Inikah Arlin yang selalu Hendra sebut setiap malam? Wanita yang suaminya tangisi dalam setiap mimpinya?Benarkah ini orangnya? Atau hanya kebetulan saja, nama dan ceritanya sama?"Baik. Coba nanti saya bicarakan dulu dengan tim saya ya, Mbak. Apakah mereka bisa sekalian mengurus akun YouTube Mba Arlin atau tidak. Karena, ya maklum. Walau usaha masih kecil, sudah lumayan orderan yang masuk setiap harinya." Vira tersenyum menampakkan kedua lesung pipinya. "Ah! Mbak Vira terlalu merendah." Untuk pertama kalinya Arlin bersuara. Persis seperti suara artis peran tanah air, Asmirandah. Suara yang terdengar manja."Saya baru pulang dari menyelesaikan pendidikan di Jepang. Seperti yang Tika katakan tadi, saya diminta meneruskan usaha keluarga. Hal itu membuat saya tidak mempunyai waktu untuk mengurus akun YouTube saya." Arlin tersenyum menyadari Vira yang menatapnya begitu intens. Apa ada yang salah dengan wajahnya?"Melalui informasi dari beberapa teman, akhirnya saya mendapat nama yang dire
Vira akhirnya memutuskan melanjutkan kuliah setelah dirasa usahanya sudah cukup kuat untuk menggaji karyawan, menabung, memberikan bulanan pada ayahnya dan membiayai kuliah.Walau uang bulanan dari Hendra cukup besar, Vira jarang menggunakannya. Dia lebih memilih menabung uang itu, siapa tahu suatu saat dia dan Hendra benar-benar berpisah. Setidaknya dia punya tabungan yang cukup untuk melanjutkan hidup dan mengembangkan usahanya."Arlin." Vira membisikkan nama itu entah untuk yang ke berapa kali. Ini lampu merah ke dua yang dia lewati. Telunjuk kanan Vira mengetuk-ngetuk kemudi.Lima.Hitung mundur pergantian lampu jalan, dari merah ke hijau mulai mendekati waktunya.Empat. Ketukan telunjuk kanan Vira terus berirama.Tiga.Vira tersenyum saat matanya menangkap anak-anak penjual asongan dan penjaja koran berlarian berusaha mengejar rezeki sebelum lampu hijau menyala kembali.Dua.Semua mata memandang pada lampu. Takut sekali walau telat sedetik saja.Satu.Klap.Lampu merah berganti
Hendra terpana. Mulutnya bahkan sedikit terbuka. Tidak menyangka sama sekali kata itu akan keluar dari mulut Vira. Bukankah selama ini istrinya itu gigih berjuang untuk mendapatkan perhatiannya? Sudah menyerahkah?"Ayo kita bercerai." Sekali lagi Vira bersuara saat dilihatnya Hendra masih terdiam."Jangan bercanda, Vir. Aku tidak suka kau berbicara yang aneh-aneh!" Hendra menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa."Aku serius. Biar aku yang berbicara pada Mama."Hendra menoleh pada Vira. Sedikitpun tidak terlihat raut bercanda dari wajah datar itu. "Vir.""Untuk apa mempertahankan pernikahan ini, Mas?""Jangan sekarang! Beri aku waktu.""Waktu untuk apa? Kalau kau khawatir dengan mama, biar aku yang membereskannya." Vira beranjak berdiri."KUBILANG BERI AKU WAKTU!" Hendra berdiri dan langsung menghalangi langkah Vira yang menuju pintu kamar. "Waktu untuk apa? Kita hanya membuang waktu sia-sia! Minggir! Biar kita selesaikan hari ini." Vira berusaha menerobos Hendra."VIRA!""Kau pikir a
Matahari pagi terasa hangat menyentuh kulit. Wanita berpakaian semi formal itu terlihat menutupi cahaya matahari dengan tangan agar tidak membuat pandangannya menjadi silau.Lantai empat puluh enam. Tempat wanita itu berdiri, menatap kesibukan jalanan di bawah sana dari balik kaca ruangan yang tembus pandang. Jalanan ibu kota padat merayap. Seperti biasa, jam-jam sibuk berangkat kantor. Mobil dan motor terlihat kecil seperti miniatur dari lantai setinggi ini, tersusun panjang mengular. Membentuk tiga barisan. Sementara di sela-sela barisan mobil, beberapa motor nyelip, seenaknya nyempil mentang-mentang kecil.Wanita itu mengalihkan pandangan ke meja kerjanya. Bola mata yang dilapisi lensa kontak berwarna biru itu menatap foto di atas meja.Matanya mendadak basah. Kejadian tiga tahun lalu tiba-tiba datang menyapa. Hadir begitu saja memenuhi ingatan."Ney"Arlin yang sedang duduk di kursi salah satu cafe mengangkat kepala. Terseny
"Apa maksudmu, Bee? Aku bahkan sudah mengatakan pada mama dan papa dalam waktu dekat ini keluargamu akan datang meresmikan lamaran." Arlin menatap kekasihnya dengan perasaan campur aduk. Sedikit bingung, sedikit heran, lebih banyak sedih dan sakit. Semua rasa bercampur menjadi satu. Membuat hati semakin sesak, hingga akhirnya air mata keluar tidak terbendung.Hendra menggigit bibir. Aduh! Urusan ini sungguh rumit sekali."Aku sudah menikah, Ney." Hendra memejamkan mata."Hah?!" Arlin menarik tangannya dari genggaman Hendra dengan kasar."Menikah bagaimana maksudmu?!" Arlin mengguncang bahu Hendra.Wanita berkulit putih itu menggeleng kencang. Tidak mungkin! Hendra pasti berbohong. Menikah maksudnya? Bukankah selama empat tahun ini hubungan mereka baik-baik saja? Bahkan Arlin pun cukup dekat dengan Mama Lily. "Aku dijodohkan, Ney." Hendra akhirnya terisak. Sungguh. Dia sangat mencintai Arlin.Arlin terdiam. Dijodohkan? B
"Suatu saat kau akan tahu, Tik. Yang kulakukan ini bukan sekedar "hanya". Aku akan menghancurkan wanita itu dan merebut kembali lelakiku." Bayangan wajah antusias Arlin saat membahas Hendra terpantul jelas pada meja kaca di hadapannya. Wanita itu memang memilih bahan kaca untuk meja kerjanya. Dia selalu menyukai kaca-kaca tembus pandang dan bisa sedikit memantulkan bayangan."Lin. Tidak bisakah kau melupakan Hendra? Di luar sana, banyak yang mengantri untuk mendapatkan perhatianmu."Arlin mengangguk-angguk kecil mendengar perkataan Tika. Wanita itu bergerak bebas berayun ke kiri dan ke kanan dengan kursi kerjanya yang bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat."Tetapi, aku maunya Hendra. Gimana dong?" Arlin menyipitkan mata dan menggoyangkan bahu sedikit. Suaranya yang manja terdengar menggemaskan. Tika tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Ujung matanya menangkap hordeng berwarna silver di belakang Arlin sedikit bergoyang. Hembusan pendingin
"Tring!"Nada pesan di ponsel Vira berbunyi. Wanita yang sedang memasak nasi goreng itu mengerutkan kening. Ujung matanya melirik ponsel warna biru tua yang terletak di atas meja makan."Kok setiap ponselku berbunyi, ponselmu juga berbunyi, Vir?"Vira terlonjak kaget mendengar suara Hendra yang tiba-tiba sudah duduk di meja makan. Bukannya tadi lelaki itu masih mandi saat dia keluar kamar untuk memasak? Kini, saat masakannya baru setengah jadi, bisa-bisanya Hendra sudah berpakaian rapi. Vira menggelengkan kepala heran."Aku ada janji temu rekanan bisnis jam setengah delapan ini, tidak usah heran kenapa aku sudah rapi begini." Hendra seperti bisa membaca keheranan istrinya.Vira mengangguk-angguk menanggapi ucapan Hendra. Dia sibuk memindahkan nasi goreng dari wajan ke dalam wadah. Asap mengepul dari nasi goreng buatan Vira, menguarkan aroma yang sangat menggoda.Setelah itu, Vira menggoreng telur dadar yang sudah diraciknya. Empat buah telur dadar dengan banyak bawang bombay dan tomat
"Vir."Hendra menghentikan makannya yang hampir selesai saat melihat wajah Vira mendadak muram saat membaca pesan di ponselnya. "Ada masalah?"Vira menggeleng pelan. Wanita itu terlihat memaksakan senyum."Sudah sarapannya, Mas? Berangkatlah, nanti terlambat."Hendra mengerutkan kening melihat raut wajah Vira berbeda dari biasanya."Sedikit lagi." Hendra menyendokkan nasi goreng terakhir di piringnya."Oh, iya, Vir. Mama kapan pulang katanya?" "Tiga hari lagi, Mas." Vira menjawab singkat. "Ck!" Hendra berdecak sebal. Mama Lily terlalu gaul menurut Hendra. Ini juga mamanya itu pergi ke luar kota dengan teman-temannya. Menikmati masa tua katanya, saat Hendra protes karena pergi terlalu lama.Hendra melambaikan tangan saat mobilnya keluar dari halaman. Matanya melirik bayangan Vira dari kaca spion. Dia merasa agak janggal dengan sikap Vira. Tidak biasanya wanita yang selalu ceria itu terlihat murung. Sementara bergegas masuk ke kamar saat mobil Hendra menghilang dari pandangan. Wani