya sebelum meninggal."Om, temani aku di ruang operasi. Gilang nggak tahu ada di mana, aku takut Om." Mia juga mengirim pesan pada ponsel Dirga dan dibaca oleh Gilang."Sebentar." Gilang membalas pesan Mia di ponsel papanya."Terima kasih, Sayang." Balasan Mia membuat Gilang membelalakkan mata."Sayang, Mia memanggil Papaku Sayang?" Perasaan Gilang berubah menjadi curiga.Akhirnya Gilang memeriksa ponsel Dirga, jantungnya seakan berhenti berdetak membaca deretan percakapan romantis antara Papa dan istrinya."Mia, Papa --- kalian ---"Gilang baru sadar arti ucapan papanya sebelum pergi, rupanya ini yang telah mereka lakukan selama ini di belakangnya. Mereka telah menjalin kasih terlarang, pria itu kembali menangis tersedu, buk
Gilang terbangun saat mendengar panggilan Bibi di luar kamar, dia menggeliat hingga tulang di tubuhnya berbunyi, tidur sambil duduk membuat badannya terasa sakit semua. Ia berdiri lalu berjalan membuka pintu."Ada Mas Robi di bawah," ucap Bibi saat Gilang membuka pintu."Terima kasih, Bi. Aku mau mandi dulu." Gilang berlalu ke kamarnya sendiri sambil menguap.Tidur semalam benar-benar tidak bisa menggantikan rasa lelahnya, bukan hanya tubuh tapi batin yang lebih lelah dari raganya.Hari ini dia akan ke rumah sakit membawa pulang bayi itu juga mengakhiri hubungannya dengan Mia. Kalau tidak ingat dosa ingin rasanya Gilang mencekik wanita itu biar ikut mati bersama kekasihnya, akan tetapi dia akan membalas perbuatan Mia dengan memisahkan dia dari putranya.Kamu mengkhianati ku sekian tahun, aku akan menyiksamu seumur hidup! geram suara hati Gilang dipenuhi rasa dendam.Setelah berpakaian rapi Gilang turun menemui Robi yang sudah menunggu di rua
Bukan hal mudah bagi seorang pria merawat bayi meskipun ada suster dan pembantu di rumah. Apa lagi ia sangat membenci bayi itu, Gilang tak pernah mau melihat bayi itu sejak dibawa pulang ke rumah."Suster bawa ke belakang kalau dia nangis!" teriak Gilang saat mendengar bayi itu menangis."Baik, Pak." Suster berlari ke belakang lalu menutup pintu agar tangis bayi itu tak terdengar oleh Gilang.Sejak ada bayi di rumah Gilang sering pulang larut malam, dia sengaja menghindar agar bertemu dengan bayi itu. Emosinya meluap saat melihat atau mendengar suaranya.Sedangkan Mia sendiri tak kalah terpuruk, setiap hari dia menangis tak keluar dari kamar meratapi putranya. Ditambah lagi saat air susunya keluar dia merasa benar-benar tersiksa.Beberapa kali Ratih mencoba mendatangi rumah Gilang, memohon agar bisa melihat cucunya, tetapi penjaga rumah tidak pernah mengizinkannya masuk."Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan perintah," ucap penjaga untuk kesekia
Usia bayi Mia sudah tiga bulan, sampai sekarang Gilang belum memberi nama bayi itu. Dia bahkan belum menggendong bayi itu sejak berada di rumah.Jangankan menggendong melihat saja dia malas, ia sengaja menghindar karena takut khilaf dan berbuat hal gila lalu mencelakai bayi itu."Maaf, Mas. Dedek sudah tiga bulan, Mas Gilang belum memberi nama, jadi siapa namanya?" Bibi memberanikan diri menanyakan nama untuk bayi itu."Terserah Bibi, mau kasih dia nama apa!" sahut Gilang ketus."Lo, kok terserah Bibi, Mas Gilang 'kan ayahnya!""Dia bukan anakku!" Gilang membelalakkan mata."Astagfirullah, Mas. Jangan begitu, kasihan anaknya." Bibi mengelus dada.Gilang meninggalkan Bibi, ia enggan membahas bayi itu. Surat kelahiran juga tidak diurus, Bibi diam-diam mengadukan itu pada Mia."Biar aku yang urus, Bi. Terima kasih, nanti kukirim ke rumah kalau sudah jadi suratnya." Mia membalas pesan Bibi padanya.Mia langsung mengurus akta
Bintang sudah tumbuh menjadi bocah lucu, saat ini dia berusia delapan bulan, sudah bisa berdiri sambil berpegangan, suaranya juga kencang kalau sedang menangis atau tertawa."Bintang, ayo makan, Sayang!" panggil Tini pada anak asuhnya.Pagi itu Gilang sedang sarapan, dia mendengar suara anak itu tertawa bersama pengasuhnya di kamar."Bintang mau apa?" suara Tini terdengar begitu asyik mengobrol dengan Bintang.Selesai sarapan Gilang penasaran ingin melihat apa yang sedang mereka lakukan di kamar, setelah mengetuk pintu pria itu membuka handel pintu, si kecil itu tengah duduk di kursi bayi sambil mengunyah makanan yang disuap oleh Tini."Eh, Bapak. Maaf kalau kami bising," ucap Tini gugup saat majikannya menunjukkan wajahnya yang tanpa senyum."Kamu tadi panggil dia siapa?" tanya Gilang memandang Bintang yang tersenyum padanya tanpa dosa."Bintang," jawab Tini pelan, gadis takut kalau tuannya tidak suka dengan nama itu."Siapa y