"Permisi! Paket!" Suara seorang pria terdengar dari pintu depan. Lia yang hari ini libur ke sawah, menemui pria itu ke depan. "Iya?" "Penerima atas nama Bu Audrey?" ujar kurir itu. "Dari siapa, ya, Pak?" tanya Lia, sambil menerima paket. "Pengirimnya Pak Galang, Bu," jawab kurir. Lia menggeleng pelan, lalu membatin, 'Dia lagi, dia lagi.' "Mari, Bu." Kurir itu meninggalkan rumah Fandi. "Makasih, Pak." Lia masuk ruang tamu. "Nak! Ada paket, Nak!" Audrey keluar dari kamar dengan Dianti dalam gendongannya. "Dari siapa, Bu?" Lia mengangsurkan paket itu di atas meja, agar putrinya membaca sendiri siapa pengirimnya. Mereka duduk di sofa. "Loh, Galang? Kirim apalagi dia, Bu?" Audrey memberikan Disnti oada ibunya, lalu berniat membuka paket itu. "Entah." Lia mengedikkan bahu, lalu mengambilkan gunting. Setelah Audrey membuka paket, ternyata isinya adalah berbagai model setelan gamis lengkap dengan hijabnya. Ibu-anak itu saling berpandangan. Ibu Audrey menggeleng, sambil mengembusk
Saat Edwin pulang dari kantor, dia melihat paket dari Galang di meja ruang tamu. Pria itu tak mempermasalahkan dan meredam rasa cemburunya. Audrey pun senang, karena bisa berdamai dengan suaminya. Tak ada perdebatan lagi ataupun air mata yang jatuh lagi.Waktu terus berlalu. Tiba saat jatah curi dari kantor, merupakan kesempatan bagi Edwin, yaitu membuat sebuah kejutan mewah nan romantis di hotel. Pulang dari masjid, Edwin mengganti koko yang dipakainya, dengan kaus dan celana panjang. Kemudian, mengambil alih Dianti dari gendongan Ratmi yang ada di ruang makan. ART itu langsung pergi ke belakang untuk mencuci baju serta popok bayi."Loh, memangnya nggak ke kantor, Mas? Tumben, gendong dedek. Biasanya udah buru-buru mandi," tanya Audrey yang baru selesai salat berjamaah dengan Lia.Dahi Lia berkerut. "Iya, seharusnya kamu siap-siap ke kantor, kan?"Edwin mengembangkan senyum, lalu menjawab, "Selama lima hari ke depan, ada jatah cuti dari kantor. Kayaknya cukup untuk kita liburan seke
Edwin, Audrey yang menggendong Dianti, Ratmi, Fandi dan Lia sedang duduk-duduk di area taman. Mereka makan camilan dan minum minuman yang disediakan oleh pihak hotel, tentu semua dipesan oleh putra Juna."Pak," bisik Edwin, mendekat ke telinga Fandi. "Saya mau izin berdua dulu sama Audrey, boleh? Mungkin dalam waktu yang cukup lama, kami butuh privasi.""Boleh, dong! Boleh, biar Dianti sama Bapak dulu. Mumpung nggak ke sawah, he he," canda Fandi, membuat Audrey, Lia dan Ratmi mengernyitkan kening.Edwin tersenyum. "Terima kasih, Pak." Dia langsung berdiri dan menarik tangan istrinya."Eh, tunggu dulu, Mas! mau ke mana?" tanya Audrey.Pria di sampingnya diam saja, malah mengambil alih putrinya, lalu menyerahkannya pada Fandi.Audrey bertambah bingung. "Loh, kok, malah serahkan Dianti ke Bapak? Maksudnya apa, Mas?""Udah, ayo ikut. Nanti kamu juga tahu," jawab Edwin sambil menarik tangan Audrey.Istrinya itu mau tidak mau berdiri, lalu mengikuti ke mana Edwin melangkah. "Sebenarnya kita
Zofia dan Audrey sudah sampai di depan rumah Juna. Selama di perjalanan tadi, mereka hanya diam. Zofia sempat membuka pembicaraan dengan memberi informasi kalau dia tahu satu keluarga menginap di hotel, dari postingan instastory saat makan bersama dan di-tag tempatnya. Ibu Dianti menjadi agak menyesal, mengapa harus membagikan momen itu di sosial media."Ayo, kita ke taman bunga di samping rumah! Teman-teman arisan Mama sudah menunggu di sana," ajak Zofia, sambil membuka pintu mobil."Katanya tadi di dalam rumah, Ma?" tanya Audrey, mulai curiga.Zofia terkekeh. "Iya, maksudnya di taman dekat rumah."Mereka keluar, lalu masuk ke taman, menemui teman-teman arisan Zofia."Hai, Jeng! Maaf, udah nunggu lama. Jemput menantu, nih, abis bulan madu sama anakku di hotel. Namanya Audrey," kata Zofia, memperkenalkan istri Edwin."O, jadi ini perempuan nggak tahu diri itu?" tanya temannya, membuat Audrey terbelalak.Teman yang lain menimpali, "Enak, ya? Edwin yang kerja keras, dia yang menikmati."
Waktu terus berlalu. Dianti kini berusia dua tahun. Sejak kejadian Zofia dipermalukan, perempuan itu tidak mengganggu rumah tangga Audrey lagi. Edwin benar-benar menepati janjinya untuk tidak bertemu Mamanya. Namun, dia masih menemui Juna dan Sinta, hanya untuk urusan pekerjaan.Suatu malam, Audrey merasa mentalnya sudah pulih setelah apa yang dilakukan Zofia saat Dianti masih bayi. Dia merasa siap untuk mencoba kembali ke rumah Edwin, menghadapi mertua dan semua kakak ipar."Kamu yakin, Sayang?" tanya Edwin yang duduk di tepi ranjang."Yakin, Mas. Aku pasti bisa menghadapi mereka, walaupun mereka akan berniat jahat. Buktinya, Mama sudah nggak pernah ganggu kita lagi, kan? Pasti dia kapok karena tidak ada lagi teman sosialita yang mau menyambanginya," jawab Audrey yang sudah berbaring di kasur.Edwin menghela napas panjang, lalu mengembuskannya lagi. "Terserah kamu, aku hanya menurut. Bagiku sama saja, mau tinggal di sini atau di rumahku. Ya, walaupun perasaan kangen balik ke sana udah
Audrey sedang berjalan dengan menuntun Dianti, menuju warung penjual makanan matang untuk sarapan. Tampak dari kejauhan, antrian yang cukup banyak, didominasi oleh ibu-ibu termasuk Zofia. Sebenarnya istri Edwin berniat mencari warung lain, tetapi dia dipanggil oleh seorang tetangga."Eh, Mbak! Sini! Kamu duluan boleh, buat si kecil," seru seorang ibu-ibu. "He he. Bukan mau beli bubur, kok." Audrey beralasan.Ibu yang lain menyahut, "Kasihan anak kecil jam segini jalan pagi tapi perutnya belum terisi. Buruan, gih! Aku ngalah. Lagian, kita udah jarang ngobrol, kan?"Mau tak mau, Audrey menurut dan mendatangi kerumunan itu. Zofia tampak tak suka dengannya."Pagi, Ma." Audrey mencoba menyapa mertuanya, tetapi tak ada jawaban.Orang-orang merasa heran, lalu mulai menggunjing tentang Zofia dan Audrey.Penjual makanan bertanya, "Kamu lagi sariawan, Jeng?"Dengan cepat, Zofia menggeleng. "Aku lapar, makanya kurang fokus.""Itu, disapa mantumu, nggak dengar?" sahut yang lain.Istri Juna tak me
Malam pun tiba. Edwin pulang dari kantor. Terdengar keramaian di rumah sebelah, apalagi kalau bukan syukuran yang diadakan Zofia."Assalaamu'alaikum," salamnya, lalu masuk rumah.Dia menuju ruang tengah, melihat Audrey sedang membaca Alquran, sementara Ratmi di dalam kamar anak untuk menemani Dianti bermain.Edwin duduk di samping istrinya, tanpa sepatah kata pun karena tak mau mengganggu ibadahnya.Audrey mengakhiri kegiatan mengajinya, lalu menutup Alquran. "Wa'alaikumussalaam." Dia mengulas senyum, menaruh kitab suci di atas meja, lalu menjabat dan mencium tangan suaminya."Ada acara apa, sih, di rumah Mama?" tanya Edwin penasaran."Kamu nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu?" Audrey balik bertanya.Edwin menggeleng. "Aku benar-benar nggak tahu."Perempuan di sampingnya mengembuskan napas panjang. "Ada acara syukuran, katanya karena kamu udah balik ke rumah ini lagi.""Hah?" Suami Audrey terperanjat. "Syukuran kedatanganku, kenapa nggak kasih tahu kita, ya? Kamu nggak diundang?""Ya
Edwin melongok ke arah istrinya yang sudah terlelap di samping Dianti. Dia tersenyum melihat dua bidadari yang selalu dicintainya."Alhamdulillaah, ya Allah. Aku memiliki dua harta yang tak ternilai harganya dalam hidupku. Semoga mereka bahagia selalu dan aku bisa mengupayakan hal itu untuk keluarga kecil kami ini." Pria itu berdoa dengan suara lirih.Dia bangun perlahan supaya tidak menimbulkan suara, lalu mengendap-ngendap ke luar kamar. 'Aku harus memastikan apa benar Mama memfitnah Audrey lagi?' batinnya, lalu menuju teras rumah dan mengunci pintu.Tak butuh waktu lama, Edwin sampai di depan pintu rumah Zofia yang terbuka. Mamanya itu masih memfitnah Audrey habis-habisan. Para tetangga masih mengeluarkan caci-maki.Dia menguping sebentar untuk memastikan dugaannya. Setelah yakin, baru melangkah masuk, membuat semua orang menoleh ke arahnya."Stop, Ma! Kenapa Mama selalu memfitnah menantu sendiri? Apa salah Audrey?" tanyanya, tak terima.Zofia geram, lalu tiba-tiba tersenyum kecil