"Hai, Edwin! Ketemu lagi kita, setelah sekian lama aku pergi dari kehidupanmu. Rasanya, memang aku sudah jatuh cinta pada CEO di hadapanku ini, hingga tak bisa berpindah ke hati lainnya," kata Athena sok puitis, sepeninggal Zofia ke luar ruangan.Edwin masih diam. Athena berdiri, melangkah ke belakang kursi Edwin, lalu melingkarkan kedua lengan di pundak suami Audrey. "Lepas!" teriak Edwin, merasa jijik.Orang-orang kembali memandangi mereka."Tenang saja! Malam ini aku nggak akan berbuat aneh-aneh, asalkan kamu mau bicara dengan lembut dan sopan padaku. Kita nikmati makan malam bersama," bisik Athena di telinga Edwin, membuat pria itu sedikit merinding.Audrey menghentakkan kakinya, ingin sekali melabrak pelakor itu, tetapi dia harus menyusun rencana agar terlihat elegan dan tidak memalukan."Ya udah, kalau mau makan duduk di depanku! Jangan bikin gue teriak sampai dilihat orang kayak gini!" Edwin bicara dengan berbisik.Perempuan berpakaian seksi itu membelai pipi Edwin, membuat le
Setelah mengambil ponsel di meja nomor 10 dan menghentikan fitur live FB, Audrey kembali ke kursi yang tadi diduduki Edwin. Dia sangat bersyukur dengan rencana Allah untuk mereka, malam ini. Suasana restoran kembali kondusif dan para tamu melanjutkan kegiatan dinner.Edwin senyam-senyum ke arah istrinya. Mereka menikmati dinner romantis, yang sudah Audrey idamkan selama ini. Ternyata hasil penyelidikan tadi membuahkan hasil hingga Audrey merasa seperti pengantin baru."Makasih, ya, Dek. Kamu sudah menyelamatkan Mas dari perempuan itu. Aku deg-degan tadi, takut terjerumus dalam dosa," ujat Edwin dengan wajah teduh.Audrey mengembangkan senyum di pipi. "Iya, Mas. Tadi, perasaanku nggak enak. Jadi, ikutin aja. Untung kamu udah kasih nomor HP Pak sopir. Eh, maksudnya deg-degan apa, Mas?"Suaminya terlihat gugup. "Mmm, anu ... itu. Ya, Athena belai-belai pipiku tadi. Astagfirullaah.""Oh, kamu hampir tergoda sama kemolekan badannya? Aku juga bisa kayak dia, kalau mau diet terus rajin peraw
"Ini tidak bisa dibiarkan!" teriak Zofia, sambil menggebrak meja di ruang tengah, yang berhadapan dengan sebuah televisi.Jam menunjukkan pukul delapan malam. Evan, Natasha, Joe dan Sinta duduk di sofa, karena dipanggil oleh Mama mereka."Kenapa, ya, Edwin mau bertahan sama Audrey? Terus ada gitu, perempuan sesabar dia?" keluh Evan.Natasha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lagian, Edwin bisa kuat banget imannya, nggak tergoda sama Athena!""Gue juga nggak, masih cantikan Sinta!" celetuk Joe, yang sedari tadi diam saja. Sinta senyum-senyum, sementara Evan dan Natasha cuma nyengir kuda.Zofia membantah perkataan Joe. "Athena juga cantik, wanita karir dan cerdas! Mama sangat ingin Edwin nikah sama dia dan meninggalkan Audrey. Lagian, si Audrey kenapa masih betah mempertahankan rumah tangganya, sih? Udah didiamkan selama bertahun-tahun juga!" Evan menjentikkan jarinya. "Aku tahu, Ma! Kalau cara jahat nggak mempan, kita pakai cara yang munafik!"Zofia mengerutkan dahinya. "Maksud ka
Sejak saat itu, Juna dan Zofia selalu menyapa Audrey, meski hanya sesekali. Keduanya juga sering mengajak Dianti untuk makan bersama di rumah mereka yang sebelumnya belum pernah diinjak oleh gadis kecil itu sama sekali.Namun, Zofia sudah tidak pernah mengadakan acara syukuran atau arisan lagi, karena malas mengundang Audrey. Sementara itu, Sinta kadang main ke rumah Edwin untuk sekadar mengajak bermain Dianti, yang disambut baik oleh istri Edwin. Kalau Evan, Natasha dan Joe belum sempat bersandiwara, karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kadang kalau pulang dari kantor lebih awal, Edwin membelikan kue ataupun pizza untuk putrinya, Syifa--putri Evan, dan juga Sean--putra Joe dan Sinta. Anak-anak itu makan bersama di rumah Joe.Tak hanya itu, Audrey juga sering memasak sup ayam cukup banyak, lalu mengundang Sinta, Natasha, Syifa dan Sean untuk makan malam bersama. Zofia tidak mau diajak, dengan alasan sedang menghindari hidangan yang dapat meningkatkan kadar kolesterol. Mereka
"Ayo beli mainan!" teriak Sean sambil berlari, setelah turun dari mobil.Syifa dan Dianti mengejar lelaki kecil itu, sementara Juna dan Zofia mengawasi dari belakang. Mereka sampai di sebuah mall dan suasananya cukup ramai.Sean berhenti di pintu masuk, lalu menoleh ke belakang. Anak-anak yang lain ikut terdiam di sampingnya."Kenapa berdiri di sini, Sayang?" tanya Zofia."Tempat mainan di mana, Oma? Aku nggak hafal letaknya," jawab Sean.Juna mengembangkan senyum. "Ayo ikut Opa! Dianti sudah ada rencana mau beli apa?"Putri Edwin itu tampak berpikir, lalu menyahut, "Sudah. Aku pengen banget, mainan yang iklannya ada di TV. Dulu pas minta sama Papa dan Mama, katanya baru boleh beli itu setelah masuk SD nanti, karena sekarang aku belum membutuhkannya.""Mainan apa, sih? Ayo Oma belikan untuk kalian semua!" ajak Zofia, dengan wajah ceria."Asyik!" seru ketiga anak itu.Juna dan Zofia berjalan di depan, diikuti cucu mereka. Semua mainan yang sangat diinginkan Dianti mereka beli. Masing-m
"Assalaamu'alaikum." Terdengar suara salam dari gadis kecil yang rambutnya lurus dikucir dua, di depan pintu rumah Edwin.Audrey yang sedang duduk di ruang tamu dengan laptopnya, menoleh. "Wa'alaikumussalaam. Eh, sayangku udah pulang." Dia melangkah menuju pintu, lalu jongkok untuk menyamai tinggi badan Dianti."Iya, Ma!" seru Dianti senang, lalu menyalami dan mencium tangan Mamanya."Masuk, yuk!" ajak Audrey, tetapi Dianti malah memeluknya."Hoho, Sayang! Ada apa? Kangen, ya?" tanya Audrey.Dianti mengangguk, lalu mengurai pelukan. Mereka masuk ke rumah dan duduk di ruang tamu.Audrey tersenyum, lalu bertanya, "Tadi seru belajar sama Tante Natasha?""Seru, Ma! O ya," ujar Dianti, lalu mengeluarkan sebuah kotak makan dari dalam tas. "Tadi, aku dikasih ini sama Tante Natasha. Cobain, deh, Ma! Enak banget."Istri Edwin mengangguk. "Enak, ya, Sayang? Kamu mau dibuatin ini sama Bi Ratmi?"Dianti menyerahkan kotak makan itu pada Audrey, lalu berpikir sejenak. "Aku maunya dibuatkan sama Mama
"Ya Allah, saya hanya ingin fokus wirausaha. Bukan mengabaikan tugasku dalam mengurus anak. Apakah hamba salah?" gumam Audrey di dalam kamar, di sela-sela isak tangisnya."Audrey! Maafkan aku, tolong buka pintunya. Kita belum selesai bicara," panggil Edwin dari luar.Perempuan itu tidak membalas dengan ucapan apapun, hanya tangisan yang semakin deras keluar dari mulutnya.Edwin gelisah untuk beberapa saat. Tiba-tiba dia merasakan ada yang memeluk perutnya dari samping.Pria itu menunduk, melihat sang putri kecil yang datang entah sejak kapan. "Eh, Sayang! Udah bangun?""Mama kenapa nangis, Pa?" tanya Dianti, yang mendengar suara memilukan dari dalam kamar."Mm, nggak papa. Mama nggak kenapa-napa, kok," sahut Edwin gugup, karena tak mau anaknya panik."Pasti Mama sedih gara-gara aku ngambek, ya, Pa? Kalau gitu, Dianti menyesal, deh!" ujar Dianti dengan wajah murung.Papanya bertambah bingung mau jawab bagaimana. "Bu-bukan begitu, Sayang. Mama cuma-""Ma! Buka pintunya, Ma! Dianti minta
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Dianti sudah tertidur di kamarnya. Audrey mengecup kening putrinya dengan lembut, lalu keluar."Apa aku marahku sudah berlebihan, ya, sama Mas Edwin?" gumamnya, sambil menatap kamar sebelah yang pintunya tertutup separuh.Audrey mendekat. Melalui celah pintu, dia melihat Edwin yang berdiri menatap foto pernikahan yang terpajang di dinding."Belum tidur, Mas?" tanya Audrey, seraya mengalihkan pandangan.Suaminya menoleh. "Belum. Masuk aja."Mamanya Dianti itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Dia membuka pintu perlahan, lalu masuk. Sesaat suasana terasa canggung."Mas, aku mau minta maaf, kalau tadi sudah berlebihan marahnya ke kamu," katanya, memulai pembicaraan."Iya, Audrey. Nggak berlebihan, kok. Mas juga minta maaf, ya?" Audrey memberanikan diri menatap sang suami. "Sebenarnya, sebab kemarahan aku juga tentang nafkah yang kamu bilang akan berkurang bulan depan. Bukannya nggak bersyukur, tapi ....""Aku tahu. Maaf untuk hal itu