Vira mencium tangan Rahma dan berjabat tangan dengan Silmi.Itu hari pertama Vira bertemu dengan ibu dan saudara tirinya. Beberapa bulan setelah itu, Ayah Aksa dan Rahma resmi menjadi suami istri. Rumah yang tadinya sepi karena hanya ditinggali oleh dua orang, kini ramai karena ada penghuni baru.Rumah itu selalu ramai dan dipenuhi canda tawa. Sayangnya, Vira hanya bisa menjadi penonton dalam setiap adegan bahagia yang terpampang di depan mata."Vir. Cobalah hormati Mama Rahma, seperti Silmi menerima kehadiran Ayah.""Wajar saja Silmi menerima ayah. Karena ayah memperlakukan dia dengan baik!""Maksudmu, Mama Rahma memperlakukanmu tidak baik?!""Tanya saja dengan istri tersayang ayah!""Sopanlah sedikit, Vir!""Pa, cukup!" Rahma menahan Ayah Aksa yang terlihat sedikit emosi karena sikap Vira."Tidak ada uang jajan sampai kau bisa menghormati Mama Rahma dan menerima kehadiran adikmu, Silmi!"Vira terdiam. Ini pertama kali dalam seumur hidupnya, Ayah Aksa berbicara kasar padanya.Sakit.
"Sudah berapa kali kukatakan, Vir? Kau tidak usah menyiapkan keperluanku! Aku bisa melakukannya sendiri." Hendra berdiri sambil berkacak pinggang di samping tempat tidur.Setelan jas biru navy senada dengan warna dasi, baju singlet, kemeja lengan panjang berwarna biru langit, lengkap dengan kaos kaki dan sepatu terletak rapi di atas tempat tidur.Setiap pagi Vira menyiapkan semua keperluan suaminya saat lelaki itu sedang mandi. Mulai dari pakaian sampai tas kerja yang isinya telah dia rapikan. Sehingga Hendra terima beres. Tinggal memakai baju dan langsung menenteng tas.Cus, sarapan.Kemudian tinggal berangkat ke kantor dengan tenang."Kita cukup melakukan sandiwara seperti suami istri kalau sedang di depan Mama." "Dan … di depan keluargaku." Vira tersenyum manis sambil mengedipkan sebelah mata.Hendra berdecak sebal melihat Vira sibuk menata isi tasnya. Memasukkan laptop, buku catatan, pulpen, dan banyak printilan lainnya. "Aku bingung, deh, sama kamu, Mas." Vira berjalan mendekat
"Pagi, Ma." Vira menyapa mertuanya yang sudah lebih dulu sarapan."Pagi, Sayang." Mama Lily tersenyum lebar menyambut Vira. Kemudian wajahnya berubah masam saat melihat Hendra mengekor di belakang menantunya.Hendra mengernyitkan kening. Apa salahnya sepagi ini sehingga ibunya bermuka masam saat menatapnya? Sebenarnya anak Mama Lily dia atau Vira, sih?Ck! Hendra berdecak sebal. Memilih makan dalam diam. Dari pada nanti salah bicara lagi."Mas, nanti aku izin keluar ya?" Izin Vira saat mengantar Hendra ke mobilnya. Hendra yang sedang menggandeng bahu Vira berbisik pelan. Mereka memang terlihat romantis ketika di depan keluarga."Berapa kali harus kukatakan?! Berbuatlah sesukamu. Aku tidak peduli."Bisikan Hendra terdengar jelas di telinga Vira. Wanita itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis."Aku suka lelaki yang sedikit kasar sepertimu. Terlihat sangat jantan." Vira balas berbisik dengan suara yang dibuat sangat menggoda.Hendra menggertakkan gigi melihat tangapan Vira. Wanita y
"Jadi, bagaimana?" Vira bertanya setelah semua kembali ke meja masing-masing."Kemarin ada yang menawarkan kerjasama, Bubs."Bubs. Panggilan karyawannya pada Vira, singkatan dari Bu Bos. Biar lebih keren, jadi disingkat saja. Sebenarnya wanita itu lebih senang dipanggil nama, namun mereka tetap merasa harus ada sekat antara bawahan dan atasan saat bekerja. Walaupun di luar mereka berteman baik."Kerjasama apa?""Itulah, dia baru mau menjelaskan langsung pada pemilik usaha katanya." Vano menjawab sambil tangannya tetap sibuk memencet-mencet mouse.Vira memang hanya sesekali datang mengontrol. Jika semua bisa dia selesaikan dari rumah, Vira tidak akan ke kantor. Kecuali seperti saat ini, ada hal yang tidak bisa digantikan oleh yang lain. Dalam seminggu, paling sehari wanita itu datang berkunjung. Tidak heran, sampai detik ini suami dan mertuanya tidak tahu dia punya usaha yang cukup maju."Jam berapa dia datang?" Vira mengangguk mendengar penjelasan Vano."Sebentar lagi, barusan orangny
Inikah Arlin yang selalu Hendra sebut setiap malam? Wanita yang suaminya tangisi dalam setiap mimpinya?Benarkah ini orangnya? Atau hanya kebetulan saja, nama dan ceritanya sama?"Baik. Coba nanti saya bicarakan dulu dengan tim saya ya, Mbak. Apakah mereka bisa sekalian mengurus akun YouTube Mba Arlin atau tidak. Karena, ya maklum. Walau usaha masih kecil, sudah lumayan orderan yang masuk setiap harinya." Vira tersenyum menampakkan kedua lesung pipinya. "Ah! Mbak Vira terlalu merendah." Untuk pertama kalinya Arlin bersuara. Persis seperti suara artis peran tanah air, Asmirandah. Suara yang terdengar manja."Saya baru pulang dari menyelesaikan pendidikan di Jepang. Seperti yang Tika katakan tadi, saya diminta meneruskan usaha keluarga. Hal itu membuat saya tidak mempunyai waktu untuk mengurus akun YouTube saya." Arlin tersenyum menyadari Vira yang menatapnya begitu intens. Apa ada yang salah dengan wajahnya?"Melalui informasi dari beberapa teman, akhirnya saya mendapat nama yang dire
Vira akhirnya memutuskan melanjutkan kuliah setelah dirasa usahanya sudah cukup kuat untuk menggaji karyawan, menabung, memberikan bulanan pada ayahnya dan membiayai kuliah.Walau uang bulanan dari Hendra cukup besar, Vira jarang menggunakannya. Dia lebih memilih menabung uang itu, siapa tahu suatu saat dia dan Hendra benar-benar berpisah. Setidaknya dia punya tabungan yang cukup untuk melanjutkan hidup dan mengembangkan usahanya."Arlin." Vira membisikkan nama itu entah untuk yang ke berapa kali. Ini lampu merah ke dua yang dia lewati. Telunjuk kanan Vira mengetuk-ngetuk kemudi.Lima.Hitung mundur pergantian lampu jalan, dari merah ke hijau mulai mendekati waktunya.Empat. Ketukan telunjuk kanan Vira terus berirama.Tiga.Vira tersenyum saat matanya menangkap anak-anak penjual asongan dan penjaja koran berlarian berusaha mengejar rezeki sebelum lampu hijau menyala kembali.Dua.Semua mata memandang pada lampu. Takut sekali walau telat sedetik saja.Satu.Klap.Lampu merah berganti
Hendra terpana. Mulutnya bahkan sedikit terbuka. Tidak menyangka sama sekali kata itu akan keluar dari mulut Vira. Bukankah selama ini istrinya itu gigih berjuang untuk mendapatkan perhatiannya? Sudah menyerahkah?"Ayo kita bercerai." Sekali lagi Vira bersuara saat dilihatnya Hendra masih terdiam."Jangan bercanda, Vir. Aku tidak suka kau berbicara yang aneh-aneh!" Hendra menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa."Aku serius. Biar aku yang berbicara pada Mama."Hendra menoleh pada Vira. Sedikitpun tidak terlihat raut bercanda dari wajah datar itu. "Vir.""Untuk apa mempertahankan pernikahan ini, Mas?""Jangan sekarang! Beri aku waktu.""Waktu untuk apa? Kalau kau khawatir dengan mama, biar aku yang membereskannya." Vira beranjak berdiri."KUBILANG BERI AKU WAKTU!" Hendra berdiri dan langsung menghalangi langkah Vira yang menuju pintu kamar. "Waktu untuk apa? Kita hanya membuang waktu sia-sia! Minggir! Biar kita selesaikan hari ini." Vira berusaha menerobos Hendra."VIRA!""Kau pikir a
Matahari pagi terasa hangat menyentuh kulit. Wanita berpakaian semi formal itu terlihat menutupi cahaya matahari dengan tangan agar tidak membuat pandangannya menjadi silau.Lantai empat puluh enam. Tempat wanita itu berdiri, menatap kesibukan jalanan di bawah sana dari balik kaca ruangan yang tembus pandang. Jalanan ibu kota padat merayap. Seperti biasa, jam-jam sibuk berangkat kantor. Mobil dan motor terlihat kecil seperti miniatur dari lantai setinggi ini, tersusun panjang mengular. Membentuk tiga barisan. Sementara di sela-sela barisan mobil, beberapa motor nyelip, seenaknya nyempil mentang-mentang kecil.Wanita itu mengalihkan pandangan ke meja kerjanya. Bola mata yang dilapisi lensa kontak berwarna biru itu menatap foto di atas meja.Matanya mendadak basah. Kejadian tiga tahun lalu tiba-tiba datang menyapa. Hadir begitu saja memenuhi ingatan."Ney"Arlin yang sedang duduk di kursi salah satu cafe mengangkat kepala. Terseny