Share

BAB 4

"Waaaaaah, masak apa ini menantu kesayangan mama?" Mama Lily tersenyum lebar melihat meja makan penuh dengan masakan.

"Eh, Mama? Sudah bangun?" Vira menyapa riang mertuanya yang baru saja masuk ke dapur. Sepagi ini wanita itu sudah memasak berbagai macam makanan.

"Sudah dong. Tadinya mama mau masak, kangen dapur. Eh lagi-lagi sudah keduluan sama menantu mama yang rajin ini." Mama Lily tertawa sambil duduk di salah satu kursi.

"Loh? Mama tidak bilang mau masak, tahu begitu kan Vira bisa bangun agak siangan." Vira dan Mama Lily tertawa bersama mendengar jawaban Vira.

"Kamu persis ibumu, Vir. Beruntung sekali Hendra bisa menikah denganmu." Mama Lily memperhatikan Vira yang dengan cekatannya memindahkan dan menata masakan di meja makan.

Vira tersenyum. Wanita itu tidak tahu mana yang dikatakan mertuanya itu persis dengan ibunya. Dia bahkan tidak sempat merasakan pelukan bundanya walau hanya sedetik saja.

"Ibumu dulu pintar sekali memasak. Bahkan setiap ada kegiatan yang berhubungan dengan makan-makan, Zita selalu menawarkan diri dengan senang hati memasak buat semua." Zita. Yozita.  Nama ibu kandung Vira. Nama yang sengaja disematkan di belakang namanya, untuk mengenang jasa sang bunda.

"Mama dan ibu dulu berteman dekat?" Vira meletakkan capcay,  sayur terakhir yang dia siapkan.

"Sangat." Mama Lily tersenyum.

Wanita yang masih terlihat cantik di usia senja itu menatap menantunya lamat-lamat. Mata tuanya tiba-tiba mengembun. Kelebatan ingatan masa lalu menyergap pikirannya.

Pagi hari, pukul 06.30 WIB. Dua puluh sembilan tahun yang lalu.

"Zita." Tangan Lily muda gemetar. Wajahnya terlihat sangat kalut saat menatap wajah pucat sahabatnya yang terbaring di ranjang rumah sakit. 

"Zi." Sekali lagi Lily mencoba membangunkan sahabatnya.

Suara pintu kamar rumah sakit dibuka lalu ditutup kembali terdengar. Bunyi sepatu yang beradu dengan lantai nyaring memenuhi ruangan. Langkah demi langkah kian mendekat.

"Ly." Suara berat dan serak terdengar. Suara yang sangat dikenali Lily.

"Aksa." Lily menatap lelaki yang tadi menyapanya. Aksara, biasa dipanggil Aksa. Lelaki itu terlihat sangat kacau.

"Kapan kau tiba?" Aksa berjalan mendekati ranjang Zita, istrinya.

Lelaki itu duduk disampingnya, sejenak menatap wajah pucat itu. Dia lalu menggenggam tangan Zita yang terasa dingin.

"Baru saja," jawab Lily. 

Wanita yang membawa tas berwarna hijau tua itu mendesah. Tadi dia bergegas kemari saat menerima telepon dari Aksa. Lelaki itu belepotan menjelaskan dengan cepat keadaan sahabatnya itu. Pendarahan. Tidak sadarkan diri. Dalam perjalanan ke rumah sakit.

Lily dan Zita bersahabat dekat. Mereka satu perjuangan saat dulu kulihat. Sama-sama mahasiswi rantau, sama-sama dari keluarga yang tidak berada, mereka mati-matian berjuang saling menguatkan agar bisa meraih gelar sarjana. Dengan semua pengalaman yang mereka lalui bersama. Maka tidak perlu ikatan darah untuk menjadi saudara. 

Persahabatan mereka semakin dekat, saat nenek Zita meninggal. Habis sudah keluarganya. Dia anak tunggal yang lahir dari ayah dan ibu yang juga anak satu-satunya.

Keluarga mereka kecil. Saat kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan, Zita hanya mempunyai seorang nenek. Saat neneknya juga berpulang, maka habislah keluarga Zita.

Beruntung ada Lily yang menguatkan. Maka mereka akhirnya sudah menjadi seperti saudara kandung. Saat libur kuliah, Zita sering pulang ke rumah Lily yang diterima dengan baik oleh kedua orangtuanya.

"Apa kata dokter, Sa?" Lily kembali bertanya setelah hening sekian lama di antara mereka.

"Harus dioperasi. Ketubannya hampir habis. Mereka sedang mempersiapkan ruang operasi." Aksa memijat kepala.

"Bagaimana ini, Ly?" Lelaki itu menatap Lily. Matanya basah. Tadi dia kalut, tidak tahu harus menghubungi siapa. Yang terpikir dikepalanya hanya Lily. Sahabat kental Istrinya. 

"Apa yang bagaimana?" Lily ikut mengusap ujung matanya yang mendadak basah.

"Dokter mengatakan kemungkinan terburuk, hanya satu dari mereka yang bisa diselamatkan." Tangis Aksa pecah.

Lily terpana. Hidungnya terasa kedat. Seserius itukah keadaannya?

"Bagaimana ini, Ly? Aku ingin istri dan anakku selamat semuanya." Pedih. Sangat pedih mendengar tangisan lelaki itu. Tangisan yang penuh ketakutan akan ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat dicintainya. 

"Tenanglah, Sa. Dokter mengatakan itu kemungkinan terburuk. Kita berdoa saja semoga hasil terbaik yang bisa mereka lakukan. Semoga semuanya selamat." Lily mengelus pundak Aksa. Dia mencoba menenangkan suami sahabatnya itu. Walau dalam hati dia pun sebenarnya merasa sangat ketakutan.

"Mas."

"Zi!" Aksa langsung mengelus kepala Zita lembut.

"Aku …."

Suara pintu dibuka membuat ucapan Zita terhenti.

"Bantu kami memindahkan Ibu Yozita ke brankar ya, Pak. Harus dioperasi sekarang. Kondisi gawat." Perawat menjelaskan secepat mungkin. 

Bergegas Aksa mengangkat istrinya. Sementara Lily membantu membawakan infuse. Mereka berlarian sepanjang lorong rumah sakit menuju ruang operasi.

"Ly." Zita memegang tangan Lily, sesaat sebelum masuk ke ruang operasi.

"Tolong. Tolong jaga anakku seperti kau menjaga anakmu." Mata Zita menatap Lily penuh permohonan.

"Zi!" Napas Lily tersengal karena tadi ikut berlarian mendorong brankar Zita.

"Jangan berpikiran macam-macam. Masuk dan melahirkanlah. Aku dan Aksa menunggumu dan anakmu di sini."

"Berjanjilah, Ly! Berjanjilah kau akan menjaga anakku dengan nyawamu." Mata Zita berkaca-kaca. Wanita itu seolah telah memiliki firasat waktunya tak lagi lama.

"Bu. Kita harus segera masuk." Suster menyela.

"Aku berjanji." Janji itu akhirnya terucap dari mulut Lily. Janji yang dipeluknya dengan erat hingga kini.

Lily muda menghapus air mata saat ruang operasi ditutup.

Pun di sini.

Pagi hari. Pukul 06.30 WIB. Dua puluh sembilan tahun setelah kejadian itu.

Mama Lily menghapus air matanya yang mengalir.

"Mama menangis?" Vira bergegas memeluk mertuanya itu dari belakang.

"Ada apa, Ma?" Vira menghapus air mata di kedua pipi mertuanya.

Mama Lily menggeleng.

Dia benar-benar menepati janjinya pada Zita,  sahabatnya.

Setelah pemakaman Zita waktu itu, Aksa memilih kembali ke kota kelahirannya. Mereka hilang kontak sejak saat itu. 

Sampai suatu hari. Tiga tahun yang lalu. Janji yang dia ucapkan dua puluh sembilan tahun yang lalu memanggil.

Aksa meneleponnya dengan suara bergetar. Lelaki itu terdengar menahan tangis. Dia memohon agar Lily mau menyelamatkan Vira, menyelamatkan masa depan anaknya.

Lily menangguk mantap saat Aksa mengakhiri semua penjelasan. Tanpa banyak kata, sekejap mata pernikahan Hendra dan Vira dilaksanakan.

Rahasia kecil yang tidak Vira ketahui, ayahnya melakukan itu semua justru untuk  melindunginya. Melindungi putri semata wayangnya.

"Mama tidak apa-apa, Vir. Mama hanya kangen dengan ibumu." Mama Lily berdiri. Memeluk Vira dengan erat.

Sementara sepasang mata mengawasi mereka dari pintu dapur. Tatapan mata setajam mata elang itu nyalang menatap Vira dan Mama Lily yang sedang berpelukan. Itulah yang membuat Hendra kesulitan menceraikan Vira. Mama dan istrinya itu terlalu dekat dan saling menyayangi. Hendra dapat merasakan itu.

Hendra mendengus sebal. Dia masih kesal dengan Vira. Kurang dari seminggu, dua wanita yang dekat dengannya menjauh pergi. Livia yang raib bak ditelan bumi dan Lani yang mulai menjaga jarak sehingga mereka tidak sedekat dulu lagi.

Lelaki itu benar-benar pusing dengan tingkah Vira yang terus-terusan mengganggu kesenangannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status