Share

BAB 2

Savira Vishaka Yozita. Wanita berwajah manis dengan lesung pipi di wajahnya. Dia biasa dipanggil dengan nama Vira.

Vira terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Tiga tahun bersama, dia tak kunjung bisa meruntuhkan dinginnya hati seorang Hendra. Bukan inginnya menjalani pernikahan tak berdasar rasa. Apa mau dikata, garis takdir mengharuskannya melewati itu semua.

"Apa yang kau harapkan dari pernikahan ini, Vir?" Suara hendra melemah. Dia sangat hafal watak wanita cantik di depannya, Vira pantang mengalah.

Dibesarkan hanya oleh seorang ayah. Vira tumbuh menjadi gadis yang pantang menyerah. Pantang baginya menjadi seorang yang hanya bisa berpasrah.

"Tentu saja kebahagiaan, Mas. Bukankah bahagia adalah tujuan setiap keluarga?" Vira tersenyum lembut sambil meletakkan garpunya. Wanita itu telah menyelesaikan hidangan utamanya.

"Aku tidak mencintaimu, begitu pun dengan dirimu. Kau tidak mencintaiku. Apa kita bisa bahagia dengan itu?"

Vira mengangkat bahu. Tangannya terangkat memanggil pelayan. Saatnya hidangan penutup.

Pelayan wanita itu datang sambil membawa makanan penutup mereka. Panna Cotta. Vira tersenyum lebar melihat makanan yang hampir mirip dengan puding itu. Bentuknya yang menarik dilengkapi siraman saus karamel dengan buah strawberry di atasnya membuat makanan itu terlihat sangat menggoda.

"Per favore." Pelayan wanita mempersilakan.

"Grazie mille." Vira menjawab sopan. Terima kasih banyak.

Wanita berlesung pipi itu langsung menyendok panna cotta di depannya. Vira memejamkan mata sambil menggelengkan kepala pelan saat merasakan teksturnya yang lumer di mulut dengan cita rasa manis. Hidangan yang disajikan dalam keadaan dingin itu terasa sangat lezat. Makanan penutup yang sempurna untuk malam ini.

"Vir."

"Mas."

"Ayo kita saling melepaskan."

"Tidak semudah itu."

"Maksudmu?"

"Kau selalu bicara ingin melepaskanku bahkan sejak hari pertama kita menikah. Nyatanya? Hingga tiga tahun pernikahan ini kita jalani, takdir tetap membuat kita bersama."

"Aku memikirkan ibuku!"

"Juga mengikuti gengsimu, kan?" Vira tertawa kecil.

"Maksudmu?"

"Akui saja! Setiap ada acara kantor, kau dengan bangga membawaku sebagai gandengan. Kau tentu menyadari, banyak diantara kolega bisnismu yang diam-diam memperhatikanku, kan?" Sita tersenyum manis pada suaminya.

"Kau terlalu percaya diri!" Hendra membuang muka. Tersenyum mengejek.

"Aku sebenarnya memang menarik, Mas. Dasar kau saja yang sepertinya buta, hingga lebih memilih kerikil di jalanan dibandingkan dengan permata di etalase toko."

"Apa kau setidak seberharga itu, Vir? Sampai-sampai dijadikan pembayar hutang oleh keluargamu sendiri?" Hendra tersenyum sinis menatap istrinya.

Vira terdiam mendengar omongan Hendra.

"Ah! Aku lupa, wajar saja kau tidak ada harganya. Kau malah sebenarnya seperti tidak punya keluarga, kan? Ayah yang kau sayangi tiba-tiba berubah sejak menikah lagi? Lelaki b*jingan itu lebih memilih menyelamatkan anak tirinya dibandingkan dirimu anak kandungnya." Hendra akhirnya mengeluarkan unek-uneknya setelah sekian lama.

Lelaki itu sungguh muak dengan pernikahan mereka. Karena menikahi Vira, dia harus berpisah dengan kekasih hatinya. Padahal hubungan mereka sudah sangat dekat, bahkan hampir sampai pada tahap lamaran.

Hanya karena menghormati wanita yang selama ini berjuang sendirian membesarkannya. Hendra menuruti keinginan ibunya untuk menikahi Vira.

Karena hal itu pula lah, Hendra melampiaskan kekesalannya pada Vira dengan menjalin hubungan dengan banyak wanita. Entah sudah berapa belas wanita yang menjadi simpanannya selama tiga tahun pernikahan mereka.

"Seharusnya kau prihatin, Mas." Vira mengambil gelas air minum di atas meja. Menyesapnya beberapa tegukan untuk menetralisir dentum di dadanya.

Dingin air terasa menyentuh bibirnya. Mengalir ke lidah, merambat ke kerongkongan, untuk kemudian sampai di tempat yang Vira tidak bisa lagi merasakan dingin air itu.

Tidak. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan suaminya.

"Prihatin?" Hendra mengerutkan kening. Bingung dengan respon Vira yang terlihat biasa-biasa saja. Bahkan istrinya itu terlihat santai menyesap minumannya.

Bukankah seharusnya wanita itu terlihat sedikit terpukul dengan ucapannya? Hendra malah berharap istrinya itu tersinggung dengan apa yang tadi dikatakannya.

"He'em." Vira membuat gerakan yang menggemaskan. Pelan dia meletakkan kembali gelas air minum ke atas meja.

"Bukankah seharusnya kau kasihan melihat seorang gadis teraniaya? Gadis muda yang seharusnya mempunyai masa depan cerah, terpaksa harus menikah karena menanggung kesalahan adik tirinya." Vira menggeleng.

"Gadis itu bahkan semakin teraniaya, karena setelah menikah suaminya tetap tidak bisa mencintainya. Bahkan cenderung bersikap dingin dan sering merendahkannya. Oi alangkah malang nian nasib gadis itu." Vira kembali menggelengkan kepalanya pelan.

"Mengingat semua hal itu, bukankah seharusnya kau prihatin dengan nasib gadis itu, Mas? Ya, itu juga kalau kau punya hati. Tetapi sepertinya kau tidak punya, sih, makanya gampang saja bagimu berbuat sesukanya." Vira tertawa kecil sambil menutup mulutnya.

Ck! Hendra berdecak sebal.

"Kau sungguh tidak punya harga diri sampai harus mengemis agar dikasihani, Vir? Dasar wanita tidak tahu malu!"

"Hei! Kenapa aku harus malu dengan suamiku sendiri?" Vira mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum manis. Wajah itu terlibat sangat ayu dengan kedua lesung pipi yang menghiasinya.

"Dasar perempuan g*la!" Hendra mendengus sebal. Niatnya ingin membuat Vira kesal dan menangis, malah senjata makan tuan. Jadi dia yang semakin kesal sendiri.

"Kau tidak mau panna cotta itu, Mas? Sini, biar kuhabiskan!" Vira menjulurkan tangannya, hendak mengambil makanan Hendra. Tetapi lelaki itu bergerak cepat mengamankannya.

"Yeeeee, kirain mas tidak mau." Vira memonyongkan bibirnya.

Wanita itu menarik napas pelan. Dadanya terasa sesak mengingat semua ucapan Hendra. Suaminya itu benar. Dia sungguh tidak ada harganya di mata keluarga.

Vira dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu. Sang bunda mengucapkan selamat tinggal, dihari kelahiran putrinya itu. Malangnya nasib bayi mungil itu. Jangankan merasakan hangat pelukan dari sang ibu, bahkan mencicip setetes air susu ibu pun dia tak diberi waktu.

Sejak saat itu Vira dibesarkan oleh Ayahnya. Hari-harinya bahagia walau tanpa kehadiran sang bunda. Ayah menjadi gambaran sempurna, sosok cinta pertama yang dia rasa.

Namun semua berubah saat usianya menginjak sepuluh tahun. Ayahnya memilih menikah kembali dengan seorang janda. Wanita itu juga membawa anak yang usianya hanya berbeda tiga tahun dibawah Vira. Sejak saat itu semua berubah. Vira merasa tersisihkan, dari kehidupan bahagia yang terpampang di depan matanya.

Puncaknya tiga tahun yang lalu, Vira dikorbankan karena kesalahan adik tirinya itu. Dia dipaksa menikah dengan lelaki yang belum pernah ditemuinya sama sekali. Tanpa kata. Tanpa aba-aba. Mimpinya direnggut. Harapannya tercerabut. Dia tidak diberi kesempatan bahkan untuk bertanya. Dalam diam, Vira terpaksa menjalani semua.

Karena itulah, kini wanita itu mati-matian mempertahankan rumah tangganya. Berpura pernikahannya bahagia, walau sebenarnya bagaikan menggenggam bara. Dia ingin membuat keluarganya tahu, mereka salah membuangnya dulu. Vira ingin membuat ibu dan saudara tirinya menyesal karena telah mengorbankannya.

"Jangan ganggu wanita-wanitaku, Vir! Ini peringatan terakhirku untukmu." Hendra menatap tajam wanita yang duduk di hadapannya.

"Kalau tetap kugangggu?"

"Aku akan membuatmu menyesal karena telah mengganggu Kesenanganku." Hendra berkata dingin. Kesabarannya hampir habis menghadapi Vira.

"Hei! Asal kau tahu, bahkan sejak hari pertama pernikahan kita pun aku sudah menyesal. Jadi jangan ancam aku dengan kata penyesalan." Vira terkekeh menatap wajah tampan suaminya yang membatu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ria Fella
bagus. aku suka tokoh wanita yang kuat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status