Setelah Juna hilang dari pandangan, mataku terfokus pada dua buku diary yang ada di atas meja. Tanganku pun mengambil. Ahh, aku tidak perlu membaca buku ini. Pasti isinya akan sangat menyakitkan untuk aku. Tetapi aku juga penasaran. Memangnya apa sih isinya, hingga Juna memaksaku untuk membacanya? Kalau tidak penting, Juna pasti tak akan membawanya ke sini. Aku pun mengambil. Lalu membawanya ke kamar. Setelah tiba di kamar, aku mengambil diary yang semua halaman dipenuhi tulisan. Aku membuka lembaran pertama. Hari ini seperti mimpi bagiku. Ya Allah, jika ini sebuah mimpi, segera bangunkan aku. Mimpi ini terlalu buruk. Aku tidak tahu jika lelaki yang dijodohkan denganku adalah Aksa, kekasih sahabatku. Bagaimana perasaan Utami jika tahu aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan sangat terluka. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut Utami membenciku. Di sahabatku satu-satunya. Aku tak ingin kehilangan Utami. Kalau Utami tahu tentang pernikahan ini, dia pasti akan sangat ma
Keesokan harinya, ternyata Juna menepati perkataannya, dia datang lagi di rumahku. Namun sekarang, aku tidak lagi marah-marah seperti kemarin. Saat asisten rumah mengetuk pintu kamar dan memberitahu Juna ada di bawah, aku langsung keluar, turun dari lantai dua kamarku. Juna tersenyum. Tetapi aku tak membalas senyum itu. Aku rasa tidak perlu ramah padanya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Juna dengan wajah yang ceria. "Apa saja yang kamu tahu tentang Delisia?" Aku pikir tidak penting menjawab pertanyaan Juna. Sekarang yang paling penting, aku harus tahu tentang Delisia. Juna pasti sudah mendengar semua ceritanya dari Aksa. "Dia perempuan baik. Banyak hal yang sudah dilakukan Delisia untuk menjaga perasaan kamu, Tam. Termasuk menghilang dari kehidupan kita semua. Sampai sekarang Aksa tidak tahu Delisia berada dimana. Kemarin Aksa juga tidak ikut wisuda karena pergi ke Rumah Delisia yang ada di kampung … Orang tua Delisia tidak mau memberitahu tempat tinggal Delisia sekarang.
***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Aku memasuki ruang inap dengan wajah kurang percaya diri. Ditemani oleh ibu dan ayah, kaki terus melangkah masuk. Orang-orang yang ada dalam ruangan ini menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Karena malu, aku langsung menundukkan kepala. Diantara mereka semua, siapa lelaki yang akan menikah denganku? Benak terus bertanya. Sesekali aku mengangkat kepala. Ada rasa penasaran, ingin tahu tentang sosok lelaki itu. Saat kaki terus melangkah, mataku terfokus pada lelaki yang sedari tadi membelakangiku. Lelaki itu tetap menghadap ke ranjang rumah sakit, yang diatasnya sedang ada pria tua dengan tangan diinfus. Diantara semua orang, hanya dia yang tidak melihatku. Mungkinkah dia, orang yang akan dinikahkan denganku? Mungkinkah lelaki itu sudah mengenalku, sehingga dia mau menerima perjodohan ini? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. "Mari, Pak! Kita mulai!" ucap lelaki yang berdiri dekat meja yang sangat sakral bagiku. Mata lelaki itu melihat dua pegawai KUA yang sedang duduk di kursi sof
“Kenapa dari tadi hanya diam? Salim dulu dong dengan suamimu.” Lagi-lagi, ibu mengeluarkan suara sambil melepas pelukan dan menatapku dengan raut wajah bahagia. Aku langsung menunduk, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Menyalim tangan Aksa, itu tidak mungkin. Ya Allah, tolong aku! Bisakah detik jam kembali? Aku ingin menolak pernikahan ini. “Jangan malu-malu, Nak! Sekarang Aksa sudah sah menjadi suamimu!” ucap ayah sambil mengusap puncak kepalaku. Perlahan-lahan, aku menolehkan kepala. Aksa masih menatap kosong ke meja. Dia sudah menandatangani berkas-berkas pernikahan. “Aksa, ulurkan tanganmu. Lihat Delisia, dia ingin menyalim. Kalian berdua sudah sah menjadi suami istri. Jadi tidak usah malu-malu,” tutur lelaki yang saat ini sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Suara seraknya membuat Aksa melihatku. Aksa menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Aku belum pernah melihat Aksa sedingin ini. Tiba-tiba aku menyadari, sebulan terakhir sebelum pernihakan hari ini terjad
Aku tetap melangkah, meskipun kini sudah tidak beriringan lagi dengan Aksa. Saat tiba di mobil, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena duduk bersampingan dengan Aksa. Dia sedang sibuk dengan handphone di tangannya, tidak peduli dengan keberadaanku. Beberapa menit dalam perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan. Aku dan Aksa masih diam. Aku merasa bingung, melihat sikap Aksa yang berbeda. Apa kalimat yang akan aku katakan padanya? Haruskah menyapanya? Tetapi kata menyapa yang seperti apa, untuk orang yang berpura-pura tidak mengenal seperti ini? Aksa yang aku kenal selama kuliah tidak begini. Meskipun bukan tipe lelaki yang tidak suka bercerita, dia cukup ramah. Tanganku kembali berkeringat. Aksa belum juga berbicara. Aku coba memberanikan diri, menoleh untuk melihat Aksa yang menatap lurus ke depan. Bibirku bergerak untuk berkata, "aku tidak tahu, jika yang dijodohkan denganku adalah kamu." Beberapa menit menunggu, Aksa masih memandang ke depan tanpa berucap. Dia seakan tidak