Share

Awal Petaka

"Bagaimana, Ma?" Gadis berbando coklat itu menatap mamanya dengan tatapan antusias.

"Ck!" Rahma berdecak sebal.

"Tambah belagu saja itu si Vira." Wanita dengan lipstick merah menyala itu menghentakkan sebelah kakinya.

"Duh! Kenapa lagi dia, Ma?" Silmi menghempaskan badannya bersandar pada sandaran sofa. Wajahnya terlihat sangat kesal.

"Ya biasa, pamer kehidupan mewahnya." Rahma ikut menyandarkan tubuhnya seperti Silmi.

"Ck! Kapan dia transfer?" Silmi menoleh, melihat ibunya yang seperti sedang termenung memikirkan sesuatu.

"Entah. Katanya mau memastikan ke papamu dulu."

"Ih! Nyebelin banget sih. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya. Dia begitu kan karena aku juga!" Silmi melipat kedua tangannya di depan dada.

"Aduh!" Silmi memegang kepalanya yang terasa sakit karena digetok oleh Rahma.

"Jangan bicara seperti itu. Habis kamu sampai papa mendengar omonganmu." Rahma melotot ke arah Silmi.

"Ya, kan memang karena Silmi, Ma." Gadis berambut panjang itu menjawab pelan.

"Diamlah! Ibu heran, bisa-bisanya kamu terlilit hutang begitu besar. Silmi, Silmi. Kemana saja uangnya? Kamu kan masih kuliah! Apa sih memangnya kebutuhan anak kuliah?"

"Lah? Kok, mama malah menyalahkan Silmi? Kan uangnya sebagian besar mama yang menikmati." Silmi tidak terima disalahkan oleh ibunya.

"Maksudmu?" Rahma menegakkan punggungnya.

"Lah? Arisan logam mulia, kumpul-kumpul dengan teman sosialita, ongkos jalan-jalan ke luar negeri setiap bulan. Memangnya mama tidak sadar uangnya dari mana?" Silmi ikut menegakkan punggung.

Rahma mendesah. Wanita berusia setengah baya itu kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Dia memejamkan mata. Ingatannya berputar ke peristiwa tiga tahun yang lalu.

Pukul 21.30 WIB. Tiga tahun yang lalu.

Petir menyambar-nyambar bagaikan lidah api yang terjulur di langit. Hujan deras beserta angin kencang meningkahi malam yang baru saja akan meninggi.

"Saya tidak mau tahu! Silmi berjanji akan melunasi hutang-hutangnya malam ini, Pak Aksa. Saya sudah sangat sabar, menunggu selama tiga bulan ke belakang janji-janji bohong dari putri bapak." Lelaki berambut klimis itu berbicara dengan suara tegas dan lantang. Bersahutan dengan suara petir di luar.

"Tunggu sebentar, Pak Heru. Maksudnya bagaimana?" Lelaki yang biasa dipanggil ayah oleh Vira bertanya bingung dengan kening berkerut.

"Putri bapak meninjam uang pada saya. Dia mengatakan untuk modal merintis usaha yang akan dikembangkan bersama dengan teman-temannya dikampus. Silmi berjanji akan memberikan bagi keuntungan sebesar tiga puluh persen setiap tiga bulan, sekaligus akan melakukan pembayaran angsuran pinjaman. Namun, sudah setahun lebih saya tunggu. Jangankan bagi keuntungan, bahkan cicilan modal pun tidak ada!" Merah padam wajah Pak Heru. Matanya menatap tajam ke arah Silmi yang terus menunduk.

Ayah Aksa menarik napas panjang. Masalah apa lagi yang sekarang dilakukan oleh Silmi? Anak sambungnya itu benar-benar membuatnya sakit kepala.

"Saya tidak tahu apa-apa mengenai uang yang dipinjam Silmi." Ayah Aksa menjawab dingin.

"Tidak bisa begitu, Pak Aksa. Sebagai orangtuanya, anda harus ikut bertanggung jawab!" Pak Heru memukul meja. Emosinya terpancing mendengar jawaban Ayah Aksa tidak sesuai dengan keinginannya.

"Bagaimanapun, salah anda sendiri kenapa mau meminjamkan uang dalam jumlah besar kepada anak kuliahan. Berapa uang yang dipinjam Silmi?"

"Empat ratus lima puluh juta. Hanya pokoknya saja!"

"G*la! Anda sehat meminjamkan uang sebesar itu pada anak kuliahan yang baru akan merintis usaha?" Ayah Aksa tertawa heran.

"Silmi meminjam dengan persetujuan anda, Pak Aksa. Bahkan saat tanda tangan surat perjanjian, Bu Rahma, istri anda, ikut mendampingi."

Ayah Aksa langsung menoleh pada Silmi dan Rahma. Anak dan ibu itu kompak menunduk. Mengunci bibir serapat mungkin. Sementara Vira duduk di sofa paling ujung. Menyandarkan badannya pada sandaran sofa sambil menyilangkan kaki dan tangan. Menjadi penonton setia untuk setiap masalah yang diciptakan adik tiri tersayangnya.

"Saya tidak merasa menyetujui apapun, Pak Heru." Ayah Aksa menggeleng tegas.

"Loh? Maksudnya? Yang benar saja Pak Aksa. Jangan bercanda." Pak Heru tertawa bingung.

"Bukankah anda sudah setuju untuk menggadaikan rumah ini sebagai jaminan hutang?" Pak Heru bertanya dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan. Campur aduk. Sedikit bingung, sedikit ingin tertawa, sedikit bertanya heran.

"Hah?!" Pak Aksa bahkan menunjukkan ekspresi yang susah dijelaskan mendengar perkataan Pak Heru.

"Begini saja, Pak Aksa." Pak Heru akhirnya menarik napas panjang.

"Saya tunggu i'tikad baik dari Silmi dan bapak sampai bulan depan untuk melunasi hutang. Kembalikan saja uang pokoknya, saya ikhlaskan uang bagi keuntungan itu. Kurang baik apa saya kepada kalia? Kalau sampai saya kemari lagi bulan depan, dan uangnya belum ada, terpaksa rumah ini saya ambil alih secara paksa." Pak heru mengangkat tas nya yang tembus pandang, sehingga tas yang berisi surat tanah itu terlihat jelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status