Irish keluar dari kamar dan turun untuk menemui teman-temannya yang sudah menunggu di depan, ia akan pergi shoping lagi seperti biasanya, sejak menikah dengan Edo pekerjaan Irish hanyalah menghabiskan uang Edo saja, ia bahkan sama sekali tidak perduli dengan kehidupan yang ada di dalam rumah. Bagaimana mendekatkan diri pada Tasya dan Andika sebagai ibu sambung, dan tidak juga berusaha mendekatkan diri pada kedua mertuanya. Melihat Irish yang hendak pergi meninggalkan rumah, nyonya Andin pun menghentikan langkah kaki Irish, Irish merasa sedikit risih kala itu, tetapi ia tidak bisa pergi begitu saja dari ibu mertuanya. "Iya Bu, ada apa?" tanya Irish dengan tatapan malas. "Kamu mau ke mana lagi Irish? Bukannya kamu ingin menikah dengan Edo dulu karena kamu ingin menjadi istri yang baik dan istri yang berguna untuk suami? Lalu kenapa kamu justru pulang pergi sesuka hati kamu seperti ini!" marah nyonya Andin tidak suka dengan sikap menantunya kali ini. "Aduh, kenapa Ibu kuno banget si.
"Mas, kamu kenapa si kayak gini sama aku! Kamu pelit banget tahu nggak sama aku, aku minta uang 20 juta aja kamu nggak mau kasih," omel Irish saat suaminya itu baru saja pulang dari kantor. "Irish, kamu apa-apaan si, aku baru pulang loh, kok udah kamu semprot dengan kata-kata yang nggak ngenakin gitu," protes Edo yang merasa cukup lelah karena pekerjaan nya di kantor. "Ya ini karena kamu, untung aja di ATM aku masih ada uang, kalau nggak? Aku bisa malu Mas, aku bakal malu banget." suara Irish semakin meruncing. Edo menatap wajah Irish, sudah tidak ada lagi kesejukan ketika ia memperhatikan wajah istrinya itu. Karena Irish selalu marah-marah dan bermuka masam saat keinginannya tidak dituruti. Pertengkaran kecil pun terjadi, nyonya Andin dan tuan Bram yang sedang istirahat di kamar itu sayup-sayup mendengar suara berisik di ruang keluarga. Edo membalas kemarahan Irish dengan bentakan, karena ia merasa cukup lelah tetapi saat pulang hendak istirahat, ia justru di hadapkan dengan Iris
Irish menemui Edo yang sedang berdiri cukup lama di Koridor kamarnya, entah apa yang terjadi pada Edo akhir-akhir ini, ia tidak tahu karena hatinya begitu terasa hambar. Ia mengamati kisah pernikahannya dengan Chelsea dan juga Irish yang sangat berbanding terbalik itu. Rupanya akhir-akhir ini Edo sedang mengamati bagaimana sikap kedua wanita yang pernah menjadi pendampingnya itu dengan teliti. 'Selama ini Chelsea tidak pernah merepotkan aku, bahkan dia sangat tahu sekali bagaimana kewajiban sebagai seorang istri. Padahal aku tidak pernah menaruh harapan apapun, apalagi cinta. Tapi, saat aku menikah dengan Irish, wanita yang jelas-jelas aku cintai justru membuat aku sangat merasa pusing, bahkan dia tidak bisa mencuri hati anak-anakku dan tidak bisa berhubungan baik dengan keluargaku.' batin Edo yang merasa begitu sangat gelisah saat itu. Langkah kaki Irish semakin mendekat, bahkan saat itu Irish terlihat sudah berdiri di samping Edo yang masih melamun kan sesuatu, Irish menyadarkan E
"Maaf,""Untuk apa?" "Untuk mental mu yang rusak setelah menikah denganku, tapi kamu tahu sendiri kan, kalau aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan itu," "Ya, aku tahu, itu sudah konsekuensi ku, jadi jika kamu ingin meminta tips dariku, aku tidak bisa memberikan tips apa-apa."Chelsea bangkit lalu pergi meninggalkan Edo, ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama dengan Tasya dan juga Andika, karena Edo jarang-jarang sekali membawa mereka akhir-akhir ini. Setelah beberapa saat kemudian, karena sejak tadi hanya memperhatikan mereka dari kejauhan membuat Edo tidak puas, akhirnya Edo pun mendekati mereka untuk bergabung. Senyum Edo terlihat mengembang ketika menatap Tasya dan Andika tertawa bahagia. "Kalian sudah cukup puas bermain-main sama ibu kalian? Kalau sudah, yuk kita pulang, ini sudah hampir malam," ajak Edo pada kedua anaknya. "Yah, padahal kami masih ingin bermain-main sama Ibu dan juga Nenek, Ayah," ucap Tasya masih menggandeng tangan Tasya. "Masih ada hari
"Bu, sudah lah, jangan terlalu keras sama Irish. Dia tidak biasa melakukan ini, lagi pula ini sudah malam, nggak masalah rumah sedikit kotor karena tidak ada asisten rumah tangga," ucap Edo tidak tega dengan istrinya. "Ya nggak bisa dong Edo, rumah itu adalah tempat ternyaman untuk kita, jadi harus dalam keadaan bersih dan sehat, Ibu tidak setuju dengan kamu," celetuk nyonya Andin. "Ya tapi ini sudah hampir jam 21:00 malam Bu, sudah waktunya istirahat, besok lagi ya Bu." Edo berusaha merayu. Ia lalu menggandeng tangan Irish dan membawanya masuk ke kamar, meninggalkan nyonya Andin yang sedang memegang sapu, karena Edo lah yang menyerahkan sapu tersebut padanya. Tibanya di kamar Irish terlihat sangat marah, ia meng-hardik ibu mertua dengan sumpah serapahnya, karena telah berani memerintahkan dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. "Mas, pokoknya kamu harus bawa aku pergi dari rumah ini, aku udah nggak betah, Mas!" marah Irish menatap Edo dengan kesal
"Apa, kamu mau pindah dari sini? Nggak, nggak, nggak, Ibu tidak setuju!" tolak nyonya Andin marah. "Bu, ayolah... Aku cinta sama Irish Bu, aku pengen dia bahagia setelah menikah denganku," ucap Edo meminta pengertian pada ibunya. "Apa tidak ada cara lain Edo, Ibu tidak mau kehilangan kamu, harusnya kamu itu ajarin Irish dong, supaya dia bisa jadi istri yang baik, tidak membangkang dan tidak boros, dia harus tahu kalau dia itu harus menjaga sikap, bukan malah menuruti dia saat dia ingin pergi dari rumah ini. Ibu jadi nyesel tahu nggak pernah kasih lampu hijau ke kalian," celetuk nyonya Andin kesal. "Bu, aku datang ke sini untuk meminta izin, bukan untuk mendengarkan Ibu yang menjelek-jelekkan Irish, lagian mungkin Ibu dan Irish itu memang tidak cocok, sama-sama tidak mau disalahkan, jadi kalau tetap tinggal satu rumah akan terus menimbulkan konflik-konflik baru. Bu, Ibu tidak bisa menyamaratakan Irish dengan Chelsea, jika Chelsea dulu selalu patuh dan nurut, itu karena dia dalam wani
"Ayah hanya ingin mengajak Andika keluar sebentar, agar dia merasa sedikit terhibur, daripada di rumah, Ibu justru mengompori agar dia benci dengan ibu tirinya," celetuk tuan Bram yang sudah menggenggam pergelangan tangan Andika. "Ayah!" nyonya Andin terlihat sangat marah. Namun dengan cepat tuan Bram menghilang dari pandangannya, membawa Andika bersamanya, nafas nyonya Andin memburu saat itu, tetapi ia tidak bisa berkata apapun, karena saat itu tuan Bram dan Andika sudah tidak ada lagi di hadapannya. Di sebuah restoran, tuan Bram mengajak Andika duduk, sambil menunggu Chelsea yang belum ada tanda-tanda kemunculannya. "Kek, sebenarnya kita mau ngapain di sini?" tanya Andika. "Kita akan bertemu dengan ibu Chelsea. Kakek tadi sudah mengirimkan pesan, untuk mengajak ketemuan di sini," ucap tuan Bram melempar senyum. "Wah, ketemu Ibu, Andika seneng banget Kek." Andika tersenyum bahagia ketika mendengar ibunya akan datang. Tak lama kemudian Chelsea pun melambaikan tangan saat ia masi
Dering telpon menyadarkan Tasya dari lamunannya, dengan cepat ia mengambil ponsel di atas nakas dan melihat nama ibunya, senyum pun mengembang di wajah Tasya ketika menyadari bahwa yang menelpon nya adalah Chelsea. "Halo Ibu," "Halo sayang, belum tidur?""Belum Bu, aku tidak betah tinggal di__""Sssst... Sayang, kau baru beberapa hari bersama ayahmu di sana, jadi kau mungkin lagi butuh banyak waktu untuk membiasakan diri. "Tapi Bu, aku tidak__""Tasya, Ibu paham. Tapi semoga kamu juga bisa lebih paham karena semua itu butuh proses, yang sabar ya." Chelsea menahan tangis ketika ia selalu memotong kalimat putrinya, yang mengeluhkan bahwa sebenarnya ia sangat tidak betah tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Bukan Chelsea tidak mau mendengarkan keluhan Tasya, ia hanya ingin Tasya bisa lebih dewasa dalam menghadapi semua ujiannya. Tasya pun menyeka air matanya, suka tidak suka, Tasya harus mendengarkan nasehat dari ibunya, meskipun sebenarnya ia merasa sedikit kecewa karena Chelsea na