Ben berguling kesana kemari dengan tak nyaman layaknya cacing kepanasan. Tubuhnya lelah, tapi rasa kantuknya menguap begitu saja. Ben mencoba beberapa kali memejamkan mata. Ia ingin sekali beristirahat. Akan tetapi, semuanya tak berjalan dengan keinginannya hingga membuat Ben frustrasi sendiri.Pria bermata coklat itu akhirnya bangkit dari posisi tidurnya sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Ben merasa kesal sekarang. Karena ulah Flora, ia tak bisa melanjutkan kembali istirahatnya. Napasnya terlihat cepat dengan wajah yang sedikit memerah karena emosi."Sialan! Aku tak bisa tidur lagi gara gara jalang gila itu," Ben mengumpat dengan amarah yang membumbung tinggi di dadanya. Pria itu mengedarkan pupil mata coklatnya ke seluruh penjuru kamar yang cukup luas ini, bermaksud mencari sesuatu yang menarik yang setidaknya bisa membuat ia mengantuk. Hanya saja, "hal" itu tak dapat ia temukan selain furniture di dalam kamarnya. Tanpa sengaja, Ben melihat jaket yang tergantung di dekat lem
"Kau akan segera mengetahuinya,"Kai tersenyum kecil, lalu melirik ke arah semak semak yang berada tak jauh dari tempatnya saat ini. Setelah itu, Kai segera mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dan mencari nama kontak seseorang.Begitu mendapatkan apa yang ia cari, senyuman Kai terlihat semakin lebar. Ia segera menekan tombol untuk memanggil orang itu. Kai mendekatkan ponselnya ke telinga dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibirnya.Hal ini tentu saja membuat Ben merasa bingung dengan apa yang dilakukan oleh adik sahabatnya itu. Mata coklatnya mengerjap kecil tanpa berkomentar, memberi ruang untuk Kai agar pria itu melakukan apa yang ia mau.Tak berselang lama, suara nada dering telepon terdengar begitu menggema di danau yang terasa sunyi itu. Kai mengikuti arah bunyi itu dan melihat jika semak semak di dekatnya bergerak ribut, padahal tak ada angin yang menerpa. Kai harus menahan tawanya melihat situasi yang sangat menarik ini."Uncle, apa itu?" Tanya Terry yang rupanya memp
Ben bisa melihat ada riak terkejut di wajah manis milik Ivy. Mata hijau itu terlihat membulat seolah akan keluar dari tempatnya. Mulutnya terbuka, sedikit menampilkan gigi taringnya yang mungil layaknya anak kucing. Wajahnya memucat seperti kertas yang baru saja dibuat, serta tubuhnya terlihat menegang.Ben tertawa kecil menikmati ekspresi itu. Ekspresi submissive yang begitu menggoda. Ia ingin melihat lebih dati ini. Maka dari itu, Ben kembali melontarkan pertanyaan yang bersifat pribadi dengan nadanya yang begitu menggoda, terdengar serak dan juga dominan."Ya, imbalan lain. Kau sudah izinkan untuk masuk ke dalam mobil mewahku ini. Bukankah rasanya tak sebanding jika imbalannya hanya mengucapkan terima kasih saja?"Ivy menggigit bibirnya dengan keras hingga tak terasa melukainya. wajahnya terlihat panik. Mata hijaunya bergulir ke sana kemari tak tentu arah. Otaknya berpikir dengan keras bagaimana caranya agar bisa keluar dari situasi ini."Miss Ivy, kenapa kau tak menjawab pertany
Ivy bungkam. Ia tak ingin menjawab pertanyaan itu. Mengingatnya saja sudah membuatnya membenci dirinya sendiri, apalagi menceritakannya pada orang lain. Ia belum siap dicaci maki oleh orang lain karena kejadian gila itu.Ben sendiri juga tak menekan Ivy untuk menjawab pertanyaannya. Ia hanya diam sembari membiarkan Ivy menangis sesukanya. Ben kebingungan harus apa untuk menghibur wanita beranak dua itu.Suasana di mobil terasa begitu sendu. Hanya suara tangisan Ivy saja yang terdengar menandingi suara hujan deras diluar. Terra dan Terry segera berdiri lalu memegang tangan Ivy yang terjulur bebas."Mommy," panggil si kembar dengan nada sendu. Kedua manik hijau si kembar berkaca kaca, siap untuk menumpahkan air mata yang sudah tertampung di pelupuk mata.Ivy yang mendengar panggilan itu segera menoleh, menatap si kembar dengan matanya yang terlihat sembab. Wanita muda itu segera menyeka air matanya dengan tisu yang berada di tangannya deng
Steve melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul 10 malam. Waktu berlalu begitu cepat setelah pertengkarannya dengan Flora ketika berada di dapur tadi.Steve menolehkan kepalanya ke arah jendela yang masih menampilkan hujan badai. Steve mendesah kasar lalu segera meminum kopi yang sudah lama mendingin hingga tandas. Gelas yang sudah kosong itu ia simpan di bawah tempat tidur karena ia sedang malas menyimpannya di atas laci nakas. Setelah itu, pria berambut merah muda itu segera menyimpan naskah yang ia pegang ke atas meja yang letaknya bersebrangan dengan tempat tidurnya, setengah membantingnya karena jaraknya cukup jauh. Beruntung naskah itu tak berhamburan ataupun jatuh ke atas lantai.Steve segera meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berbaring, lalu segera membuka layar dengan kata sandi yang sudah ia hapal di luar kepala."Ben sudah pulang belum ya?" Gumamnya pelan sambil mengetukkan tangan di dagu, meng
Ethan dan Kai kini tengah duduk di ruang tamu apartemen milik Jake. Kedua pria itu terdiam satu sama lain, enggan mengobrol untuk sekedar memecah keheningan yang tercipta diantara keduanya. Saat ini, Ethan sedang fokus dengan ponselnya—yang mana ia tengah bekerja— sementara Kai sendiri memilih untuk bermain game online. Karena kesal menunggu Jake yang entah sedang melakukan apa di kamar mandi, Kai melempar ponselnya ke samping sofa, lalu meregangkan badannya yang terasa sakit dan juga pegal."Haah, bosannya,"Kai melenguh kecil sembari mengusap dengan lebar. Pria itu hampir saja tertidur karena terlalu lama menunggu Jake yang belum datang hingga saat ini.Ethan melirik ke arah "teman barunya" itu dengan tatapan sinis. Senyuman miring tercetak di wajah tampannya. Ia tak berkata apapun dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya daripada mengomentari tingkah Kai yang membuatnya kesal setengah mati. Sejak awal, Ethan memang kurang
"Oh, Jayden. Aku tak menyangka kalau kau datang ke bar milikku," Archer yang sedang berbicara dengan salah satu koleganya langsung membalikkan badan begitu melihat sahabatnya datang mengunjunginya.Pria berkulit Tan itu tersenyum tipis sembari saat melihat Jayden yang saat ini tengah menaruh payungnya di gantungan khusus yang terletak di samping pintu masuk.Jayden menolehkan kepalanya ke arah sumber suara lalu berjabat tangan dengan Archer, tak lupa juga berjabat dengan para kolega milik pria itu, meskipun Jayden tak mengenalnya."Well, aku sedikit bosan dengan klub milikku. Sesekali aku ingin keluar dan beristirahat sejenak," kelakar Jayden dengan tawa kecil yang mengiringinya. "Aku tak mengganggu waktumu kan, Archer?" Tanya Jayden lagi menyambung perkataannya."Dasar kau ini. Tentu saja kau tak menggangguku. Lagipula, urusanku dengan kolegaku juga sudah selesai," sahut Archer dengan senyuman manis. Pria berkulit Ta
Steve menghela napas panjang sembari memegang lututnya yang terasa sakit. Napasnya terengah dengan dada yang terasa sesak. Bulir-bulir keringat keluar dari sekujur tubuhnya. Badannya terasa panas dan wajahnya terlihat memerah. Pria berambut merah muda itu melepaskan masker yang ia gunakan untuk meraup napas lebih banyak. Steve bernapas menggunakan mulut karena rasa sesak yang tak kunjung hilang akibat terlalu lama berlari dari dua orang yang mengejarnya. Sesekali, pria itu akan menyembulkan kepalanya dari balik tembok untuk melihat apakah orang yang mengejarnya itu berada dekat dengan posisinya saat ini atau tidak."Sialan! Gara gara file ini, aku dikejar oleh mereka sampai kelelahan seperti ini," umpat Steve sembari menyeka keringat yang berada di dahinya. Matanya melirik ke arah file yang terdapat di tangan kanannya.Saat akan keluar dari tempat persembunyiannya, tubuh Steve menegang ketika mendengar suara derap kaki yang m