“Kamu?” Dia terpana. Tatapannya terpaku beberapa saat di wajahku. Rasanya ingin pingsan detik ini juga. Kenapa dia lagi?“Bintang. Senang sekali bisa ketemu disini. Apa kabar? Apa sudah baikan sekarang?”Bintang? Dia masih memanggilku Bintang? Pikiranku tiba-tiba kosong.Saking bingungnya merespon pertanyaannya, aku terdiam di tempat. Tubuhku membeku mendadak. Untunglah hanya berlangsung sebentar. Aku cepat tersadar memasang mimik datar.“Oh, iya. Saya baru ingat ternyata Anda lagi. Bumi memang tak selebar daun pisang, ya? Ada banyak manusia di kota ini, tapi bisa-bisanya kita dipertemukan di sini. Menurutku ini sedikit aneh.”Tawanya berderai setelah mendengar penuturanku. Sementara aku mendengus samar. Memangnya apa yang lucu? Apa dia seorang yang kaku sehingga mendengar kalimat seperti itu saja membuatnya geli? Orang aneh. Kedua matanya yang besar kemudian menyipit seakan ingin menyelami pikiranku.“Kamu bisa bercanda juga. Saya kira Cuma bisa marah-marah.” Ah, aku tidak tahan. Ku
‘Sayang, nanti kalau kita menikah aku mau kita punya banyak anak.’Keinginan yang dia diutarakan padaku dua bulan sebelum kami menikah. Saat itu aku tak melihat mendung sedikit pun meski mungkin ketika dia mengatakan itu saat langit sedang sangat muram. Bumi serasa terang benderang. Segala yang ada di bawah matahari terlihat menyenangkan hati. Kunikmati kebahagiaan yang begitu sempurna sampai tiba hari dia menghalalkan. Bagiku ikatan suci kami adalah surga dunia. Dia laki-laki yang nyaris tanpa cela di mataku. Empat tahun kebersamaan tak sekalipun dia menyakiti, berkata kasar apalagi. Dia seorang yang lemah lembut dan pandai menyenangkan hati. Aku merasa beruntung bisa memilikinya. Sampai-sampai beberapa rekan wanitanya terangan-terangan menyatakan kecemburuan mereka saat hadir di resepsi pernikahan kami. Meski disampaikan dengan nada bercanda.Hal yang sangat wajar, aku menyadari itu. Dia tampan, dengan mata yang bulat cemerlang. Terlihat cerdas dan berwawasan. Dan yang terpenting di
"Tak butuh waktu lama untuk bisa mencintai. Tapi mengapa butuh waktu yang begitu panjang untuk bisa melupakan."___"Ya Allah, apa kabar?"Dia memeluk sangat erat. Wanita paru baya yang kupanggil Bu Tamy memandangiku lekat-lekat. Ribuan pertanyaan terpancar dari sorot matanya yang di bingkai alis tebal itu.“Alhamdulilah, aku baik, Bu. Bu Tamy sehat?”Dia mengangguk antusias. “Udah kangen banget. Ke mana aja selama ini?”“Ada Bu, biasa sibuk bantu Kak Sarah di restoran. Anak-anak gimana masih suka nginep di rumah?”Dia mengangguk lagi. Yang kumaksud anak-anak adalah empat cucunya yang hampir setiap hari beliau urus saat orang tua mereka bekerja.Bu Tamy tetangga terdekatku. Sebenarnya aku betah tinggal di kompleks ini. Lingkungannya yang nyaman, teratur dan bersih juga orang-orangnya yang ramah dan saling peduli. Betapa berat saat aku harus meninggalkan kehidupan disini. Tapi apa mau di kata, ada keputusan yang lebih penting yang harua segera diambil.Kami mengobrol kurang dari setenga
Kuhempaskan kepala pada sandaran jok. Apa-apaan ini? Jangan ... Jangan mogok. Ya Allah tolonglah jangan mogok sekarang apa lagi malam begini. Aku gelapan. Terserang panik mendadak. Mencari ponsel dalam benak berpikir cepat siapa yang bisa membantuku dalam keadaan darurat.Ryu ...?Dialah orang pertama yang harus kuhubungi ketika aku terjebak dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan seperti ini. Tapi itu dulu ... Kupejamkan mata dengan sedih.Jangan ingatkan aku padanya. Dia dan aku tidak lagi saling mengenal.Jemariku sibuk mencari memilih nama di daftar kontak sampai tak menyadari seseorang mendekat dan mengetuk kaca mobil. Aku terperanjat. Jantungku berdegup kencang. Rupanya aku terlalu cemas. Suara sepelan itu pun nyaris membuat jantungku melorot ke mata kaki.Aku menoleh dengan gerakan cepat membuka pintu mobil tetapi kemudian lebih terkejut lagi ketika kudapati yang berdiri di depanku adalah laki-laki itu.“Anda ...?!”Dia menyungingkan senyum di bibirnya membuat lubang di
"Ketika kau memilih pergi, kau harus tahu; jalan kembali memang akan selalu ada, tapi tempat untuk pulang seringkali sudah tak lagi tersedia."_____“Euh, iya. Ada yang menunggu saya. Jadi saya harus segera tiba di rumah,” aku menyahut dengan geragapan. Berharap dia tidak mengajukan pertanyaan berikutnya. Tapi aku salah.“Siapa. Apa suami kamu?” Raut kecewa terlihat samar di garis wajahnya. Ya, jika aku tidak salah.Ini menyebalkan sekali. Aku paling benci memberi jawaban untuk pertanyaan semacam ini. Seakan membongkar aib yang seharusnya tersimpan rapi.“Maikana, jawablah. Saya menunggu.”“Memangnya apa kepentingan anda terhadap saya. Terserah saya mau jawab apa nggak,” tukasku dengan geram. Apa-apaan dia? Dia kira siapa merasa punya hak memaksa orang?“Baiklah. Kalau kamu nggak mau jawab. Saya tahu kok jawabannya.” Dia menyengir menjengkelkan membuatku refleks menoleh padanya.“Apa maksud Anda?!”Dia terkekeh menampakan deretan giginya yang rata. Namun sebelum dia merespon terdengar
“Sepertinya bekas lukanya nggak terlihat lagi.”Matanya yang besar berubah seperti bulan sabit ketika mengamati pelipisku. Maksudku dia mengamati bekas luka sewaktu aku membenturkan kepala di rumahnya. Ah, menyebalkan kenapa dia masih saja ingat. Bukankah sangat memalukan? Apa mau dikata, sudah terlanjur.Setelah menghabiskan menu yang mungkin bisa dibilang makan malam, kami beranjak. Sekaleng minuman soda dingin dia lemparkan padaku dari jarak dekat yang mendarat mulus dalam genggamanku. Di ikuti tawanya yang berderai sebelum dia mendorong pintu kedai. Lalu kami keluar dengan langkah yang berjauhan. Aku sengaja berjalan cepat-cepat. Tak sudi beriringan dengannya. “Ternyata konsentrasi kamu masih bagus. Buktinya kamu sigap dengan gerakan tak terduga.”Senyumnya melebar. Aku tak menimpali hanya menyengir sepintas. “Besok saya hubungi kamu kalau mobil kamu sudah selesai diperbaiki. Euh. Tapi saya nggak punya nomor kontak yang sekiranya bisa dihubungi.”Dia mendongak ke atas menghentika
"Tak butuh waktu lama untuk bisa mencintai. Tapi mengapa butuh waktu yang begitu panjang untuk bisa melupakan."____Pulang dari butik Dani sudah cukup malam. Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Tiba di dua persimpangan gagasan tak terduga muncul di kepala. Bagaimana jika aku memilih jalan memotong saja yang berarti melewati jalan pintas tepat di sebelah kompleks rumahku. Sepertinya itu ide bagus lumayan menghemat waktu. Nasib baik masih ramai. Sebenarnya daerah yang kulalui ini cukup aman. Belum pernah ada kejadian pembegalan atau semacamnya. Aku tidak perlu takut.Mendekati kompleks aku menurunkan kecepatan. Menatap dengan sedih deretan rumah yang pernah kami tinggali. Lampu-lampu taman di sepanjang lorong berjajar rapi. Dulu kami sering duduk-duduk di taman kecil depan rumah dengan kolom ikan di tengahnya. Sembari menikmati angin malam dan menatap bentangan langit. Saat santai seperti itu kami manfaatkan untuk saling bertukar cerita. Sampai larut malam atau sampai aku terti
Apa yang telah kulakukan. Betapa aku sangat egois. Merampas seluruh kebahagiannya lalu muncul kembali berharap dia bersedia memperbaiki apa yang telah aku porak porandakan. Membuatku mendadak tersenyum sinis. Mencibir kepengecutanku. Dengan kedua tanganku kucengkeram kuat-kuat sisi kepala. Andai semua bisa kembali seperti sedia kala dengan memecahkan kepala, kupikir aku tak keberatan untuk melakukannya.Namun, sekeras apapun aku berteriak, sesal tetaplah sesal yang hanya akan membeku dan menggantung di udara.Aku salah!Ya, aku salah. Aku tak keberatan mengakuinya. Menyangka ada kebahagiaan lain setelah kebahagiaan sejati yang diberikannya. Begitu mudahnya mata ini buta, betapa gampangnya hati ini merapuh. Hingga membiarkan apa yang pernah ada seakan tak pernah ada. Tuhan, aku pantas mendapatkan balasan ini. Atau bahkan lebih dari ini.Alisia, dadaku sesak menyebutkan nama itu. Hanya tiga bulan pertama dia menyulap kehancuranku sebagai sebuah kebenaran yang memang semestinya aku putusk