“Kenapa dia ada di sini?” Mama Sena memandang kesal pada Adit yang berdiri bersandar di depan UGD rumah sakit.Pada arah sebaliknya ada Rayna dan Reno yang berdampingan. Mendengar pertanyaan Ratih, Rayna menegakkan punggung, berjalan beberapa langkah hingga berdiri di depan Ratih. Walau agak yakut dijawab juga pertanyaan tersebut.“Sena dan Adit tadi makan malam. Sena merayakan ulang tahun Adit,” kata Rayna pelan.Tangan kiri Ratih melayang dan menampar pipi Rayna. Mata wanita itu memerah. “Dan kamu tidak melarangnya? Bukannya aku sudah memintamu untuk mengurangin intensitas pertemuan pemudanini dan putriku?” Walau perkataan Ratih terdengar pelan, bisa dirasakan ketidaksukaan Ratih pada Adit.“Maaf,” bisik Rayna pelan dengan suara bergetar.Ini kali pertama ia dimarahi Ratih setelah setahun bekerja. Kemarahan yang memang berdasar. Harusnya ia bersama Sena tadi, bukannya mempercayakan saja semua hal pa
Napas Adit panjang pendek ketika sampai di parkiran rumah sakit. Ia tidak bisa kembali begitu saja. Ia merasa tak melakukan kesalahan apapun pada Sena. Lagi pula ia merasa lebih berhak berada di sana disbanding Reno. Maka, begitu kesadaran itu menyentuh dirinya, Adit langsung berjalan masuk kembali.Saat ia mencapai ruang UGD lagi. Hanya tersisa Mama Sena di sana, bersandar sambil bersedekap di dadanya. Begitu mendengar langkah kaki wanita itu mengangkat kepala dan dahinya langsung berkerut. Tubunya yang tadi rileks mendadak waspada.“Buat apa kamu kemari lagi?” tanya Mama Sena pelan, tetapi jelas mengancam.“Saya ingin menunggu Sena sampai sadar,” jawab Adit.Keberaniannya tadi hanya tinggal separuh sekarang. Selebihnya mengguap bersama kata-katanya yang mengambang.“Sudah kukatakan jika kami tidak membutuhkanmu di sini. Keberadaanmu hanya menambah penyakit putriku saja. Apa kamu tidak sar itu?” tanya Mama Sena.
Sena yang baru saja akan turun dari atas tanggan terhenti. Suara Mama tidak bisa lebih pelan lagi dalam hal ini.Mereka membicarakan Reno? Sena membatin penasaran.Namun kalimat pertanyaan selanjutnya dari sang Mama membuat Sena memilih untuk melarikan diri. Ada rasa kesal dan perih yang aneh dirasa Sena kini. Ia sendiri tidak paham kenapa harus merasa demikian.Sena memilih naik kembali ke kamarnya lebih dulu, menunggu sampai Mama dan Rayna selesai bicara.***“Sejak kapan kamu pacaran dengan Reno?”Rayna mengerjap. Pikirannya kali ini lambat bereaksi. Ia hanya bisa melongo tidak paham dan sekali lagi Ratih mengulang pertanyaannya.“Maksud Ibu Adit?”Rayna menduga jika Ratih salah menyebut nama. Lumrah jika wanita yang telah berusia salah menyebutkan nama seseorang. Namun, dari ekspresi yang ditampilkan wajah Ratih, Rayna tahu wakita tersebut sama sekali tidak bercanda.“Saya &hell
Adit berhenti melangkah. Padahal kejadian tak mengenakan yang terakhir dilihat terjadi dua hari lalu, di kafe kampus dan disaksikan bukan hanya olehnya. Akan tetapi, sampai saat ini kejadian tersebut sangat jelas tergambar di matanya.“Sial!” Ia memaki sambil melempar kaleng bekas minuman ke rumpun perdu yang ada di sudut taman.Napas Adit memburu. Ingin sekali melempar hal lain lebih dari itu. Bahkan kalau ingatannya bisa diekstrak menjadi bentu, akan dibuang semuanya. Sebagai gantinya ia berteriak kerasa bagai orang gila, tak mempedulikan beberapa orang yang lewat dan melirik ketakutan ke arahnya.“Aku pikir salah orang, tetapi rupanya enggak.”Adit berbalik begitu suara itu terdengar olehnya.Tak lama dari temaram bayangan pohon yang tak mampu ditembus cahaya lampu taman seorang gadis berjalan mendekat. Gadis itu memakai blus abu-abu dengan kerah tinggi dan berkeluk cantik. Kakinya yang jenjang memakai sepatu berhak warna
“Kenapa wajahmu jadi seperti itu?”Reno melambai di depan Sena. Ia mendadak khawatir karena Sena untuk beberapa waktu tetap terpaku seperti itu dan tidak bereaksi.Sena mengerjap, melepaskan udara yang diperangkap dalam rongga paru-paru dan menoleh pada Reno. Ia melihat lagi hal aneh begitu Adit membelakang. Awalnya ia mendengar teriakan seorang gadis yang tak dikenal. Lama-lama disadari jika suara itu miliknya dan tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan dengan gaya yang sama membelakang dan menjauh.Tanpa sadar disandarkan kepalanya pada Reno. Sena memejamkan mata.“Sena, baik-baik aja, kan?” Reno sedikit terbata saat bertanya.Tak menyangka tiba-tiba Sena berlaku seperti ini dengannya. Ia merasakan tubuhnya memanas. Jantungnya berpacu cepat dan menyakitkan. Namun, ia tak bisa membuat Sena menjauh darinya.“Tidak apa, sebentar saja. Sungguh ….” Sena berkata pelan.Reno berharap
“Kenapa wajahmu jadi seperti itu?” Reno melambai di depan Sena. Ia mendadak khawatir karena Sena untuk beberapa waktu tetap terpaku seperti itu dan tidak bereaksi. Sena mengerjap, melepaskan udara yang diperangkap dalam rongga paru-paru dan menoleh pada Reno. Ia melihat lagi hal aneh begitu Adit membelakang. Awalnya ia mendengar teriakan seorang gadis yang tak dikenal. Lama-lama disadari jika suara itu miliknya dan tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan dengan gaya yang sama membelakang dan menjauh. Tanpa sadar disandarkan kepalanya pada Reno. Sena memejamkan mata. “Sena, baik-baik aja, kan?” Reno sedikit terbata saat bertanya. Tak menyangka tiba-tiba Sena berlaku seperti ini dengannya. Ia merasakan tubuhnya memanas. Jantungnya berpacu cepat dan menyakitkan. Namun, ia tak bisa membuat Sena menjauh darinya. “Tidak apa, sebentar saja. Sungguh ….” Sena berkata pelan. Reno berharap waktu berhenti cukup lama. Biar di
Reaksi tubuh Sena saat bersentuhan dengan Adit semakin jelas kini. Adit tahu jika Sena berusaha tidak memperlihatkan hal itu. Akan tetapi, perasaannya tidak mungkin bisa ditipu. Apakah Sena sudah ingat semuanya? Ia bertanya di dalam hati, sebab tak mungkin mencari tahu dari Reno. Saat ini ia dan Reno sedang berseberangan pendapat. Temannya sejak SMP itu sudah tidak lagi mau membantunya. Adit mengosok tengkuknya dengan kesal dan membuang napas keras-keras. Kepalanya sudah kembali berdenyut. Ia tak suka perasaan kalah yang dirasakan kini. Perasaan yang sama persis saat di SMA dulu. “Tampangmu tampak kusut?” Adit mengangkat kepalany sedikit dan melihat Monik. Di belakang gadis itu terlihat Endah yang mengernyit. Endah berkali-kali memandang wajah Adit dan punggung Monik. “Aku seperti terjun ke sebuah lubang.” Monik terkekeh mengejek. Ia menyibak rambutnya yang tersampir ke depan menuju belakang bahu. “Kamu memang baru saj
Reaksi tubuh Sena saat bersentuhan dengan Adit semakin jelas kini. Adit tahu jika Sena berusaha tidak memperlihatkan hal itu. Akan tetapi, perasaannya tidak mungkin bisa ditipu. Apakah Sena sudah ingat semuanya? Ia bertanya di dalam hati, sebab tak mungkin mencari tahu dari Reno. Saat ini ia dan Reno sedang berseberangan pendapat. Temannya sejak SMP itu sudah tidak lagi mau membantunya. Adit mengosok tengkuknya dengan kesal dan membuang napas keras-keras. Kepalanya sudah kembali berdenyut. Ia tak suka perasaan kalah yang dirasakan kini. Perasaan yang sama persis saat di SMA dulu. “Tampangmu tampak kusut?” Adit mengangkat kepalany sedikit dan melihat Monik. Di belakang gadis itu terlihat Endah yang mengernyit. Endah berkali-kali memandang wajah Adit dan punggung Monik. “Aku seperti terjun ke sebuah lubang.” Monik terkekeh mengejek. Ia menyibak rambutnya yang tersampir ke depan menuju belakang bahu. “Kamu memang baru saj