Share

B5. Toilet Sekolah

Sarah, Freya, dan Jehan berada di dalam toilet sekolah. Ketiganya berdiri di depan salah satu bilik. Sarah tampak memainkan sepatu kanannya, menghentak-hentakan ke lantai.

"Adel ... apa kau tidak ingin keluar dari dalam sana?" gertak Sarah. "Satu pintu lagi. Aku pastikan kau ada di balik pintu bilik terakhir ini."

Belum sempat tangan kanan Sarah mendorong pintu bilik tersebut. Pintu itu telah terbuka dan muncullah Adel di balik pintu.

"Aha ... akhirnya kau keluar juga, Del."

Sarah maju beberapa langkah, sedangkan Freya berdiri di samping kanan pintu dan Jehan berdiri di sebelah kiri. Ketiganya melipatkan tangan mereka dan menatap Adelia.

Adel menundukkan kepalanya. Gadis itu tidak berani membalas tatapan dari Sarah, Freya, dan Jehan.

"Anak pintar," ujar Sarah menepuk pipi kiri Adelia. "Dengar baik-baik. Jika sampai kau mengadu--besok atau lusa--kau akan mendapatkan yang lebih buruk dari ini. Paham!" Sarah mencengkeram kuat rambut Adel dan menariknya dengan kuat. Hal itu membuat Adel berteriak. "Aku bilang diam dan tahan rasa sakit itu!" Sarah kembali menarik rambut Adel.

Adel sendiri menahan sakit yang dia rasa dengan menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. Adel memejamkan matanya hingga buliran bening mengalir dari sana.

Namun, bagi Sarah, dia sangat menikmatinya. Lantas Sarah menarik Adelia keluar dari bilik tersebut. Dengan kasarnya Sarah mendorong tubuh Adelia hingga menabrak dinding.

"Itulah akibatnya jika berani melawanku, hah!" Sarah kembali menarik rambut Adelia memaksanya untuk berdiri.

"Mau kita apakan dia?" Jehan menimpali Sarah.

"Aku punya ide," celetuk Freya. Sarah melirik Freya.

"Apa idemu?"

"Kita kunci saja dia di sini," usul Freya.

"Ti-tidak. Ja-jangan kalian lakukan itu padaku. Aku mohon."

"Apa kau takut, hah? Merengeklah meminta ampun padaku."

"Ji-jika itu keinginanmu. Aku akan melakukannya." Kemudian Adel duduk berlutut di depan Sarah. Dia seperti memohon ampun agar dilepaskan.

Sarah, Freya, dan Jehan tertawa melihatnya.

"Lihatlah, siswi teladan kita duduk berlutut memohon ampun." Sarah menarik sudut bibirnya dan tersenyum sinis. "Kau pikir dengan melakukan hal itu aku akan langsung membebaskanmu?"

"Apa?" Adel mengangkat kepalanya dan menatap wajah Sarah.

"Membuatmu sengsara adalah kesenangan sendiri bagiku!" Sarah memegang kepala Adel dan menjambak serta menariknya.

"Sarah, tunggu dulu," ujar Jehan menahan Sarah. Lalu tangan Jehan menarik dasi yang masih terpasang rapi di kerah baju seragam Adel. Kemudian dasi itu Jehan lingkarkan pada mulut Adelia dan mengikatnya dengan kuat. "Seperti ini akan lebih mengasikan. Bukan begitu?" Jehan tersenyum puas menatap Sarah.

"Mmph ... mmph!" Begitulah reaksi Adel. Seolah dia berusaha untuk melepaskan ikatan dasi yang melingkar kuat di mulutnya.

"Bicara apa kau ini, Del. Aku sama sekali tidak paham hahaha ...." Suara tawa Sarah begitu sangat renyah.

"Bagaimana jika kedua tangannya kita ikat?" Freya mengangkat tangan kanannya menunjukkan sesuatu yang tidak sengaja dia temukan di koridor sekolah.

Setelah mengikat kedua tangannya, Sarah langsung mendorong tubuh Adelia ke dalam bilik dan menguncinya dari luar.

"Kau yakin akan menguncinya?" ujar Jehan.

"Bagaimana jika dia--"

"Terkunci semalam pun dia tidak akan mati," kata Sarah menyela Freya yang tampak khawatir. "Kenapa? Kau takut?" Sarah membalikan badannya menatap Freya. "Bukankah membekap mulutnya dan mengikat kedua tangannya adalah usul dari kalian berdua? Niatku tadi itu hanya ingin menguncinya di dalam bilik ini tanpa membekap mulut atau mengikat kedua tangannya." lanjut Sarah lalu begitu saja gadis itu melangkah pergi meninggalkan Jehan dan Freya.

Freya dan Jehan saling pandang dengan raut wajah yang terlihat cemas.

"Bagaimana ini?" Jehan memegang lengan Freya.

"Masa bodoh, ah!" Freya begitu saja berlalu meninggalkan tempat itu. Sedangkan Jehan masih berdiri menatap pintu.

Jehan begitu bimbang pada saat itu. Antara ingin melepaskannya atau tidak. Tangannya mulai gemetaran dan terulur menyentuh gagang pintu, akan tetapi dia menariknya kembali saat pintu itu digedor-gedor dari dalam.

"Jehan!" teriak seseorang dari luar. Jehan segera berlari keluar dari toilet.

***

Kayana duduk tidak tenang, dia menggerakkan kedua kakinya. Mengakibatkan getaran pada meja. Berkali-kali Kay melirik jam tangannya. Sudah sekitar dua puluh menit Adel belum juga datang di kafe.

Kayana semakin kencang menggerakkan kedua kakinya. Hal itu membuat Hendy merasa terganggu.

"Kay, kau bisa membuat banyak coretan di kertas ini," protes Hendy.

"Maaf, tapi--ini--"

"Kita kembali ke sekolah." Hendy menutup semua bukunya dan memasukannya ke dalam tas.

"Serius?"

"Aku serius. Ayo, kita kembali ke sekolah," ajak Hendy.

Saat tiba di sekolah Kayana dan Hendy langsung menuju kantor guru. Di sana Kayana langsung menemui Bu Ratna.

"Adelia sudah pulang sekitar kurang lebih sepuluh menit yang lalu," sahut Bu Ratna yang saat itu sedang membereskan mejanya.

"Jadi Adel sudah pulang, Bu?" Hendy mengulangnya lagi untuk memastikannya.

"Iya, tapi--"

"Tapi apa, Bu?" serobot Kayana.

Bu Ratna menatap Kayana. "Kalian berdua bukannya sangat dekat. Ibu merasa ada yang aneh pada Adel. Apa kau mengetahui sesuatu, Kay?" tanya Bu Ratna pada Kayana.

"Tidak, Bu." Kayana menggelengkan kepalanya.

"Baiklah. Kalian berdua boleh pulang. Hari sudah mulai sore. Mungkin Adel juga sudah pulang ke rumah."

Namun, Kayana masih merasakan sesuatu yang mengganjal. Gadis itu yakin jika Adelia masih berada di dalam sekolah. Kay dan Hendy memutuskan untuk mencari Adel.

Saat mulai bingung mencari Adelia, Hendy terlihat seperti menahan sesuatu.

"Kay, aku kebelet kencing." Tanpa basa-basi Hendy langsung lari meninggalkan Kayana.

Kayana menggelengkan kepalanya. Gadis itupun menyusul Hendy ke toilet. Saat dia menunggu Hendy di depan toilet, Kayana berpikir ingin membasuh mukanya. Lantas dia masuk ke dalam toilet wanita.

Kayana menyalakan keran air dan membasuh mukanya sendiri. Berdiam lama menatap kaca di depannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Adel? Sepertinya Adel sedang menyembunyikan sesuatu," ucapnya lirih. Kayana melepaskan tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah kain seperti handuk kecil dari tasnya. Lantas dia mengeringkan wajahnya.

"Kay ...," panggil Hendy dari luar. Kayana segera memasukan handuk itu ke dalam tas dan melangkah keluar toilet.

Kay melihat Hendy mengangkat ponselnya dan menggerakkannya.

"Ada apa?" tanya menghampiri Hendy.

"Baru saja Adel menghubungiku. Adel bilang tidak perlu menunggunya, karena dia sudah sampai di rumah."

Kayana mengerutkan alisnya. "Kenapa Adel tidak menghubungiku?"

"Ah, itu juga tadi Adel bilang jika ponselmu tidak bisa dihubungi."

Kayana mengecek ponselnya. "Ternyata ponselku low-bat."

Rasa cemas dan khawatir dalam diri Kayana sirna sudah. Kini yang dia rasakan hanya rasa lega begitu dia mendengar kabar dari Adelia. Namun, pada kenyataannya Kayana belum tahu yang sebenarnya terjadi.

"By the way, anyway, Jakarta punya busway. Kita bagaimana kelanjutannya?" tanya Hendy.

"Hah? Apanya yang kita?" tanya balik Kayana.

"Maksudku--kita jadi melanjutkan yang tadi tertunda itu?" kata Hendy menjelaskan agar tidak terjadi salah paham.

Kayana mengangkat kepalanya ke atas menatap langit. "Hm ... aku rasa kita lanjutkan besok saja. Mengerjakan bertiga akan lebih cepat selesai. Bagaimana?"

"Bolehlah. Besok--bertiga?"

"Ayo, kita pulang." Kayana menarik lengan Hendy. Keduanya berpisah di depan gerbang sekolah.

Kayana melangkahkan kakinya pelan menyusuri trotoar yang mulai agak sepi. Dia memilih mengambil jalan pintas dengan masuk ke dalam sebuah gang. Namun, perasaannya mulai tidak enak saat dia merasakan seperti ada yang sedang membuntutinya. Kayana menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Dia melihat seorang pemuda memakai hoodie hitam bertudung berjalan cepat ke arahnya.

Kayana teringat berita-berita yang wira-wiri muncul di televisi tentang penculikan, pemerkosa, dan pembunuhan. Merasa dirinya sedang terancam, Kayana mengambil langkah seribu. Dia pun berlari karena ketakutan. Namun, karena Kayana tidak melihat keadaan. Dia tersandung sebuah benda yang tergeletak sembarangan.

"Perhatikan langkahmu!" ucap pemuda itu dengan menarik tas Kayana agar gadis itu tidak jatuh ke dalam kumbangan air.

Selepas itu dia langsung berlalu dari hadapan Kayana. Langkah kakinya berhenti dan dia membalikkan tubuhnya. Kayana sempat melangkah mundur karena terkejut melihat wajahnya.

"Cepatlah pulang. Tidak baik seorang gadis berkeliaran saat malam akan datang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status