Zofia dan Audrey sudah sampai di depan rumah Juna. Selama di perjalanan tadi, mereka hanya diam. Zofia sempat membuka pembicaraan dengan memberi informasi kalau dia tahu satu keluarga menginap di hotel, dari postingan instastory saat makan bersama dan di-tag tempatnya. Ibu Dianti menjadi agak menyesal, mengapa harus membagikan momen itu di sosial media."Ayo, kita ke taman bunga di samping rumah! Teman-teman arisan Mama sudah menunggu di sana," ajak Zofia, sambil membuka pintu mobil."Katanya tadi di dalam rumah, Ma?" tanya Audrey, mulai curiga.Zofia terkekeh. "Iya, maksudnya di taman dekat rumah."Mereka keluar, lalu masuk ke taman, menemui teman-teman arisan Zofia."Hai, Jeng! Maaf, udah nunggu lama. Jemput menantu, nih, abis bulan madu sama anakku di hotel. Namanya Audrey," kata Zofia, memperkenalkan istri Edwin."O, jadi ini perempuan nggak tahu diri itu?" tanya temannya, membuat Audrey terbelalak.Teman yang lain menimpali, "Enak, ya? Edwin yang kerja keras, dia yang menikmati."
Waktu terus berlalu. Dianti kini berusia dua tahun. Sejak kejadian Zofia dipermalukan, perempuan itu tidak mengganggu rumah tangga Audrey lagi. Edwin benar-benar menepati janjinya untuk tidak bertemu Mamanya. Namun, dia masih menemui Juna dan Sinta, hanya untuk urusan pekerjaan.Suatu malam, Audrey merasa mentalnya sudah pulih setelah apa yang dilakukan Zofia saat Dianti masih bayi. Dia merasa siap untuk mencoba kembali ke rumah Edwin, menghadapi mertua dan semua kakak ipar."Kamu yakin, Sayang?" tanya Edwin yang duduk di tepi ranjang."Yakin, Mas. Aku pasti bisa menghadapi mereka, walaupun mereka akan berniat jahat. Buktinya, Mama sudah nggak pernah ganggu kita lagi, kan? Pasti dia kapok karena tidak ada lagi teman sosialita yang mau menyambanginya," jawab Audrey yang sudah berbaring di kasur.Edwin menghela napas panjang, lalu mengembuskannya lagi. "Terserah kamu, aku hanya menurut. Bagiku sama saja, mau tinggal di sini atau di rumahku. Ya, walaupun perasaan kangen balik ke sana udah
Audrey sedang berjalan dengan menuntun Dianti, menuju warung penjual makanan matang untuk sarapan. Tampak dari kejauhan, antrian yang cukup banyak, didominasi oleh ibu-ibu termasuk Zofia. Sebenarnya istri Edwin berniat mencari warung lain, tetapi dia dipanggil oleh seorang tetangga."Eh, Mbak! Sini! Kamu duluan boleh, buat si kecil," seru seorang ibu-ibu. "He he. Bukan mau beli bubur, kok." Audrey beralasan.Ibu yang lain menyahut, "Kasihan anak kecil jam segini jalan pagi tapi perutnya belum terisi. Buruan, gih! Aku ngalah. Lagian, kita udah jarang ngobrol, kan?"Mau tak mau, Audrey menurut dan mendatangi kerumunan itu. Zofia tampak tak suka dengannya."Pagi, Ma." Audrey mencoba menyapa mertuanya, tetapi tak ada jawaban.Orang-orang merasa heran, lalu mulai menggunjing tentang Zofia dan Audrey.Penjual makanan bertanya, "Kamu lagi sariawan, Jeng?"Dengan cepat, Zofia menggeleng. "Aku lapar, makanya kurang fokus.""Itu, disapa mantumu, nggak dengar?" sahut yang lain.Istri Juna tak me
Malam pun tiba. Edwin pulang dari kantor. Terdengar keramaian di rumah sebelah, apalagi kalau bukan syukuran yang diadakan Zofia."Assalaamu'alaikum," salamnya, lalu masuk rumah.Dia menuju ruang tengah, melihat Audrey sedang membaca Alquran, sementara Ratmi di dalam kamar anak untuk menemani Dianti bermain.Edwin duduk di samping istrinya, tanpa sepatah kata pun karena tak mau mengganggu ibadahnya.Audrey mengakhiri kegiatan mengajinya, lalu menutup Alquran. "Wa'alaikumussalaam." Dia mengulas senyum, menaruh kitab suci di atas meja, lalu menjabat dan mencium tangan suaminya."Ada acara apa, sih, di rumah Mama?" tanya Edwin penasaran."Kamu nggak tahu, atau pura-pura nggak tahu?" Audrey balik bertanya.Edwin menggeleng. "Aku benar-benar nggak tahu."Perempuan di sampingnya mengembuskan napas panjang. "Ada acara syukuran, katanya karena kamu udah balik ke rumah ini lagi.""Hah?" Suami Audrey terperanjat. "Syukuran kedatanganku, kenapa nggak kasih tahu kita, ya? Kamu nggak diundang?""Ya
Edwin melongok ke arah istrinya yang sudah terlelap di samping Dianti. Dia tersenyum melihat dua bidadari yang selalu dicintainya."Alhamdulillaah, ya Allah. Aku memiliki dua harta yang tak ternilai harganya dalam hidupku. Semoga mereka bahagia selalu dan aku bisa mengupayakan hal itu untuk keluarga kecil kami ini." Pria itu berdoa dengan suara lirih.Dia bangun perlahan supaya tidak menimbulkan suara, lalu mengendap-ngendap ke luar kamar. 'Aku harus memastikan apa benar Mama memfitnah Audrey lagi?' batinnya, lalu menuju teras rumah dan mengunci pintu.Tak butuh waktu lama, Edwin sampai di depan pintu rumah Zofia yang terbuka. Mamanya itu masih memfitnah Audrey habis-habisan. Para tetangga masih mengeluarkan caci-maki.Dia menguping sebentar untuk memastikan dugaannya. Setelah yakin, baru melangkah masuk, membuat semua orang menoleh ke arahnya."Stop, Ma! Kenapa Mama selalu memfitnah menantu sendiri? Apa salah Audrey?" tanyanya, tak terima.Zofia geram, lalu tiba-tiba tersenyum kecil
Audrey mencium pucuk kepala anaknya agar tenang, lalu mengembuskan napas panjang. Dia segera melangkah keluar."Maaf, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Ada apa ini?" tanyanya, bingung."Sekarang juga kamu pergi dari rumah ini, komplek kami! Kamu durhaka, nanti jadi maling kundang!" bentak salah seorang pria paruh baya.Audrey menutupi kedua telinga Dianti untuk meminimalisir rasa kaget karena bentakan itu. "Maaf, sebelumnya. Saya selama ini hanya diam. Bapak-Ibu tak menegur pun saya ikhlas menjalaninya. Namun, kenapa masih disalahkan?"Seorang ibu maju lalu berkata dengan nada keras, "Nggak usah pura-pura nggak tahu! Kamu sudah tidak menganggap mertuamu lagi. Kami takut dengan azab yang akan datang, kalau di komplek ini ada menantu durhaka sepertimu!""Ya, betul!" Semua kompak menyahut.Dianti menangis semakin kencang.Audrey kewalahan, hanya bisa menitikkan air mata, lalu menghapusnya cepat, karena merasa rapuh. "Maaf, sebelumnya. Ini rumah suami saya. Kami berhak tinggal di sini. Sebenarnya, bu
Seperti biasa, Dianti sudah terlelap usai Salat Isya' dan ditemani oleh Ratmi. Edwin sedang membuat kopi di dapur. Diam-diam, Audrey sudah berada di belakang suaminya, lalu melingkarkan tangan di pinggang pria itu."Sayang? Tumben, ikut ke belakang?" tanya CEO itu, lalu membalikkan badan.Audrey tersenyum lebar, lalu kembali menghambur memeluk suaminya. "Alhamdulillaah, Mas. Aku senang banget hari ini."Edwin mengerutkan kening. "O ya? Ada apa?""Tadi, kan, aku lagi belajar dari wirausahawan muslim yang share materi marketing lewat YouTu*e sama I*. Jadi pengen buka usaha sendiri, deh!" ujarnya, tanpa melepaskan pelukan."Bagus itu! Lakukan apa yang kamu mau, asal membuatmu bahagia dan nggak melanggar aturan Islam," sahut Edwin.Audrey pun menceritakan semua kejadian tadi, serta bersyukur karena kebenaran telah terungkap."Alhamdulillaah." Edwin mencium pucuk kepala istrinya. "Kesabaran memang akan selalu memetik hasil, meskipun kita harus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Namun, sem
Audrey yang masih memakai mukena langsung menggendong dan memeluk Dianti. Dia menitikkan air mata, tak habis pikir dengan apa yang diperbuat mertuanya."Ada apa, Nyonya?" tanya Ratmi yang tergopoh-gopoh dari dapur."Mas Edwin diajak sama Mama secara paksa, entah ke mana. Sampai membiarkan Dianti menangis sendirian," jawab Audrey, dengan suara parau.Ratmi langsung paham, hati majikannya sedang tidak baik-baik saja. Dia mengambil alih putri kecil berusia dua tahun yang masih menangis itu, lalu menenangkannya. Terdengar notifikasi pesan masuk di ponsel istri Edwin.Audrey berjalan cepat menuju ruang salat, melepas dan melipat mukena, lalu mengambil ponselnya yang ada di atas meja makan.[Aku masih di dalam mobil Mama, di depan rumah Papa. Entah beliau akan membawaku ke mana. Kata beliau, sedang siap-siap. Maaf, aku tak mau menjadi anak yang durhaka.] "Ya Allah," keluh Audrey, dengan air mata yang mengalir semakin deras.Ratmi menidurkan Dianti dalam gendongannya, lalu menghampiri majik