"Hancur? Dewa bersama keluarganya hancur?" gumamku sambil memandangi punggung lelaki tadi yang tengah berjalan."Hei, tunggu!" teriakku pada lelaki tersebut.Lelaki itu perlahan menghentikan langkahnya dan kembali menghampiriku. "Ada apa?""Kita kenalan dulu. Namaku Furi, istri sementaranya Dewa." Kuulurkan tanganku padanya."Jems!" Dia membalas tanganku. "Ada perlu apa?""Aku gak mau mencampuri urusanmu, tapi aku cuma mau tau kenapa kamu seperti dendam sama keluarganya Dewa? Tenang, aku gak akan bocorkan karena aku juga jadi bagian dari keluarga mereka cuma sementara." Aku sengaja berpura-pura agar bisa mengorek sedikit informasi."Gak penting kamu tau semuanya. Toh, gak ada hubungannya sama kamu. Aku cuma mau balaskan rasa sakit hati keluargaku sama papinya Dewa. Ya, meskipun harus mengorbankan tunanganku sendiri."Aku tercekat. Tunangan? Jadi, Nindi itu tunangan lelaki ini? Ya Tuhan, ini benar-benar tidak masuk akal."Terus, kenapa Nindi mau?" "Ya, demi uang. Kalau dia bisa takluk
"Kamu benar-benar gila, Nindi. Yang licik itu sebenarnya kamu. Kamu sengaja dekatin Dewa untuk menjalankan misimu dan tunanganmu, kan? Kamu sama Dewa itu bukan atas dasar cinta," lanjutku sangat geram."Furi! Tutup mulutmu!" teriak Dewa seolah lebih membela Nindi."Tunangan? Kamu tadi bilang tunangan?" lanjut Dewa terlihat kaget."Sayang, apa maksudnya? Apa benar yang dibilang Furi?" Mata Dewa seketika mengarah pada Nindi."Jangan percaya sama dia, Sayang. Itu fitnah. Dia sengaja memfitnah aku demi dapatin kamu." Nindi makin menempel di lengan Dewa.Aku hanya menyeringai. Mentertawakan kebodohan lelaki yang telah menghalalkanku. Bisa-bisanya dia terperangkap dalam permainan Nindi.Karena keadaan yang tak kunjung kondusif, Nindi langsung menyambar tasnya yang tergeletak di ranjang. Dia juga langsung mengenakan high heel-nya dan keluar kamar begitu saja dan menyenggolku dengan sengaja.Setelah Nindi pergi, Dewa kembali duduk di ujung ranjang. Tangannya berkali-kali meremas rambut cepakn
"Kenapa? Kamu penasaran? Apa pun yang aku bilang, pasti kamu gak akan percaya," jawabku sambil fokus memasukkan pakaian ke dalam koper. Setelah semuanya beres, aku beranjak ke tempat tidur dan duduk di tepi. Kulihat Dewa masih mengemasi barang-barangnya.Kemudian, Dewa menyusulku. Dia duduk tepat di samping dengan tatapan yang entah. Sepertinya dia masih memikirkan apa yang kukatakan barusan."Sejauh apa kamu tau soal Nindi?" Dewa sedikit merapatkan posisi duduknya.Aku tak menjawab pertanyaannya. Kejadian tadi masih membekas di ingatan. Semakin kuingat, semakin sakit yang kurasakan. Seketika penyesalan melintas di pikiran. Seandainya kutahu akan seperti ini, lebih baik tak melihatnya. Dadaku mendadak terasa sesak.Bayangan Mami dan Papi pun seketika menyeruak di benak. Aku tak bisa membayangkan jika hubunganku dengan Dewa harus berhenti di tengah jalan, tapi jika tetap kulanjutkan pernikahan ini, dirikulah yang semakin tersiksa. Ya Tuhan, kenapa jadi seruwet ini?"Jawab pertanyaanku,
Dewa masih memelototi ponsel dengan kata-kata yang tidak terlalu jelas kudengar. Ocehannya itu persis seperti orang yang sedang mengomel."Ayo, angkat teleponku Nindi! Kamu ke mana aja jam segini?" racaunya yang sempat terdengar di telingaku.Kemudian, Dewa melirik pada benda yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ah, mungkin dia udah tidur. Atau dia marah sama aku gara-gara kejadian tadi?" Spontan Dewa mengacak rambutnya sangat kasar.Setelah itu, aku menarik selimut dan berusaha memejamkan mata karena esok aku tak boleh terlambat bangun.***Setelah membereskan kamar, aku keluar membawa barang-barang. Kemudian, berpamitan pada owner juga karyawan resort. Mereka tampak heran dengan kepulangan kami yang terkesan mendadak. Ya, masa liburanku dengan Dewa seharusnya masih seminggu lagi. Namun, karena kejadian menjijikkan kemarin yang membuatku tak tahan berlama-lama di sini.""Maaf, Pak, kami mendadak ada urusan penting," ucapku beralasan."Benar tidak ada sesuatu, kan, Nyonya?" balas
Selepas Gali dan calon istrinya pergi, Dewa langsung mencecarku. "Kamu tadi nyindir aku, ya?" Dia spontan menghempaskan bokong di kursi ruang tunggu."Kamu tersinggung?" balasku seraya ikut duduk di sampingnya."Udahlah, gak usah berdebat. Gak enak diliat orang," lanjutku sambil memasang syal."Kamu itu emang nyebelin." Dewa justru menarik syalku dan mengikat ke leherku."Eh, eh. Kamu mau bunuh aku, ya?" Namun, dia justru terkekeh. Hatiku seketika merasakan debar yang tak biasa. Semenjak di resort kemarin, Dewa selalu ingin menghabiskan waktu dengan Nindi. Sekarang dia berada di dekatku dan sudah mau bercanda. Sayangnya, potongan adegan ketika bersama Nindi melintas di pikiran. Perasaanku seketika ambyar. Entah kenapa jika mengingat kejadian itu hatiku masih merasakan sakit, bahkan melupakannya saja sangat sulit."Kamu kenapa?" Dewa memandangku lekat.Aku menggeleng. "Kamu gak ngerasa curiga sama Nindi, ya?" Segera kualihkan obrolan."Emang kenapa?""Gak ada. Cuma aku ngerasa ada yan
"Astaga! Dewa harus tau masalah ini." Aku spontan bergegas pergi.Namun, Mami langsung mencekal tanganku. "Jangan kasih tau Dewa dulu.""Tapi, kenapa, Mi?" jawabku pelan sambil membalikkan badan.Mataku mengitari sekitar, ternyata Dewa sudah tidak ada, entah ke mana dia pergi. Sepertinya dia ke kamar karena sempat kulihat tadi Mang Dikin membawa masuk koper kami."Kenapa Dewa gak boleh tau soal ini, Mi?" Ulangku sekali lagi.Sejenak Mami tampak menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Mami gak mau dia tersangkut masalah ini. Dia itu aparat yang instansinya punya aturan ketat. Kalau Dewa tau, pasti dia bakal cari tau dan Mami takut dia main hakim sendiri. Mami gak mau gara-gara kasus ini Dewa kena masalah. Jadi, biar orang-orang Papi yang selidiki."Aku seketika terdiam. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Mami, tapi sebagai anak Dewa harus mengetahui. Terlebih lagi jika semua ini ada kaitannya dengan wanita yang dicintainya."Please, jangan kasih tau Dewa." Kedua tangan Mami men
Aku tetap tak mau kalah. "Bisa aja, kan. Mereka sengaja sandiwara demi menguras hartamu. Cewek kayak Nindi mah yang ada di otaknya cuma duit aja. Gimana caranya dia bisa dapet duit banyak buat biaya perawatannya ke klinik kecantikan. Atau bisa juga Jems ada kepentingan lain yang memanfaatkan Nindi."Lelaki itu sejenak mengernyitkan kening. Kemudian, dia tampak menarik napas yang kuketahui dari dadanya yang mendadak bergerak naik turun."Aku udah tanyain, kok. Dia posting foto saudaranya yang tunangan, ya wajarlah sebagai ucapan selamat. Kamu aja yang kait-kaitkan sama Jems, mentang-mentang jamnya sama. Emang yang bisa beli jam kayak gitu cuma Jems? Jems itu jelas-jelas temen baiknya Nindi. Aku udah tau lama, kok. Mereka emang sering sama-sama, ya karena urusan job doang. Gak lebih." Derai tawa Dewa seketika menghiasi ruangan.Aku terdiam sejenak. Kemudian, kucerna baik-baik alasan Dewa. Jika masalah jam tangan memang masuk akal, bisa saja itu tangan lelaki lain. Tapi, yang jadi keganj
"Oh, biasa. Papi cuma kecapekan aja soalnya akhir-akhir ini sering banget lembur." Mami berusaha menjawab dengan tenang. Sepertinya agar Dewa tidak terlalu mengkhawatirkan Papi."Ya udah, Mami tunggu di ruang makan." Beliau pun membalikkan badan dan beranjak keluar kamar.Selepas Mami pergi, aku dan Dewa kembali berpandangan. Sontak lelaki di sampingku itu mendorong kakiku sangat kuat hingga aku meringis kesakitan."Sana, pergi. Jangan keenakan dipijitin. Ini cuma sandiwara!""Sakit tau!" Kumonyongkan bibir beberapa senti sembari mengelus betis kaki."Cengeng. Gitu aja masa sakit?" Dewa justru meledekku.Langsung kuambil kaki dan kulakukan hal yang serupa dengan apa yang Dewa lakukan padaku. Spontan dia nyengir kesakitan."Tuh, kan sakit?""Tadi aku gak terlalu keras dorongnya. Kamu sengaja pengen nyakitin aku, ya?" Dewa menatapku sinis sambil meringis memegangi kakinya.Aku sontak tertawa seraya meremehkannya. "Halah cemen. Tentara, kok, lemah."Dewa sontak berdiri dan berkacak pingg