Letnan Jenderal bersama ketujuh bawahannya sudah sampai di sebuah markas yang jauh dari kota. Orang yang dipanggil dengan sebutan Pak Tua itu sudah menunggu kehadiran mereka. Gelak tawa yang patah-patah menjadi salam pembuka sesaat mereka sampai di markas.
“Kalian pasti tidak menemukannya,” ucapnya.
“Sejak 18 tahun yang lalu, aku ingin mencari-cari mereka tapi tidak kunjung ketemu juga.”
“Mereka? Maksud Pak Tua aura merah itu lebih dari pada satu orang?” tanya Luigi yang penasran dengan maksud Pak Tua.
“Mereka adalah kembar, laki-laki dan perempuan.”
Mata Luigi terlihat berbinar. Dia merasa memiliki secercah harapan lagi. Jika mereka berhasil menangkap dua aura merah itu, Luigi yakin cita-cita keluarganya dan Pak Tua akan terwujud.
“Kau melihat rupa anak itu?” tanya Pak Tua kepada Luigi.
&ldqu
Pak Tua meneruskan ceritanya. Tidak hanya Luigi yang mendengarkan cerita itu dengan serius, ketujuh bawahan Luigi juga mendengar ceritanya lamat-lamat.“Setelah melakukan berbagai persiapan, semua anggota klan Freiberg dan Buhler berkumpul. Mereka berdoa dan memberikan darah segar mereka dengan melukai telapak tangan mereka. Darah itu langsung mereka alirkan di celah-celah antar dimensi. Hampir semua warga menyaksikan kejadian itu. Celah yang sudah dialiri oleh darah segar mengeluarkan cahaya. Kejadian itu tidak bisa dilupakan pada warga. Celah itu sukses tersegel. Semua orang yang melihat itu bersorak-sorai. Mereka bersuka cita karena tidak akan ada lagi yang mengganggu mereka. Darah segar yang telah dialirkan, tidak tahu bagaimana caranya, berkumpul di sebuah titik yang sama. Darah itu rupanya tidak hilang setelah berhasil menyegel celah.Orang-orang yang berada di tempat itu satu per satu pergi. Hanya beberapa orang yang tetap di te
Warren dan Gunther memasukkan kuda mereka ke kandang. Perasaan Warren setelah sampai di militer merasa tidak enak. Dia seperti merasa ada sesuatu yang janggal terjadi. Gunther yang kelelahan karena latihan pedang pagi tadi dan berkuda berkilo-kilo meter merenggangkan kedua tangannya.“Kapten, apa kau tidak merasa lelah?” tanya Gunther yang masih menggerakkan sendi-sendi di tubuhnya. Warren tidak menjawab pertanyaan Gunther. Dia sibuk dalam pikirannya.“Kapten, kau tidak perlu memikirkan masalah tadi. Kita pasti bisa menyelesaikannya bersama. Masalah demon itu tidak bisa hanya dipikirkan seorang diri. Kita harus-”“Shhh! Tidak perlu banyak bicara. Aku tidak sedang memikirkan demon, aku sedang memikirkan Karleen.”“Astaga! Baru beberapa jam setelah kita bertemu Karleen, kau suda merindukannya? Ckckck, benar-benar. Orang yang jatuh cita memang seperti itu, ya.” Gunther
Kenan berjalan mondar-mandir di depan ruangan tempat Karleen dirawat. Sudah tiga jam dia tidak siuman. Edwyn dan Lisette sudah berulang kali mengingatkan Kenan untuk tidak perlu khawatir.Di saat Kenan sedang sibuk dengan kecemasannya, Edwyn dan Lisette berbisik-bisik membicarakan Kenan. Mereka berdua sama bingungnya dengan sikap yang ditunjukkan oleh Kenan. Mereka tidak mengerti mengapa Kenan yang baru saja mengenali Karleen bersikap seperti itu."Kalian," ucap Kenan yang memberhentikan langkah mondar-mandirnya. Edwyn dan Lisette dengan sigap membalikkan badan mereka.“Ada apa?” tanya Edwyn yang sedikit gelagapan.“Aku tahu sejak tadi kalian membicarakanku.” Edwyn dan Lisette sontak kaget dengan apa yang dikatakan Kenan. Mereka bertanya-tanya bagaimana bisa Kenan mengetahui jika Edwyn dan Lisette membicarakannya.“Jika aku memberit
Sudah berpuluh-puluh menit berlalu. Warren masih tetap menunggu kedatangan Karleen bersama sahabatnya di gerbang. Dia masih merasa cemas dengan perasaannya yang tidak enak. Dua buah kereta kuda berhenti tepat di depan gerbang. Mata Warren bergetar saat menangkap sosok Karleen yang terlihat sangat lemah. Perasaannya tidak salah. Karleen terlihat pucat.Tanpa memikirkan pandangan pengawal kompleks, Warren memacukan langkah kakinya menuju kereta kuda yang ditumpangi oleh Karleen bersama Lisette. Matanya sedikit memicing ketika melihat Conrad yang membantu menopang tubuh Karleen.Dengan gerakan cepat tetapi tidak kasar, Warren menggantikan Conrad menopang tubuh Karleen.“A-arren?” panggil Karleen pelan dengan bibir pucatnya. Warren menahan tangisnya. Tanpa sadar dia merengkuh tubuh Karleen yang lemah. Dia tidak menyangka Karleen yang sangat bersemangat berlatih pedang tadi pagi berubah menjadi gadis yang terkulai
Karleen pura-pura tidur selama Warren menggendongnya. Dia sangat beruntung karena sejak awal digendong, Karleen membenamkan wajahnya. Jika tidak, Warren akan tertawa melihat wajahnya yang semerah tomat. Ingin rasanya Karleen membisikkan Warren untuk berjalan dengan lambat. Tapi itu tidak mungkin, dia tidak ingin anak-anak lain sudah selesai makan malam dan melihat mereka.Telinga Karleen geli. Warren berulang kali mengucapkan kata yang mungkin saja tidak bisa Karleen katakan. Karleen berusaha kuat untuk tetap tenang. “Karleen, apa kau tahu? Aku tidak mungkin bisa mengatakan ini jika kau tidak tidur sekarang.”Karleen benar-benar gemas mendengarnya. Ingin sekali dia berteriak membalas ucapan Warren. Meskipun hanya kata-kata menyukai, Karleen tidak menyangka akan memberi efek yang begitu hebat kepada hatinya. Dia tidak ingin membayangkan Warren mengucapkan kata yang lebih hebat dari pada itu suatu hari nanti.&
Conrad kembali bersama Kenan. Sejak tadi, raut wajah Kenan sedih. Dia mengerti perasaan Kenan. Akan tetapi, Conrad tidak mau ambil pusing. Dia hanya mengamati Kenan dalam kesunyian.Kereta kuda itu sampai di pinggir kota. Malam mulai menyingsing. Tanpa kata, Kenan hanya mengikuti kemana langkah kaki Conrad melangkah.Mereka tiba di sebuah restoran berbintang. Dengan suasana kondusif di sini, dia berharap percakapan mereka nanti bisa berjalan lancar. Mereka duduk di kursi yang berhadapan.Seorang pelayan yang mengenakan jas hitam menghampiri mereka. Dua buah buku menu bersampul merah, pelayan itu berikan kepada Conrad dan Kenan.Mata mereka berdua menyelidiki berbagai menu yang tersedia di sana. Tidak hanya makanan khas Jerman saja, makanan khas Italia pun juga ada. Kenan sedikit berekspresi ketika melihat harga menu yang mahal. Dari interior restoran Kenan bisa pastikan hanya orang kelas meneng
Gunther menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. Seakan sedang tidak berada di ruangan, Warren menyelonong masuk dengan ekspresi wajah yang sangat aneh. Gunther menggurutu dengan suara pelan.Warren duduk dengan sembarangan ke atas sofa. Wajahnya sangat merah. Dia menundukkan wajahnya dan mengusap-usapnya berulang kali. Gunther bisa menebak mengapa wajahnya bisa semerah tomat seperti itu.“Ehem.” Gunther berdeham dengan sangat kencang.Tidak ada tanggapan dari Warren. Dia seperti sedang berada di dunianya sendiri. Tawa kecil keluar dari mulut Warren, membuat Gunther tersentak dan hampir jatuh.“Kapten sudah gila sepertinya,” gumamnya pelan.Gunther menghampiri Warren dengan duduk tepat di sebelahnya. Dia memerhatikan kaptennya itu dari samping. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Tidak hanya wajahnya yang merah, telinganya pun juga merah.
Karleen merasakan degup jantungnya tidak beraturan. Dia masih belum percaya dengan yang dialaminya barusan. Warren. Entah apa yang dipikirkan Warren sehingga dia berani berbuat seperti itu. Karleen tidak marah. Dia hanya merasa sangat bingung dengan tujuan Warren.Sudut mata Karleen mengeluarkan air. Lisette yang melihatnya kembali panik. Dia mengusap air mata Karleen dengan cekatan. Mata Lisette menatap teduh tubuh Karleen yang masih tampak lemah.“Kau masih merasa sakit, Karleen?”Karleen menggeleng pelan.“Ayolah, kau makan bubur ini dulu sampai habis. Kau hanya makan di waktu pagi saja tadi. Aku khawatir maagmu akan kambuh.”“Aku tidak apa-apa, Lisette. Aku hanya perlu beristirahat sebentar. Jangan khawatirkan aku lagi. Kau bisa kembali ke kamarmu,” ucap Karleen lemah.“Mana bisa begitu Karleen. Aku tahu betul kon