***Hari ini, aku akan menjalani pernikahan. Bukan dengan Aksa, tetapi bersama Juna. Ahh, aku akhirnya menerima Juna setelah melihat perjuangannya selama setahun ini. Sebenarnya aku belum terlalu mencintainya, tetapi aku ingin membuka hati untuknya. Juna tidak ingin jika kami pacaran. Akhirnya keputusan ini lah yang aku ambil. Menikah dengannya! "Tam, kamu belum selesai di make-up?" Aku kembali mendengar suara mama. Sudah terhitung tiga kali mama masuk ke kamar ini hanya untuk menanyakan tentang kesiapan.Aku tak perlu menjawab. Mama pasti bisa melihat sendiri, apa aku sudah selesai dimake-up atau belum."Mba, tolong cepat-cepat ya. Acaranya tidak lama lagi akan di mulai," ujar mama pada MUA yang sedang memberi hiasan di atas kepalaku."Mama, jangan disuruh cepat-cepat. Nanti jadinya jelek." Aku berkata dengan suara manja. Mama pun keluar tanpa menggubris ucapanku. Iya sih, acaranya tidak lama lagi akan di mulai, tetapi aku tidak suka di suruh cepat-cepat. Takut hasilnya tidak memua
Kamu dimana, Delisia. Harusnya kamu ada disampingku hari ini. Aku rindu kamu. Batinku berbicara. Pikiranku masih saja terfokus pada Delisia. Aku kini dihantui perasaan bersalah kepadanya. Aku tidak sepenuhnya merasa bahagia hari ini. Meskipun kini di depanku, seorang lelaki baik sudah memasang cincin di jari manisku. Tetapi ternyata tidak adanya Delisia membuat pernikahanku terasa sepi. Jika saja Delisia ada di sini, aku pasti sangat bahagia. Aku tidak mengundang Tari dan kawan-kawannya. Sedang malas saja menjawab ribuan pertanyaan yang sebenarnya tidak enak didengar telinga. Selama menjauhi Delisia dan berteman dengan Tari, aku tidak benar-benar senang. Bagaimana tidak, setiap saat aku harus mendengar Tari dan gengnya menjelek-jelekan orang. Benar kata Juna, perempuan baik yang layak dijadikan sahabat hanyalah tipe perempuan seperti Delisia. Dia, si perempuan yang tulus berteman denganku dan selalu menegur ketika aku melakukan sesuatu yang salah. "Selamat, Bro. Aku sebenarnya kec
*** "Ternyata hidup selucu ini. Aku tidak pernah menyangka jika Juna akan menikah dengan Utami. Sungguh kejutan, bukan."A ku tersenyum dan berkata lirih dalam mobil. Saat ini aku sedang mengendara menuju restoran milikku. Aku baru saja pulang dari acara pernikahan Juna dan Utami. Tadi mereka terlihat sangat bahagia. Syukurlah Utami sudah melupakanku. Aku senang Juna menikah dengan Utami. Walau bagaimanapun Utami perempuan baik. Dia layak mendapatkan lelaki yang juga baik. Aku rasa Utami pantas mendapatkan lelaki seperti Juna. Aku dan Juna sudah malam bersahabat. Aku tahu bagaimana dia. Yang tidak pantas itu, kalau Utami menikah dengan Rian. Bisa hancur dunia ini. Rian memang baik. Namun, terkadang tingkah konyol dan mulut beracunnya, membuat orang yang berhadapan dengannya kecewa. "Kamu sekarang dimana, Delisia? Sudah satu tahun aku mencarimu. Sudah setahun pula aku tidak mendengar kabarmu. Kamu baik-baik saja kan di sana?" Ketika mengingat Delisia, wajah pasti akan berubah send
Aku memasuki ruang inap dengan wajah kurang percaya diri. Ditemani oleh ibu dan ayah, kaki terus melangkah masuk. Orang-orang yang ada dalam ruangan ini menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Karena malu, aku langsung menundukkan kepala. Diantara mereka semua, siapa lelaki yang akan menikah denganku? Benak terus bertanya. Sesekali aku mengangkat kepala. Ada rasa penasaran, ingin tahu tentang sosok lelaki itu. Saat kaki terus melangkah, mataku terfokus pada lelaki yang sedari tadi membelakangiku. Lelaki itu tetap menghadap ke ranjang rumah sakit, yang diatasnya sedang ada pria tua dengan tangan diinfus. Diantara semua orang, hanya dia yang tidak melihatku. Mungkinkah dia, orang yang akan dinikahkan denganku? Mungkinkah lelaki itu sudah mengenalku, sehingga dia mau menerima perjodohan ini? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. "Mari, Pak! Kita mulai!" ucap lelaki yang berdiri dekat meja yang sangat sakral bagiku. Mata lelaki itu melihat dua pegawai KUA yang sedang duduk di kursi sof
“Kenapa dari tadi hanya diam? Salim dulu dong dengan suamimu.” Lagi-lagi, ibu mengeluarkan suara sambil melepas pelukan dan menatapku dengan raut wajah bahagia. Aku langsung menunduk, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Menyalim tangan Aksa, itu tidak mungkin. Ya Allah, tolong aku! Bisakah detik jam kembali? Aku ingin menolak pernikahan ini. “Jangan malu-malu, Nak! Sekarang Aksa sudah sah menjadi suamimu!” ucap ayah sambil mengusap puncak kepalaku. Perlahan-lahan, aku menolehkan kepala. Aksa masih menatap kosong ke meja. Dia sudah menandatangani berkas-berkas pernikahan. “Aksa, ulurkan tanganmu. Lihat Delisia, dia ingin menyalim. Kalian berdua sudah sah menjadi suami istri. Jadi tidak usah malu-malu,” tutur lelaki yang saat ini sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Suara seraknya membuat Aksa melihatku. Aksa menatapku dengan sorot mata yang sangat tajam. Aku belum pernah melihat Aksa sedingin ini. Tiba-tiba aku menyadari, sebulan terakhir sebelum pernihakan hari ini terjad
Aku tetap melangkah, meskipun kini sudah tidak beriringan lagi dengan Aksa. Saat tiba di mobil, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena duduk bersampingan dengan Aksa. Dia sedang sibuk dengan handphone di tangannya, tidak peduli dengan keberadaanku. Beberapa menit dalam perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan. Aku dan Aksa masih diam. Aku merasa bingung, melihat sikap Aksa yang berbeda. Apa kalimat yang akan aku katakan padanya? Haruskah menyapanya? Tetapi kata menyapa yang seperti apa, untuk orang yang berpura-pura tidak mengenal seperti ini? Aksa yang aku kenal selama kuliah tidak begini. Meskipun bukan tipe lelaki yang tidak suka bercerita, dia cukup ramah. Tanganku kembali berkeringat. Aksa belum juga berbicara. Aku coba memberanikan diri, menoleh untuk melihat Aksa yang menatap lurus ke depan. Bibirku bergerak untuk berkata, "aku tidak tahu, jika yang dijodohkan denganku adalah kamu." Beberapa menit menunggu, Aksa masih memandang ke depan tanpa berucap. Dia seakan tidak
Aku melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang bertengger, membebaskan rambut dari hijab yang menutupi, membuka pengikat dan membiarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Aku ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari menjadi seorang istri, aku sudah dikagetkan dengan kontrak pernikahan yang dibuat oleh Aksa. “Aku tahu, pernikahan ini harusnya tidak terjadi. Kamu adalah kekasih sahabatku. Pasti berat untuk kamu, mengucap ijab kabul tadi. Tetapi, aku juga tidak bisa melakukan apapun. Semua ini sudah terjadi,” lirihku sambil melihat pantulan diri di depan cermin. Napas mulai terasa berat, mata pun berkaca. Sebentar lagi akan ada rintik bening jatuh dari kelopak, aku tidak bisa mencegah. Tangan memukul-mukul dada, berusaha agar tidak terisak. "Mengapa ini harus terjadi padaku? Bagaimana kalau Utami tahu, aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan marah padaku. Padahal selama ini hanya dia yang mau
“Iya, Tam. Aku dengar. Besok aku nggak bisa. Nanti saja ya,” ujarku dengan lembut. Tangan sudah berhenti menyuap nasi ke dalam mulut. Rasanya, masakan ini tidak enak lagi dilidah. “Yaaa, gimana dong. Aku pergi ke Mall dengan siapa kalau gitu. Ayolah, Del! Mau ya temani aku. Kalau kamu punya kerjaan, nanti aku bantu kerjain. Mau yaaa!” Suara Utami nampak sedih. Aku kembali terdiam beberapa detik untuk berpikir. Tidak ingin membuat Utami terus merayu, bibir pun kembali berbicara, “baiklah, besok kita ketemuan di kampus.” “Yeee, akhirnya. Ehh tapi, besok kan tanggal merah, Del. Kamu mau ngapain di kampus?” tanya Utami. Tidak mungkin aku mengatakan sejujurnya pada Utami, kalau aku tidak lagi tinggal di kosan. Pikiran berusaha mencari ide. Alasan apa yang akan aku buat. Selama ini aku belum pernah berbohong, karena tidak terbiasa. “Sengaja, aku ingin tunggu kamu di kampus saja. Kasian kamu, kalau harus menjemput di Kosan. Jarak dari rumah kamu ke kosanku jauh, Utami. Aku tidak tega,”