Share

BAB 3

"Dasar wanita g*la!” Hendra terus menggerutu sepanjang perjalanan menuju kantor. Sejak kemarin, dia benar-benar sudah putus komunikasi dengan Livia. Wanita itu memblokir semua akses untuk berhubungan dengannya. Mulai dari telepon, aplikasi mengirim pesan sampai ke akun media sosial.

Rasa kesalnya sudah diubun-ubun. Livia menghilang seperti ditelan bumi karena Vira. Entah apa yang terjadi di antara wanita simpanan dan istrinya itu tadi malam hingga Livia seakan enggan kenal lagi dengannya.

"Argh!" Hendra memukul kemudi mobil.  Lelaki itu benar-benar dibuat sakit kepala oleh tingkah istrinya. Dia bergegas menginjak rem saat lampu lalu lintas berganti menjadi merah.

Hendra sangat membenci Vira. Dalam pandangannya, Vira hanyalah wanita yang tidak punya harga diri karena dijadikan pembayar hutang oleh orangtuanya. 

Malangnya, karena itu dia ikut kecipratan sial. Hubungannya dengan Arlin yang sudah terjalin cukup lama harus kandas. Kisah cinta dengan wanita pujaan hatinya itu berakhir begitu saja saat Mama Lily mengatakan dia akan menikah lusa.

Tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiba-tiba Hendra telah terikat pernikahan yang sah secara hukum dan agama. Arlin terluka. Perjalanan cinta mereka selama empat tahun mendadak berhenti begitu saja.

Wanita yang patah hati itu memilih pergi. Dia memilih menepi dari setiap kenangan yang mereka lewati. Membuang jauh semua angan tentang hidup bersama sang kekasih hati. Arlin pergi dengan memeluk luka yang sangat menyakiti.

Tinggalah Hendra merindu sendiri. Berharap bisa mengetahui sedikit saja bagaimana kabar wanita yang sempat memenuhi hari-hari. Nihil. Arlin menghilang bak ditelan bumi.

Karena  itu pula lah, lelaki itu akhirnya melampiaskan semua kekesalannya pada Vira dengan cara memiliki banyak wanita simpanan. Tujuannya agar istrinya itu tidak tahan dan menggugat cerai.

Namun sialnya, wanita itu justru gigih bertahan. Entah bagaimana caranya Vira selalu bisa menemukan dan mengusir setiap wanita yang sedang dekat dengannya.  

"Tiiiiiiiiiiin!"

Lamunan Hendra terhenti saat mendengar klakson mobil di belakang. Rupanya lampu hijau telah menyala sejak tadi. 

Lelaki itu bergegas melajukan mobilnya kembali.

Mobil mewah berwarna hitam itu memasuki gedung area perkantoran tiga puluh menit kemudian. Hendra memarkirkan mobilnya di depan lobby. Petugas keamanan sigap mengambil kunci yang diberikan Hendra untuk diparkirkan. 

Gedung perkantoran setinggi empat puluh lima lantai itu menjulang megah. Dengan langkah gagah Hendra memasuki lobby dengan penuh percaya diri.

Senyum Hendra terkembang sempurna saat ada karyawan yang menyapa. Sebagai pimpin perusahaan, dia memang terkenal sangat ramah.

"Selamat pagi, Pak." Sapa Lani, sekretaris pribadi Hendra.

"Pagi, Lan." Hendra tersenyum lebar.

Mereka berjalan  beriringan. Dari jauh kedua orang itu terlihat sangat serasi. Lani memang cantik. Ditambah dengan pakaiannya yang selalu modis, membuat siapa saja betah berlama-lama memandangnya.

Selera Hendra memang tidak perlu diragukan dalam memilih wanita.

"Sudah kau pesankan tempat untuk nanti malam?" Hendra melambatkan langkahnya yang lebar. Kepalanya menoleh sedikit ke arah Lani yang berjalan di belakangnya. 

"Sudah, Pak." Lani tersipu.

Hendra tersenyum samar melihat rona merah di wajah sekretarisnya itu.

Sesaat sebelum memasuki lift, ponsel di saku jas Hendra bergetar. Lelaki itu menghentikan langkah. Bergegas diambilnya ponsel yang terus bergetar dari tadi.

Pusing.

Nama yang tertera di layar ponsel. Hendra menarik napas. Vira. Untuk apa pula wanita itu meneleponnya sepagi ini? Ck! Hendra berdecak sebal. Memilih mematikan panggilan tanpa mengangkatnya.

"Ting!" Bunyi pintu lift terbuka.

Hendra masuk ke dalam lift diikuti Lani. Tangan lentik sekretaris pribadi Hendra menekan angka empat puluh lima. Tempat tertinggi di gedung ini, ruangan tempat Hendra menjalankan bisnis yang sangat disegani. 

Sepersekian detik, mereka telah berpindah tempat. 

"Ting!" Pintu lift terbuka. Lantai empat puluh lima.

Ponsel di saku Hendra kembali bergetar. Lelaki itu memilih mengabaikannya. Pasti itu Vira. Dia malas mendengar suara perempuan itu. Paling menanyakan kenapa tidak ikut sarapan.

"Jam sepuluh nanti ada rapat dengan rekanan bisnis, Pak."

Lani menyampaikan sambil berjalan menuju ruangan. Hendra mengangguk mendengar ucapan sekretarisnya.

Dia masih memikirkan Livia yang memutuskan semua akses komunikasi mereka. Apa yang sebenarnya Vira katakan pada Livia sehingga wanita itu seolah sangat jijik padanya? Bahkan, menurut informasi dari orangnya, Livia sudah pindah apartemen untuk menghindarinya. Duh!

Tidak terlalu masalah sebenernya buat Hendra. Dengan kondisi finansial yang mapan serta wajah yang tampan, mudah saja baginya menjerat para perempuan. Namun, dia masih cukup penasaran dengan gadis muda bermata sipit itu. 

Hendra menarik napas panjang. Dia menoleh kebelakang. Sebenarnya, dia dan Lani tidak hanya terikat pekerjaan. Lebih dari itu, mereka cukup sering menghabiskan waktu bersama.  Hendra tersenyum tipis, pasti Vira tidak akan mengira mereka ada affair karena dia dan Lani terikat hubungan profesionalisme kerja.

"Panggil Mas saja kalau hanya berdua, Lan." Hendra mensejajari langkah Lani.

Perempuan berwajah cantik dan bertubuh sintal itu sedikit salah tingkah. Lantai empat puluh lima ini memang ruangan khusus Hendra. Sehingga selalu ada dirinya di meja kerja luar, menerima kalau ada tamu. Sedangkan Hendra dalam ruangan khusus. Secara otomatis hanya mereka berdua yang ada di lantai itu.

"Ini di kantor, Pak." Lani menunduk. Wajahnya merona merah.

"Justru karena di kantor jadi seru. Lebih ada tantangan. Lagi pula, tidak ada orang ini." Hendra mengedipkan mata.

"Iya, Pak."

"Kok bapak lagi."

"Eh, iya, Mas." Lani tambah salah tingkah. 

Hendra tertawa kecil sambil melangkah masuk ke ruangannya. Meninggalkan Lani yang berbunga-bunga di meja kerja.

Atasannya itu memang romantis dan sedikit genit. Tetapi walau begitu, belum sekalipun lelaki itu berusaha memegang tubuhnya, bahkan berpura menyenggol pun tidak pernah. Dia hanya romantis dan genit di omongan. Sementara untuk sentuhan, lelaki itu seperti menghindarinya.

"Bapak ada, Lan?" Satu suara mengejutkan Lani yang sedang senyum-senyum karena pikirannya. 

"Eh, ada, Bu." Lani bergegas berdiri. Tidak menyangka istri atasannya itu datang sepagi ini.

"Ikut saya ke ruangan bapak."

"Hah?!"

Vira menggerakkan dagunya. Memberi kode pada Lani agar mengikutinya masuk menemui Hendra.

Sekretaris pribadi Hendra mengangguk pelan. Sedikit bingung kenapa dia diminta ikut juga.

Vira berjalan dengan langkah yang penuh percaya diri. Penampilannya sangat simpel namun terlihat elegan. Selera wanita itu memang sangat bagus dalam memadu padankan pakaian. Membuatnya selalu terlihat sedap dipandang mata.

"Pagi, Yang." Suara Vira terdengar empuk di telinga. 

Hendra yang sedang minum air putih hangat yang telah disiapkan oleh petugas tersedak. 

"Ini aku bawakan sarapannya."

Sarapan? Hendra menatap Vira bingung.  Sementara Lani gantian menatap Hendra heran. 

"Tolong siapkan di meja ya, Lan." Vira menyerahkan tas yang berisi makanan.

"Oh iya, Bu." Dengan kening berkerut Lani menata semua di meja tempat menerima tamu.

"Kau lihat, Lan? Bahkan untuk sarapan saja Mas Hendra minta dibawakan." Vira tertawa kecil.

Sementara Hendra yang bingung hanya terpaku menatap Vira. Apa lagi yang kini dilakukan oleh istri yang tidak diinginkannya itu?

"Walau pemilik perusahaan, tetapi Mas Hendra sangat irit. Kau tahulah, dia terlalu memikirkan karyawan. Takut gaji tidak terbayar. Selain itu, Mas Hendra juga memikirkan angsuran rumah dan mobil." Vira menggeleng kecil seolah prihatin. 

"Kau tahu, kan mobil mewah yang sering dipakainya itu? Masih kredit. Tiga tahun lagi baru lunas."  Vira berjalan pelan mendekati Lani yang membeku.

Pelan dia menepuk bahu sekretaris pribadi sekaligus kandidat wanita simpanan suaminya. 

"Jadi, kusarankan kau berpikir banyak sebelum memutuskan menjadi wanita simpanan Mas Hendra. Dia itu kere." Vira menutup mulut menahan tawa.

"Saya, saya tidak ada hubungan dengan Bapak, Bu." Lani menggigit bibir.

"Ada juga tidak apa-apa. Aku hanya memberitahumu, kalau Mas Hendra itu tidak sekaya kelihatannya."

Tawa renyah Vira memenuhi ruangan.

Wajah Hendra memerah. Jangankan membeli satu rumah dan satu mobil mewah. Bahkan membeli showroom mobil dan perusahaan developer yang membangun rumah itu pun dia sanggup!

Vira benar-benar membuatnya mendidih.

Mulut lelaki itu tertutup rapat. Matanya tajam menatap Vira yang berjalan mendekatinya. 

Wanita itu mendekatkan wajah mereka. Sangat dekat. Bahkan mereka bisa merasakan hembusan napas masing-masing.

Vira berbisik pelan. Sangat pelan. Bahkan bunyi desing pendingin ruangan masih kalah pelan oleh suaranya.

"Jangan marah, Mas. Aku hanya mencoba menyelamatkanmu dari wanita-wanita matre yang hanya menginginkan hartamu saja."

Hendra mendengus sebal. Sementara Vira tersenyum penuh kemenangan. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ranting Kecil
sumpah ngakak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status