“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
"Kau dengar ini!" Vira mengacungkan telunjuk tepat di depan mata wanita kedua suaminya itu.Kedua? Vira mendecih dalam hati. Bisa saja wanita di hadapannya ini adalah wanita ke tiga, ke empat bahkan mungkin wanita ke lima suaminya."Gaji Mas Hendra sebagai seorang General Manajer di salah satu perusahaan ternama dalam negeri memang cukup besar. Tiga puluh lima juta perbulan." Mata wanita di hadapan Vira membesar. Vira tersenyum sinis melihat wajah mata duitan itu."Namun besar gajinya itu, berbanding lurus juga dengan besar pengeluarannya." Wanita di hadapan Vira mendengus. Seolah mengatakan aku tidak peduli dengan pengeluaran kalian."Kau dengar ini, heh! Kau dengar baik-baik biar kau paham!" Sekali lagi Vira menunjuk wajah wanita cantik di hadapannya. "Untuk bayar angsuran rumah sepuluh juta rupiah, baru lunas sekitar tujuh tahun lagi. Angsuran mobil lima juta rupiah, baru lunasl tiga tahun lagi. Gaji pembantu dan supir enam juta rupiah, jatah bulanan orangtua dan mertua enam juta
Savira Vishaka Yozita. Wanita berwajah manis dengan lesung pipi di wajahnya. Dia biasa dipanggil dengan nama Vira. Vira terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Tiga tahun bersama, dia tak kunjung bisa meruntuhkan dinginnya hati seorang Hendra. Bukan inginnya menjalani pernikahan tak berdasar rasa. Apa mau dikata, garis takdir mengharuskannya melewati itu semua."Apa yang kau harapkan dari pernikahan ini, Vir?" Suara hendra melemah. Dia sangat hafal watak wanita cantik di depannya, Vira pantang mengalah.Dibesarkan hanya oleh seorang ayah. Vira tumbuh menjadi gadis yang pantang menyerah. Pantang baginya menjadi seorang yang hanya bisa berpasrah."Tentu saja kebahagiaan, Mas. Bukankah bahagia adalah tujuan setiap keluarga?" Vira tersenyum lembut sambil meletakkan garpunya. Wanita itu telah menyelesaikan hidangan utamanya."Aku tidak mencintaimu, begitu pun dengan dirimu. Kau tidak mencintaiku. Apa kita bisa bahagia dengan itu?"Vira mengangkat bahu. Tangannya terangkat memanggil pelaya
"Dasar wanita g*la!” Hendra terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju kantor. Sejak kemarin, dia benar-benar sudah putus komunikasi dengan Livia. Wanita itu memblokir semua akses untuk berhubungan dengannya. Mulai dari telepon, aplikasi mengirim pesan sampai ke akun media sosial.Rasa kesalnya sudah diubun-ubun. Livia menghilang seperti ditelan bumi karena Vira. Entah apa yang terjadi di antara wanita simpanan dan istrinya itu tadi malam hingga Livia seakan enggan kenal lagi dengannya."Argh!" Hendra memukul kemudi mobil. Lelaki itu benar-benar dibuat sakit kepala oleh tingkah istrinya. Dia bergegas menginjak rem saat lampu lalu lintas berganti menjadi merah.Hendra sangat membenci Vira. Dalam pandangannya, Vira hanyalah wanita yang tidak punya harga diri karena dijadikan pembayar hutang oleh orangtuanya. Malangnya, karena itu dia ikut kecipratan sial. Hubungannya dengan Arlin yang sudah terjalin cukup lama harus kandas. Kisah cinta dengan wanita pujaan hatinya itu berakhir begit
"Waaaaaah, masak apa ini menantu kesayangan mama?" Mama Lily tersenyum lebar melihat meja makan penuh dengan masakan."Eh, Mama? Sudah bangun?" Vira menyapa riang mertuanya yang baru saja masuk ke dapur. Sepagi ini wanita itu sudah memasak berbagai macam makanan."Sudah dong. Tadinya mama mau masak, kangen dapur. Eh lagi-lagi sudah keduluan sama menantu mama yang rajin ini." Mama Lily tertawa sambil duduk di salah satu kursi."Loh? Mama tidak bilang mau masak, tahu begitu kan Vira bisa bangun agak siangan." Vira dan Mama Lily tertawa bersama mendengar jawaban Vira."Kamu persis ibumu, Vir. Beruntung sekali Hendra bisa menikah denganmu." Mama Lily memperhatikan Vira yang dengan cekatannya memindahkan dan menata masakan di meja makan.Vira tersenyum. Wanita itu tidak tahu mana yang dikatakan mertuanya itu persis dengan ibunya. Dia bahkan tidak sempat merasakan pelukan bundanya walau hanya sedetik saja."Ibumu dulu pintar sekali memasak. Bahkan setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan