Bab ini tentang cerita masa lalu ibu Bab 37Betapa kemiskinan itu sangat menyakitkan. Dihina, dimaki, dikucilkan sudah hal biasa yang kami terima.***"Dek, maaf... Mas cuma bawa uang 10 ribu saja," ucap suamiku sambil menyerahkan selembar uang 10 ribuan. Wajahnya terlihat lelah, peluhnya bercucuran di tubuhnya. Pekerjaannya memang serabutan, hanya sebagai kuli panggul di pasar. Untuk sekadar mencari kebutuhan untuk makan saja terasa begitu sulit. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan yang lainnya.Aku tersenyum mencoba menguatkan suamiku. Aku tahu susahnya mencari uang, apalagi di kampung seperti ini. Tapi aku tidak mau menyia-nyiakan hasil jerih payahnya. Aku terima dengan suka cita. Karena seberapapun itu adalah nafkah darinya."Tidak apa-apa mas, insyaallah segini juga cukup," sahutku. Padahal dalam hati aku pusing harus seperti apa mengatur keuangan ini. Harus membeli apa agar cukup untuk makan hari ini. Garis kemiskinan sungguh membuat kami mengikat pinggang, menahan segala rasa yan
Bab 38Kubukakan mataku dan melihat sekeliling. Ini tempat yang begitu familiar, ya ini adalah kamarku. Aku ingin beranjak, tapi semua tubuhku terasa nyeri dan ngilu. Lalu terbayang lagi peristiwa tadi malam. Peristiwa yang paling pahit aku alami. Perisfiwa kelam yang takkan bisa kulupa begitu saja. Sepertinya aku pingsan di tempat terkutuk itu, tapi kenapa aku sekarang bisa ada di rumah?"Aaaarrrrgggghhhh....!!" teriakku frustasi. Aku sudah gila, benar-benar gila memikirkan semua ini. Tubuhku sudah kotor, benarkan? Dia melecehkanku. Dia, orang itu, pria itu, entah siapa, aku tak mengenalnya yang jelas dia hanya seorang pemabuk.Kulihat ibu berlari-lari tergopoh-gopoh menghampiriku. Mungkin tadi dia mendengar teriakanku tadi. Ah, aku benar benar kotor sekarang. Dia menangis melihatku. "Nduk, kamu sudah sadar sayang?" tanya ibu begitu lembut dan perhatian.Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Sesak rasanya. Dadaku seperti dihantam oleh batu besar, sulit sekali untuk bernafas. Aku
Bab 39Hari berganti hari, aku makin stress dibuatnya. Apalagi mendengar ocehan para tetangga. Yang seolah selalu menyudutkanku. Bukannya mendukung, tapi justru menyudutkan aku yang hanya seorang korban perkosaan. "Makanya jadi wanita itu harus bisa jaga diri, biar gak diincar laki laki lain. Dah punya suami masih saja umbar tubuh dan tebar pesona. Ya akhirnya begitu. Rasakan sendiri akibatnya."Kata kata yang kerap kali aku dengar menyudutkanku, menyalahkanku sebagai wanita. Ya, siapa yang mau menjadi korban pelecehan. Akupun tak sanggup. Apalagi hari hari kujalani seperti penuh hina dan caci membuat mentalku makin down.Berulangkali aku mencoba untuk bunuh diri, tapi selalu saja gagal. Ibu selalu menolongku. Ibu yang selalu menyemangatiku. Hingga kandunganku semakin hari semakin besar. Perut yang tadinya rata mulai membuncit. Aku tidak tahu kenapa diperkosa justru aku hamil. Hamil anak yang tak pernah kuinginkan. Ingin kugugurkan saja kandungan ini karena sudah menjadi aib keluarga
Bab 40Hari hari berlalu dengan cepat, mas Hasan selalu jadi suami siaga, dia merawatku dengan sangat baik.Dia menyisir rambutku setelah selesai mandi, dia juga yang menyuapiku makan. Mengajak aku berbincang dan bercanda bersama. Setiap hari selalu begitu. Ya, dia sangat setia membantuku untuk bangkit kembali.Mendengar ocehan tetangga, yang masih memojokkanku, akhirnya mas Hasan mengajak kami pindah rumah."Dek, kita siap-siap ya... Kita pindah dari rumah ini dan memulai hidup yang baru," ucapnya kala itu.Aku mengangguk. Mungkin inilah kesempatan terbaik untuk kami. Pindah dari lingkungan tetangga yang toxic."Ini juga demi kebaikanmu, agar kamu tidak trauma dengan kejadian itu. Agar mereka tak membicarakanmu lagi. Kamu butuh tempat yang tenang, semoga kamu bisa pulih kembali," jawab Mas Hasan. Ah dia begitu peduli padaku. Sangat peduli bahkan dia mengesampingkan perasaannya sendiri yang mungkin kecewa karena aku.Aku mengangguk lagi.Dia tersenyum lalu mengecup keningku dengan lem
Bab 41Hari hari berlalu, kini tiba waktunya Arin menikah. Adik bungsuku akan melepas masa lajanganya di usia yang masih sangat muda. Tapi dua keluarga sudah bertemu dan mencapai kesepakatan bersama. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.Satu hari sebelum hari H."Mbak, tolong Arin mbak... Arin gak mau nikah sama Zaky. Tolong Arin mbak..." rengek Arin padaku. Aku heran kenapa bisa begitu? Bukankah semuanya sudah setuju?Dia menangis, air matanya tumpah tak berhenti turun. Apa maksudnya dengan gadis ini? Kenapa dia tak mau menikah? Bukankah sudah disetujui pernikahan ini?"Mbak... Mbak Dewi bisa kan bantu aku? Arin gak mau nikah sama Zaky, mbak..." ujarnya lagi. Ia seolah frustasi."Tunggu dek, kenapa kamu gak mau nikah sama Zaky? Bukannya dia itu pacarmu, dek? Ada apa sebenarnya ini?" tanyaku lagi. Bisa gawat kalau dia tak mau menikah, bisa bisa kesehatan ibu drop lagi karena banyak pikiran."Arin trauma sama dia mbak... Dia sangat kasar, Arin gak mau punya suami seperti dia," s
Bab 42"Ariiin.... Aawaaass...!!" teriak Zaky. Dia berlari menghampiri Arin dan segera menariknya ke pinggir jalan."Tiin... Tiin... Tiin..." suara klakson mobil saling bersahutan. Ya, hampir saja Arin tertabrak. Dia melamun saat menyeberang jalan tanpa melihat, pikirannya melayang entah kemana."Sayang, kamu gak apa-apa?" tanya Zaky. Arin melihat Zaky dengan mata berkaca-kaca. "Hei, ditanya kok diam saja? Terus kenapa bisa sampai sini? Lagi ngapain?" tanya Zaky lagi.Arin terdiam dan hanya menunduk. Bulir bening itu mulai tumpah lagi. Ia menyesali keputusannya untuk kabur dari rumah tapi justru bertemu dengan calon suaminya itu."Lho, kok malah nangis? Bukannya kamu lagi dipingit ya? Kenapa keluar rumah? Kamu naik apa sampai sini?" Zaky memberondongnya dengan pertanyaan.Arin masih tetap diam, tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia memandang wajah Zaki dengan tatapan sendu. "Ayo bangun dulu," ucap Zaky sambil memapahnya berdiri. Namun Arin terkulai lemas, dia tak sadarkan
Bab 43"Dek, coba katakan padaku, bicaralah kalau kau mau memaafkan aku dan menerimaku kembali..." sergah Zaky."Iya, mas""Apa aku gak salah dengar kamu memanggilku mas?" Tanya Zaky. Ia tersenyum berusaha menggoda Arin.Arin menggeleng. "Boleh kan?" tanya Arin dengan lugu. Ia menggigit bibir bagian bawahnya takut kalau lelaki di hadapannya ini akan marah."Ya tentu saja, aku malah senang mendengarnya. Maksudku mas malah senang mendengarnya," jawab Zaky agak kikuk."Tapi dengan satu syarat...""Hah, Syarat? Apa itu?" tanya Zaky kemudian. Sekarang ia menyadari kesalahannya pada gadis ini. Dalam hati yang paling dalam, ia menyayanginya."Mas harus bisa bimbing aku ke arah yang lebih baik. Dan...""Dan?" Zaky kembali mengernyitkan keningnya."Jangan pernah sakiti aku.""Ya, tentu saja. Mas akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Jadi kamu udah siap mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku?" tanya Zaky memastikan. Ia ingin dengar sendiri ucapan yang keluar dari mulut Arin."Iya, mas.
Bab 44Aku masih menunggu mas Aris pulang di teras depan rumah. Rasa khawatirku semakin membuncah. Apakah aku terlalu berlebihan?"Mbak... Mbak Dewi..." teriak suara seseorang mengagetkanku. Pak Samin terlihat berlari tergopoh-gopoh menghampiriku."Mbak... Itu mbak..." nafasnya terdengar ngos-ngosan."Ada apa ya, pak?" tanyaku."Anu mbak, mas Aris...""Mas Aris kenapa, pak?""Mas Aris kecelakaan mbak...""Apaaa...??"Deg deg deg. Rasanya tak percaya mendengar berita itu. Tubuhku limbung, lemas tak bertenaga. Tapi tiba-tiba Dani menopang tubuhku. "Dimana, pak?" tanya Dani."Itu mas, di jalan yang arah hutan larangan. Tadi bapak lewat situ gak sengaja lihat kerumunan, ternyata ada kecelakaan. Dan itu mas Aris. Tapi berita lengkapnya, bapak kurang tahu. Bapak buru-buru kesini buat ngabari kalian""Terus bagaimana keadaannya, pak?""Bapak kurang tahu mas, tapi katanya mas Aris akan dibawa ke Rumah Sakit terdekat sama warga.""Baiklah terima kasih infonya, pak""Iya sama-sama, mas"Astagh