“Syukurlah, Nak. Ibu senang dengarnya. Kalau kamu bahagia seperti ini, ibu juga bahagia. Kemarin ibu bilang ke ayahmu, bagaimana kalau kamu tidak suka dengan anak Pak Candra? Tetapi, ayahmu selalu meyakinkan ibu, kalau Pak Candra itu baik, pasti anaknya juga baik … Ibu masih tidak menyangka, sekarang kamu sudah menikah. Kalau ada apa-apa, kamu harus tetap hubungi ibu dan ayah. Dan kalau ada waktu libur, kamu harus pulang ke kampung. Ayah dan ibu pasti rindu.”
“Iya, Bu. Itu pasti.”
“Kalau begitu, sudah dulu ya. Ibu sudah mengantuk. Mau tidur. Kamu jaga kesehatan. Jangan lupa, surga istri itu ada di suami. Jangan buat suamimu murka, kalau kamu punya salah harus cepat minta maaf. Bahkan, kalau kamu tidak merasa salah, tetapi suamimu marah, kamu juga harus minta maaf. Jadi istri yang patuh dan layani suamimu dengan baik. Ibu tidur dulu, nanti lagi kita telponan. Okey, Delisa, anak kesayangan ibu.”
“Iya, Bu.”
Satu kata cukup untuk ibu tahu jika aku menyetujui ucapannya. Nasehat yang sangat menyentuh dari ibu, membuat aku merenung. Jika saja pernikahan sesuai dengan keinginan pasangan, mungkin mudah untuk mengamalkan nasehat itu. Tetapi, untuk suami istri yang menikah tanpa dasar cinta. Apa itu bisa dilakukan? Rasanya sangat berat.
Aku tahu, Aksa tidak mencintaiku. Dia hanya mencintai Utami. Aku pun sama dengannya, meskipun sudah lama kenal, tidak sedikitpun terbesit perasaan untuk mencintai Aksa. Karena dia kekasih sahabatku, status itu cukup jelas.
Aku adalah saksi hubungan antara Aksa dan Utami. Sejak Utami selalu menolak ucapan cinta dari Aksa, lelaki itu semakin semangat untuk mengejar. Utami yang sangat membenci Aksa perlahan luluh, rasa itu berubah menjadi cinta. Aku selalu menjadi pendengar setia ketika Utami mencurahkan isi hatinya.
Meskipun selalu terlontar nasehat dari bibirku, untuk tidak terbuai dengan ucapan lelaki sebelum halal, Utami tidak pernah mendengar. Cintanya pada Aksa yang terlalu besar, sudah menutup pintu nasehat baik dariku.
“Tidak ada yang salah dari hubungan ini. Jika ada yang ingin disalahkan mungkin orangnya adalah aku. Kalau tahu yang dijodohkan denganku adalah Aksa. Aku pasti menolak perjodohan dan pernikahan ini tidak akan terjadi. Sebab aku tahu, dia tidak akan pernah mencintaiku,” lirihku sambil melihat langit-langit kamar. Saat ini aku sedang berbaring di kasur. Menjadikan tangan sebagai bantalan.
“Bagaiman jika nanti aku yang jatuh cinta pada Aksa? Dalam hidup ini, tidak ada yang pernah tahu, siapa yang akan di cinta saat hari esok. Kami sekarang tinggal bersama dan cinta itu hadir karena terbiasa.” Setelah berkata lirih, perlahan aku menutup mata.
Menikmati angin yang menembus kulit. AC kamar sengaja aku matikan dan jendela kamar sengaja di biarkan terbuka. Aku belum terbiasa tidur menggunakan AC.
Jika mengingat Aksa, air mata kembali berderai. Aku tidak ingin menghapus, biarkan saja berderai. Kalau tidak menangis, rasanya terlalu sakit. Tidak mengapa, karena salah satu kebesaran Tuhan adalah menangis saat bersedih.
“Tetapi, kalau Utami tahu sekarang aku sudah sah menjadi istri Aksa, dia pasti akan sangat merasakan sakit. Kekasihnya menikah dengan aku, perempuan yang menjadi sahabatnya. Aku juga yakin, dia akan sangat membenciku. Bagaimana caranya aku menjelaskan, jika ini bukan salahku. Bukan keinginanku menikah dengan Aksa. Aku sungguh tidak ingin menjadi perusak hubungan mereka.” Bibir kembali bersuara, mengeluarkan keluh dalam dada.
Handphone bergetar, pertanda sebuah pesan masuk.
‘jangan lupa besok ya. Aku juga ingin cerita banyak tentang Aksa. Selamat tidur, Delisia.’
Aku hanya membaca pesan itu. Lalu kembali menaruh handphone di tempat tidur. Memaksa diri untuk terlelap meskipun pikiran masih berkecamuk. Hatiku terasa sangat sakit.
Detik jam terus berputar, bulan telah bersembunyi dibalik bumi. Matahari tanpa malu memperlihatkan cahaya. Kini aku dan Utami sedang berada di Mall. Sebenarnya aku sudah sedikit lelah, dari tadi keliling-keliling mencari baju, tetapi Utami belum juga menjatuhkan pilihan. Aku sudah tahu sejak awal, resiko menemani Utami belanja adalah begini, sangat jarang cepat pulang. Dia biasa mencari baju berjam-jam. Memasuki toko yang sama sampai dua tiga kali, lalu keluar lagi tanpa menjatuhkan pilihan ke satu pun baju. Lelahnya kaki, tidak membuat bibir mengeluh. Takut Utami akan menganggap, aku tidak ikhlas menemani. Padahal, aku sungguh ikhlas. Tetapi harusnya dia mengerti jika orang yang menemaninya juga butuh mengistrahatkan kaki. “Del, ini bagus nggak?” tanya Utami, sambil memegang baju. “Bagus!” ujarku sambil tersenyum. “Kayaknya nggak, deh. Aku sudah punya baju yang mirip dengan baju ini.” Utami berkata lalu menaruh baju di tangannya ke tempat asalnya. “Kalau gitu kita cari di tempat
Aku sangat kaget. Jadi, semalam Aksa tidak pulang ke rumah. Aku pikir dia sudah pulang saat larut malam, sengaja pulang larut karena tidak ingin bertemu denganku. Ternyata dugaanku salah. Mungkin dia nginap di apartemen karena dia tidak ingin bertemu denganku. “Tapi kamu jangan berpikiran macam-macam ya. Kami itu tidur di kamar berbeda. Kebetulan di Apartemen Aksa ada dua kamar. Jadi aku bisa tidur di kamar yang satunya. Lagi pula Aksa bukan lelaki yang begitu kok,” ujar Utami setelah menelan makanan dalam mulut, “Del, tumben kamu tidak menyuruhku untuk berhenti pacaran. Biasanya setiap hari looo, kamu berisik ngelarang aku pacaran dan berdua-duaan dengan Aksa.” Ternyata Utami menyadari satu kebiasaan yang sudah aku hentikan. Bibir membentuk garis senyum. “Kamu sudah besar, Utami. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kalau menurutmu berpacaran itu baik, ya silahkan. Aku tidak bisa ngelarang kamu terus,” tuturku dengan lembut. “Akhirnyaaa, sahabatku sadar. Asal tidak
*** Sudah tiga hari aku berada di rumah megah ini. Tetapi, belum pernah bertemu dengan Aksa. Apa dia sangat benci denganku, sampai melihat wajahku pun dia tak ingin? Mungkinkah dia mengira jika pernikahan ini terjadi karena keinginan orangtuaku? Ah, tidak boleh berpikir begitu. Semua ini terjadi, karena Aksa belum terbiasa dengan kehadiranku. Aku masih berada di balkon kamar. Menatap halaman luas di dekat kolam renang. Aku mengagumi desain rumah ini. Terlihat elegan dan indah di pandang.Tepat di taman yang terdapat banyak bunga, ada seorang asisten rumah yang sedang menyiram tanaman. Mungkin dia bertugas untuk menyiram tanaman setiap pagi karena sudah tiga hari aku melihatnya melakukan aktivitas itu. Tok! Tok! “Non Delisia!” Aku langsung berdiri ketika mendengar suara memanggil. Saat membuka pintu, terlihat seorang asisten sedang berdiri sambil tersenyum. “Ini apa, Bi? Kenapa repot-repot di bawa ke sini. Aku kan bisa turun cari makan sendiri,” tuturku. Lalu mengambil makanan yang
Terdengar napas berat ibu di telingaku. Alisku pun mengerut. “Alhamdulillah, sayang. Beberapa hari ini, ibu hanya pikirkan kamu. Takut pilihan ayah dan ibu itu salah. Ibu senang dengar kamu sangat bahagia sekarang. Ibu terharu, Nak. Semoga pernikahan kamu langgeng sampai maut memisahkan. Jangan lupa, cepat kasih ibu cucu-cucu yang menggemaskan.” “Aamiin. Oh iya, Bu. Teleponnya aku matikan dulu ya. Soalnya Aku mau keluar. Nanti kita lanjutkan lagi ya,” ujarku dengan nada bicara yang tenang. Sungguh, kini air mata sudah berkumpul dikelopak. Sebentar lagi akan jatuh. Aku tidak ingin ibu mendengar suara yang serak. Setelah mendapatkan persetujuan dari ibu, aku langsung mematikan telepon. Kedua tangan menutup wajah yang menangis tersedu. Dada sangat sesak menahan sakit. Sampai kapan aku terus berbohong? Mustahil aku bisa jujur ke ibu, jika Aksa tidak memperlakukan aku istimewa dan dia sangat membenciku karena perjodohan ini. Sesekali aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menarik
“Ayah senang kamu bisa meniru sifat ayah ke ibumu. Jadi suami itu harus baik pada istri. Karena, jika perasaan istri terluka sedikit saja, hidupmu tidak akan tenang. Rezeki itu tergantung ridho istrimu. Kalau istrimu selalu bahagia dan merasa senang, maka kamu akan mudah menjalani hidup. Kamu harus dengar baik-baik semua nasehat ayah. Tapi, jangan hanya di dengar, kamu juga harus lakukan,” ucap Pak Candra dengan senyum diwajahnya. Aku melihat wajah Aksa. Dia nampak biasa saja. Aku sangat merasa canggung berada di antara mereka. Aksa yang aku kenal, namun seperti orang asing saat ini. Sedangkan Pak Candra, aku belum terlalu mengenalnya. Aku tidak bisa menjadi perempuan yang sok akrab. Sangat sulit buatku bisa dekat dengan orang yang baru. Apalagi harus berbicara basa-basi. Dalam pikiran, aku membayangkan jika lawan bicaraku tidak suka dengan topik pembahasan yang sedang aku ucapkan. Rasanya itu sunggu memalukan dan tidak enak di hati. Ya, aku adalah tipe perempuan yang tidak enakan.
Kakiku masih terus melangkah. Pikiran menyuruh untuk pulang sendiri. Tetapi, hati ingin sekali berbicara berdua dengan Aksa. Saat tiba di lobby rumah sakit, aku kaget karena melihat Aksa yang sedang berdiri. Dia seperti sedang menunggu seseorang. Apakah Aksa menungguku? Oh itu tidak mungkin. Tetapi, siapa yang dia tunggu? Aku melangkah dengan pelan. Kini jarak antara aku dan Aksa sudah tidak terlalu jauh. Tidak lama kemudian mataku terbelalak dan langkahku terhenti melihat perempuan yang menghampiri Aksa. Siapa lagi kalau bukan Utami. Sahabatku itu sekarang sedang bergelayut manja di lengan Aksa. Aku ternyata salah. Alasan Aksa ingin cepat pergi dari ruang inap tadi, bukan karena tidak ingin terlalu lama dekat denganku. Ada alasan yang lebih penting baginya. Harusnya aku tahu dan bisa menebak, jika Aksa ingin bertemu Utami. “Delisia, kok kamu ada di sini?” ujar Utami saat berbalik dan mendapati aku ada dibelakang dia dan Aksa. Aku melirik Aksa. Lelaki itu membuang muka. Dia sepert
Bus terus melaju. Aku memandang keluar jendela. Ingatan tidak bisa secepat itu lupa dengan pesan yang dikirimkan Aksa. Kenapa lelaki itu harus marah. Padahal kan Utami tidak sadar dengan lirikanku. Bisa saja Utami berpikir kalau aku sengaja melihat Aksa karena memang ada Aksa di sampingnya. Bukan lirikan yang aneh-aneh. Ada getaran dalam tas kecil yang aku bawa. Tanganku langsung mengambil. Di layar tertulis nama ibu. Tanpa menunggu lama, aku pun mengangkat “Assalamualaikum, Bu,” ujarku sambil menatap keluar jendela. “Waalaikumsalam, sayang. Kamu sudah makan?” “Belum, Bu. Ini aku lagi di bus. Baru saja pulang dari rumah sakit.” “Kalau begitu nanti jika kamu sudah tiba di rumah baru ibu telepon lagi. Ada yang ingin ibu bicarakan dengan kamu.” “Iya, Bu. Kalau sudah tiba, aku akan menghubungi ibu.” "Assalamualaikum." ucap ibu untuk mengakhiri panggilan. Setelah aku menjawab salam, ibu langsung mematikan panggilan. Kalau begini ceritanya, aku harus segera pulang. Aku tidak ingin,
Aksa tidak menjawab pertanyaanku. Entahlah, mungkin dia sedang mengingat-ngingat seperti apa kalimat yang diucapkan Utami saat bersamanya tadi. “Utami ngomong apa tadi ke kamu? Letak salahnya aku di mana?” Aku kembali bertanya, setelah beberapa detik Aksa belum juga menjawab pertanyaanku. Tanpa berkata apapun, Aksa langsung keluar dari kamarku. Mataku terus menatapnya saat melangkah. Hingga saat pintu kamar di tutup dari luar, aku langsung menutup mata. Menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan. Aku ulangi aktivitas itu tiga kali. “Ya Allah, kenapa aku yang harus disalahkan? Benarkan aku yang salah?” lirihku, sambil membiarkan butir air bening jatuh dari kelopak mata. "Kenapa Aksa tidak menyalahkan Utami karena mempertanyakan hal-hal konyol? Paling nggak, Aksa bilang ke Utami kalau tidak ada yang salah dengan lirikanku." lama merenung, benda pipih yang ada di atas kasur menyadarkan aku. Tanpa melihat, aku sudah tahu siapa yang menelepon. Aku langsung mengangkat, tidak ingin ibu