"Suatu saat kau akan tahu, Tik. Yang kulakukan ini bukan sekedar "hanya". Aku akan menghancurkan wanita itu dan merebut kembali lelakiku." Bayangan wajah antusias Arlin saat membahas Hendra terpantul jelas pada meja kaca di hadapannya. Wanita itu memang memilih bahan kaca untuk meja kerjanya. Dia selalu menyukai kaca-kaca tembus pandang dan bisa sedikit memantulkan bayangan.
"Lin. Tidak bisakah kau melupakan Hendra? Di luar sana, banyak yang mengantri untuk mendapatkan perhatianmu."Arlin mengangguk-angguk kecil mendengar perkataan Tika. Wanita itu bergerak bebas berayun ke kiri dan ke kanan dengan kursi kerjanya yang bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat."Tetapi, aku maunya Hendra. Gimana dong?" Arlin menyipitkan mata dan menggoyangkan bahu sedikit. Suaranya yang manja terdengar menggemaskan.Tika tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Ujung matanya menangkap hordeng berwarna silver di belakang Arlin sedikit bergoyang. Hembusan pendingin"Tring!"Nada pesan di ponsel Vira berbunyi. Wanita yang sedang memasak nasi goreng itu mengerutkan kening. Ujung matanya melirik ponsel warna biru tua yang terletak di atas meja makan."Kok setiap ponselku berbunyi, ponselmu juga berbunyi, Vir?"Vira terlonjak kaget mendengar suara Hendra yang tiba-tiba sudah duduk di meja makan. Bukannya tadi lelaki itu masih mandi saat dia keluar kamar untuk memasak? Kini, saat masakannya baru setengah jadi, bisa-bisanya Hendra sudah berpakaian rapi. Vira menggelengkan kepala heran."Aku ada janji temu rekanan bisnis jam setengah delapan ini, tidak usah heran kenapa aku sudah rapi begini." Hendra seperti bisa membaca keheranan istrinya.Vira mengangguk-angguk menanggapi ucapan Hendra. Dia sibuk memindahkan nasi goreng dari wajan ke dalam wadah. Asap mengepul dari nasi goreng buatan Vira, menguarkan aroma yang sangat menggoda.Setelah itu, Vira menggoreng telur dadar yang sudah diraciknya. Empat buah telur dadar dengan banyak bawang bombay dan tomat
"Vir."Hendra menghentikan makannya yang hampir selesai saat melihat wajah Vira mendadak muram saat membaca pesan di ponselnya. "Ada masalah?"Vira menggeleng pelan. Wanita itu terlihat memaksakan senyum."Sudah sarapannya, Mas? Berangkatlah, nanti terlambat."Hendra mengerutkan kening melihat raut wajah Vira berbeda dari biasanya."Sedikit lagi." Hendra menyendokkan nasi goreng terakhir di piringnya."Oh, iya, Vir. Mama kapan pulang katanya?" "Tiga hari lagi, Mas." Vira menjawab singkat. "Ck!" Hendra berdecak sebal. Mama Lily terlalu gaul menurut Hendra. Ini juga mamanya itu pergi ke luar kota dengan teman-temannya. Menikmati masa tua katanya, saat Hendra protes karena pergi terlalu lama.Hendra melambaikan tangan saat mobilnya keluar dari halaman. Matanya melirik bayangan Vira dari kaca spion. Dia merasa agak janggal dengan sikap Vira. Tidak biasanya wanita yang selalu ceria itu terlihat murung. Sementara bergegas masuk ke kamar saat mobil Hendra menghilang dari pandangan. Wani
Vira tidak patah semangat. Tujuannya hanya satu. Membuat Rahma dan Silmi membayar semua rasa sakitnya. Biarlah mereka tersiksa karena mengira dia hidup dalam kebahagiaan, sehingga enggan untuk pulang.Penguatnya hanya satu. Semua karena Mama Lily. Vira bersyukur karena mertuanya itu sangat baik padanya."Tring!"Bunyi ponsel Vira kembali terdengar. Wanita itu menghapus air mata di pipinya. "Sakit Ayah kambuh lagi."Vira terkesiap. Ini masalah serius. Sebenci apapun dia dengan ayahnya, lelaki itu satu-satunya orang tua yang dia punya. Bagaimanapun, dulu dia pernah merasakan kehangatan kasih sayang seorang Ayah.Mungkin tiba saatnya dia harus kembali. Pulang sejenak ke rumah yang dulu sempat tidak ingin dia datangi lagi. Terlebih, pesan yang dikirim Ayah Aksa sepertinya serius. Dada Vira mendadak berdebar. Tiga tahun tidak pernah berjumpa, sudah seperti apa rupa ayahnya? Akankah masih sama dengan hari terakhir mereka saling bertatap mata?Gemetar tangan Vira menekan nomor telepon Hendr
"Mari, silakan." Hendra mempersilakan rekan bisnisnya duduk.Pramusaji menghampiri meja mereka. Nomor empat. Entah suatu kebetulan semata atau justru alam bawah sadar Hendra yang menggerakkan memilih meja dengan nomor itu.Empat. Tanggal empat bulan empat, dia dan Arlin memutuskan mengikat diri dalam sebuah hubungan. Tanggal empat bulan empat juga, hubungan mereka berakhir. Saat itu, ketika mereka memutuskan akan melangkah ke jenjang yang lebih serius di usia empat tahun kebersamaan."Jadi begini, Pak Hendra. Bu Arlin ini adalah pengganti pimpinan sebelumnya. Beliau baru pulang dari menempuh pendidikan di Jepang beberapa bulan yang lalu." Pak Prima menjelaskan sambil menunggu pesanan datang.Hendra mengernyitkan kening. Dia baru tahu bahwa perusahaan yang baru akan bekerjasama dengannya ini adalah milik keluarga Arlin."Perusahaan ini milik Kakek, Hen. Awalnya dijalankan oleh Om Heru. Kamu memang belum pernah bertemu karena selama ini Om Heru selalu sibuk dan sering bepergian ke luar
"Bisnis ini sangat menjanjikan. Bahkan, sekelas perusahaan minyak besar milik negara juga sudah melakukan ekspansi minyak luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama.""Tetapi mereka melakukan ekspansi ke daerah gurun sana, Bu Arlin! Anda yakin tanah bersalju ini menyimpan banyak minyak di bawahnya?" Hendra memijat perlahan keningnya."Well, Pak Hendra. Saya memang baru terjun sebagai pimpinan perusahaan. Tetapi, bukan berarti saya tidak punya pengalaman bisnis sama sekali, jika itu yang anda ragukan. Tim riset yang kami kirim bukan tim yang baru dibentuk kemarin sore, mereka sudah sangat …."Hendra sudah tidak mendengarkan penjelasan Arlin lagi. Dari awal dia sebenarnya sudah menyetujui kerjasama ini. Sekali lagi, dia hanya menguji Arlin.Melalui penjelasan wanita itu barusan, Hendra paham Arlin sangat menguasai bidang ini. Lelaki itu sungguh kagum dengan perubahan Arlin. Wanita lemah lembut yang selama ini dia kenal, kini telah berubah menjadi pebisnis handal.Sungguh. Pesona Arl
Mobil Vira memasuki halaman rumah yang selama tiga tahun ini tidak pernah menjadi tempatnya pulang lagi. Vira bergegas mengambil tas tangan dan mencabut kunci mobil. Wanita itu sedikit menggeliat dan melakukan gerakan stretching ringan untuk melemaskan otot-otot tubuhnya. Lima jam perjalanan tanpa henti, membuat otot-ototnya sedikit tegang.Vira yang menggunakan sepatu kets berwarna baby pink dengan merk salah satu produk ternama melangkah ringan. Sekilas matanya menyapu halaman. Tidak banyak yang berubah, halaman rumah itu tertata rapi dan indah dengan berbagai macam tanaman hias dan beberapa bonsai. Rahma, ibu tiri Vira memang menyukai keindahan.Vira sedikit pusing saat akan sampai pada pintu utama. Bayangan keluarga bahagia di depannya mendadak memenuhi ingatan. Ayah Aksa, Rahma dan Silmi yang sedang duduk santai sambil menonton televisi bersama. Suara tawa mereka bahkan masih terdengar jelas di telinga Vira. Meninggalkan trauma akan sakit hati karena hanya bis
Vira merasa sedikit lebih tenang setelah menarik napas panjang. Wanita itu perlahan tersenyum. Tangannya pelan menyentuh bahu Rahma yang menggunakan baju rumahan berwarna biru."Tidak berpendidikan katamu? Ya memang benar, kan? Aku tidak berpendidikan karena tabungan uang kuliahku yang sudah disiapkan ayah diambil oleh anakmu untuk biaya masuk SMA favorite." Vira berkata dengan intonasi yang sangat terkendali. Wajahnya tetap tersenyum tenang menatap ibu tirinya yang sudah sangat terbakar emosi. "Ibuku akan mendapat ganjaran kau bilang? Hei! Asal kau tahu saja, ibuku meninggal saat melahirkanku. Apa kau benar-benar tidak paham? Syahid lah ganjarannya bagi wanita yang meninggal saat melahirkan!" Vira mengelus pelan bahu Rahma."Jangan terlalu mencerca sikapku. Bukankah selama ini aku berada dalam pengasuhanmu? Itu berarti, aku begini karena didikanmu!" Vira berjalan anggun meninggalkan Rahma yang diam tidak bisa berkata-kata. Semua perkataannya diputar balikkan denga
Vira berdiri sambil bersandar pada dinding. Hatinya sedang menimbang, masuk sekarang dan mengetahui kebenaran yang mereka bicarakan atau nanti setelah lebih banyak mengetahui dari percakapan yang mereka lakukan? Rahasia apa? Jadi, sebenarnya Ayah Aksa bukan menumbalkannya. Tetapi, menikahkan dengan Hendra justru menjadi penolong bagi hidupnya. Atau bagaimana?Vira sedikit tersentak karena getar ponsel di tasnya. Wanita itu sedikit menjauh dari kamar dan mulai mengeluarkan alat komunikasinya.Dia mengerutkan kening membaca nama yang tertera. Ada apa? Bukankah kontrak kerjasama mereka sudah berakhir beberapa bulan lalu?"Ya?" Sedikit ragu Vira menjawab panggilan telepon."Masih ingat saya, Bu Vira?" Suara di seberang sana terdengar ceria."Tentu." Vira sedikit tersenyum. Lelaki yang menghubunginya ini memang memiliki aura yang sangat positif. "Ada kabar yang kurang mengenakkan, Bu Vira.""Kabar apa?" Vira menge