Beri bintang 5 nya ya? Dan tinggalkan komentar yang membangun. Makasyieeehhh
Otakku masih bekerja lamban ketika Affar ingin mengenalkanku pada anaknya. Tanpa aba-aba ia menarik tanganku menuju mobil. Samsul segera membuka pintu mobil lalu menampilkan seorang balita laki-laki yang usianya sekitar satu tahunan dalam pangkuan baby sitter. Dia terlihat sehabis menangis, dengan sedikit sisa ingus yang terlihat di atas mulut, mata sembab, dan ekspresi wajah sendu. Mulutnya terlihat manyun menahan tangis. Ketika Affar mengulurkan tangannya, Devan kecil langsung meraih tangan Affar lalu berceletoh khas anak balita tengah merajuk. Mulutnya makin manyun menggemaskan dengan pipiku gembul yang ingin sekali kumakan. Lalu kepalanya disandarkan di pundak Affar. "Dev, kenalin nih tante Audrey." Ucap lembut Affar sambil mengusap sayang rambut lebat Devan. Aku tersenyum tulus ke arah Devan lalu mengusap lembut sisa air mata dan ingusnya tanpa merasa jijik. "Hai ganteng. Kok nangis sih? Kan jagoan." Devan masih manyun dengan menatapku aneh. Aku tersenyum lalu mengusap kepal
Kian menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan, namun aku sudah yakin jika hubungan kami sudah sangat tidak sehat. Aku hanya ingin kepastian lalu menentukan langkah terakhir. "Aku janji. It's the last." Kian diam sambil menatapku dalam. "Baiklah." "Aku ikut mobil kamu. Kemanapun tujuannya." Detik-detik nasib hubungan kami akan jelas setelah ini, dan aku akan mengikhlaskan apapun hasilnya. Aku percaya perkataan Amelia untuk tidak memaksa Kian menjalani hubungan karena keterpaksaan. Ketika mobil Kian melaju membelah jalanan, aku hanya diam sambil memandang keluar jendela. 'Gue nggak akan memohon apapun. Bahkan demi hubungan ini. Jika ini yang terbaik, gue siap pergi.' Aku menangkap pantulan bayangan Kian dari kaca jendela. Saat mobil berhenti karena lampu merah, pria itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Sesekali tersenyum tipis. Apa yang dia baca? Apa aku tidak lebih penting baginya setelah jiwa raga kuberikan untuknya? Bohong jika aku tidak cemburu dengan siapa Kian se
Aku melirik Samsul sambil menggendong Devan yang masih sesenggukan. Sungguh pertanyaannya amat tidak membuat hatiku tersentuh. Melainkan aku menganggap ia sama kurang ajarnya seperti Affar, majikannya. "Apa kamu bilang? Jadi ibu sambungnya Devan?" Samsul yang merasakan kemarahanku langsung gelagapan. "Maaf Mbak Audrey. Tolong jangan sampaikan ini pada Pak Affar. Murni saya bertanya karena kasihan pada Mas Devan." "Kamu hanya kasihan pada Devan tapi nggak mikir gimana perasaanku waktu Affar bersikap seenaknya padaku." Balasku tak kalah sengit. "Maaf mbak. Maaf. Saya cuma sopir." Samsul menunduk takut. Jika mengingat kesalahan Affar di masa lalu mungkin pembicaraan tentang ras sakit hatiku tidak akan ada habisnya. Dimanja, lalu dimanfaatkan sebagai pemuas nafsu, setelah itu dibuang. Perempuan manapun tidak akan sudi kembali apapun alasannya. Aku merubah posisi berdiri menghadap Samsul sepenuhnya. Sedang Devan malah makin mengeratkan pelukan di leherku. "Mungkin kamu harus tahu,
Nyatanya iklan es krim yang terpampang di baliho perempatan dimana mobil Pak Niko berhenti menunggu antrian lampu merah, sangat menggugah selera. Apa lagi yang rasa coklat. Akhirnya aku memberanikan diri agar Pak Niko menurunkan aku di gerai minimarket. Karena begitu baik, beliau bersedia mengantarku kembali ke kantor karena kebetulan satu arah. Mengikuti ajakan makan siang berdua dengan Pak Niko, walau bersama asistennya, rasanya tidak etis. Walau beliau yang menawarkan. Sesampainya di kubikel, aku segera melahap es krim itu sendirian. Bahkan aku melarang Anjar ikut mencicipi. "Gendut baru tahu rasa lo." "Lo beli sendiri lah Njar." "Dasar pelit." *** Baru bekerja setengah hari, sakit kepala yang mendera masih saja langgeng bersarang. Ini karena stres belakangan ini sejak aku dan Kian berpisah hingga semalam bermimpi buruk. "Bangsat beneran tuh duda!" Geramku sambil memijat pelipis. Bahkan aku melewatkan traktiran makan siang gratis dari salah satu rekan kerja yang tengah
Aku bolak balik membuka ponsel tapi tidak ada tanda-tanda Kian membaca pesanku. Online saja beberapa jam yang lalu. Panggilanku pun tidak diangkat. "Ya Tuhan aku harus gimana?" Aku tidak tahu bagaimana ribetnya terjebak skandal kasus mega proyek namun yang jelas gosip dan desas desusnya cukup menyita atensi seluruh karyawan. Sedang aku yang sudah tidak bisa menunggu lebih lama akhirnya mengambil jalur pintas. Mengesampingkan apa yang Kian alami saat ini. Aku tidak tahu apa yang ia sibukkan secara detail jadi aku memberanikan diri merangsek masuk dengan cara memberanikan diri datang ke rumah kelahiran Kian. Nekat? Iya, aku tidak ada pilihan lain. Keadaan yang memaksa ku bertindak demikian. Tanpa sepengetahuan Kian karena menurutku percuma, ia tidak akan merespon dengan cepat. Hanya berbekal ingatan pernah ke rumah kelahirannya, aku dalam perjalanan menuju kesana menggunakan taksi. Beragam kalimat terbaik telah kusiapkan sepanjang perjalanan sebelum sampai sana. Aku tahu ini pasti
Aku mengucapkannya dengan jelas, dengan menatap mata ibu Kian. Tanpa keraguan dan tanpa kebohongan. Haruskah aku menyembunyikan hasil perbuatan kami berdua dari keluarga? Tidak! Setidaknya aku ingin Kian bertanggung jawab dan mulai mencintai darah dagingnya juga. Perasaan lega menyeruak dalam hati setelah mengatakan apa yang menjadi bebanku beberapa hari ini. Bagai petir disiang bolong, ibu Kian hampir tidak percaya dengan ucapanku. Beliau diam sambil memandangku penuh keterkejutan. Apakah setelah ini ia masih menyuruhku pergi? Padahal aku sedang hamil cucu pertamanya? "Apa tante masih tega menyuruh saya pergi? Pergi tanpa jawaban siapa itu Amanda?" "Apa bayi ini juga tidak berhak mendapat setitik kasih sayang dari nenek dan ayahnya?" "Atau haruskah dia hanya mengenal saya sebagai satu-satunya orang tuanya?" "Disini saya datang, mengemis cinta dan tanggung jawab dari Kian. Tidak peduli dengan harga diri saya sendiri tante." Air mataku luruh dengan dramatis dan itu tidak luput
"Sha, ceritakan kenapa bisa begini nak?"Aku kembali menunduk dan mengingat-ingat awal mula kejadian itu."Sebelumnya kami berteman baik. Bahkan Kian banyak membantu saya. Perlahan rasa itu muncul dalam hati. Lambat laun saya sadar kalau saya mencintai Kian tapi tidak sebaliknya.""Saat kami bertugas di Yogya, disitulah kami kehilangan kendali. Lalu Kian memutuskan menjadikan saya kekasihnya, dia mau bertanggung jawab. Setelahnya kami sering kelepasan.""Tapi ketika dia menjanjikan liburan dan janji tidak akan meninggalkan saya, Kian berbohong. Dia marah besar saat saya ingin tahu kenapa tiba-tiba liburan itu batal. Alasannya Rado sakit. Bahkan hingga detik ini pun tidak ada pesan saya yang dibalas."Aku menangis meratapi sikap Kian yang begitu acuh padaku."Bahkan saya tidak yakin dia akan bertanggung jawab akan anak ini tante. Apa lagi tante bilang ini karena Amanda, saya seperti tidak ada harapan. Tapi saya tidak akan menyakiti anak ini. Mungkin dia nanti yang akan menjadi pelindun
I breathe you into my heart.Pray for the strength to stand today.Whether it's wrong or right.Kenangan indah yang sempat kulalui bersama seorang pria yang kucintai dengan sepenuh hati berubah menjadi senjata yang menghancurkan kehidupanku."Gue layak bahagia. Gue harus bahagia demi malaikat kecil ini." Sekilas senyum terbit di bibir mengingat ada nyawa yang ada di dalam perutku."Tuhan menghukum gue dengan ini tapi gue juga harus memperbaiki diri dengan ini. Dia anak gue dan akan gue jaga dengan baik." Tanganku kembali menyentuh perut yang sedikit membuncit."Kita akan bahagia berdua ya dek. Kita akan arungi kehidupan ini bersama. Bunda sayang kamu."Saat sedang asyik dengan lamunan ini di sebuah sudut kafe, dering ponsel membuyarkan lamunanku.+6221710xxxx is calling...Aku menatap nomer itu hingga dering pertama mati. Hatiku mulai kebas akan hadirnya.Kemudian muncul lagi panggilan dari nomer yang sama.Ini adalah saatnya, setelah dua hari yang lalu aku menyambangi rumahnya. Bahka