“Ayah!” Panggilan dari Delvin untuk Daryn mengalihkan perhatian kedua orang itu.
Delvin menatap Daryn yang mencoba tersenyum padanya setelah menenangkan dirinya.
Melihat Delvin yang tampak lemah di matanya, Daryn menghampiri lantas memeluknya erat. Hatinya terluka dengan apa yang dikatakan Sandra. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang mereka.
“Maafkan Ayah, Delvin,” ucap Daryn pelan. Delvin membalas pelukannya, mengusap punggung lebar Daryn dengan tangannya yang kecil.
Entah mengapa, ada yang mengusupi hati Fara melihat pemandangan itu, rasanya hangat sekaligus membingungkan karena sekali lagi melihat wajah Delvin mengingatkannya pada masa lalu, tentang seorang anak di bawah guyuran hujan dan simbahan darah serta tangisan yang begitu menyayat hati. Namun, suara dering ponselnya menyita perhatian.
Fara sedikit menjauh untuk menerima panggilan.
“Baik. Aku akan kembali sekarang,” katanya pada sambungan dan menutupnya kemudian.
Ayah dan anak itu sudah melepaskan pelukan mereka. Daryn mengusap lembut wajah Delvin, dan anak itu mendongak melihat Fara yang mendekat.
“Aku harus pergi,” katanya pada Daryn lalu mengalihkan perhatiannya pada Delvin. “Adik kecil, senang bertemu dengamu. Kakak harus pergi sekarang karena ada panggilan, semoga bisa bertemu lagi denganmu, ya?”
Delvin menganggukkan kepalanya. “Ya,” balasnya dengan suara yang terdengar lucu.
Fara tersenyum. “Jaga dirimu ya, sampai jumpa.”
Bocah itu mengiyakannya lalu mengangkat tangannya untuk membalas lambaian tangan Fara yang bergegas pergi dari sana meskipun kakinya terlihat pincang, sikunya terasa pedih serta pipinya yang terasa panas karena ulah perempuan tadi.
Sekali lagi, melihat punggung Fara yang menjauh mengingatkan Daryn pada sosok gadis misterius itu, dalam keremangan cahaya, di bawah guyuran hujan lebat, dan dengung suara sirine mobil ambulance juga polisi.
“Apakah itu kau?” Dadanya bergemuruh, bayangan itu sudah hampir hilang di benaknya tapi sekarang kembali lagi setelah tiga tahun lalu sejak kejadian tragis yang menimpa sang kakak dan keponakan tersayangnya.
Selepas kepergian Fara, tak lama kemudian seorang wanita memasuki ruangan itu mengejutkan Daryn.
“Apa yang kau lakukan pada Sandra?” tanya wanita itu.
Kedua mata Daryn justru mengerjap bodoh.
“Ibu melihatnya di depan dan dia menangis, bahkan tak menyapaku, lalu aku melihat seorang gadis lain keluar dari ruangan ini. Apa maksudnya itu?” tuntutnya tajam.
“Ibu bertemu dengannya?” Daryn kaget mendengar pengakuan ibunya yang melihat Fara keluar dari ruangannya.
“Ya! Kau ….”
“Aku akan menjelaskannya nanti. Delvin lelah, dia ….”
“Ada apa dengannya? Kau, apa yang kau lakukan kali ini padanya, hah? Bagaimana kau menjadi ayah untuknya kalau tak bisa menjaga anak itu dengan baik?” cerca sang ibu.
Tak mempedulikan lagi putranya, wanita itu menghampiri Delvin yang masih duduk di tempatnya dan dengan lembut penuh kasih sayang bertanya padanya membuat Daryn tak habis pikir. Yang ada di pikiran ibunya pasti hanya Delvin.
“Ibu akan membawanya pulang. Kalau kau tak bisa menjaganya dengan baik, jangan pernah mendekatinya lagi atau membuat janji dengannya!”
Daryn terngaga mendengar apa yang dikatakan sang ibu, bahkan tanpa mendengar protesannya, ibunya sudah membawa Delvin pergi dari sana. Dia menghela napas kasar, mengacak rambutnya lalu mendesah.
“Semua gara-gara gadis itu. Lihat saja, aku tak akan membiarkannya begitu saja,” katanya berjanji dengan tatapan mata tajam mengarah ke depan, bertekad untuk membalas Fara.
Namun, dia bahkan tak tahu siapa nama gadis itu dan di mana dia bisa menemukannya.
“Sialan!” umpatnya.
***
Usai pertemuannya dengan Daryn dan anaknya, pikiran Fara terus teringat pada kejadian lampau yang dia alami. Sesuatu yang sempat dia lupakan karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, karena kejadian itulah bisa mengubah hidupnya, dan menentukan pilihan untuk mencapai posisinya sekarang.
Namun, apa yang telah terjadi waktu itu cukup membekas, bayangan seorang wanita muda yang bersimbah darah meminta tolong padanya dengan suara yang amat lemah, memohon agar menyelamatkan putranya yang masih kecil waktu itu. Hujan dan petir serta kegelapan malam menjadi latar yang mengerikan.
Fara menghela napasnya dalam, dia menengadahkan wajahnya ke langit malam tanpa bintang. Apa maksud dari semua itu? Pertemuannya dengan Delvin, anak yang sempat dia selamatkan siang itu membuatnya mengingat kembali kejadian tiga tahun lalu.
“Aku jadi ingin tau, bagaimana kabarnya sekarang?” lirihnya pada langit malam.
Tidak ada yang bisa Fara lakukan ketika itu selain membawa anak kecil yang terluka. Sebuah kecelakaan hebat merenggut tiga orang dewasa di jalanan yang gelap disertai hujan lebat dan petir. Di ambang kematiannya sang ibu sempat berpesan padanya, itu sebabnya dia hanya bisa membawa anak itu pergi dari lokasi kecelakaan.
“Aku titipkan dia padamu, tolong jaga anakku, selamatkan dia kumohon,” ucapnya dengan terbata.
Tubuh Fara bergetar ketakutan ketika itu tapi dia harus menyelamatkan anak kecil yang menangis dalam gendongannya. Sang ibu terjepit di jok belakang mobil yang terbalik, anaknya yang berhasil dilindungi tapi kondisinya tak baik kala itu. Sempat dia melihat sang ayah yang tak sadarkan diri begitu juga sopirnya, hanya sang ibu yang lemah memohon padanya. Begitu menelepon ambulance dan melaporkan kalau ada kecelakaan di jalan raya yang sepi itu, dia menenangkan si anak yang terus menangis sambil menunggu paramedis datang untuk menolong. Namun sayangnya, sang ibu dan ayah anak itu tak selamat, hanya si kecil yang kemudian dia bawa ke rumah sakit untuk pertolongan lebih lanjut.
Malam pekat menyelimuti dunia yang tampak tenang, di balik gulita itu ada sebuah garis takdir yang telah ditentukan. Akankah pertemuan itu terjadi kembali?
Fara memutuskan untuk tidur, tubuhnya lelah dan kakinya sakit, besok dia masuk harus masuk kerja.
“Aku ingin tahu bagaimana keadaanmu sekarang,” katanya sebelum tenggelam dalam mimpi indah.
Siapakah yang sebenarnya telah Fara selamatkan ketika itu? Meskipun hanya seorang anak kecil, tapi karena itu dia bisa menentukan pilihannya untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi dalam pengabdiannya sebagai seorang dokter. Kala itu Fara harus memutuskan untuk mengambil spesialisasi apa.
Di sisi lain, Daryn yang belum tidur menatap laci meja kerjanya yang terbuka, di dalamnya terdapat sebuah kotak perhiasan, dia mengambil dan membukanya, ada seuntai kalung. Dia menyentuh bandulnya berbentuk huruf. Ingatannya kembali mundur ke waktu ketika dia tiba di suatu tempat yang ramai oleh suara sirine mobil polisi dan ambulance serta orang-orang. Hujan turun lebat menyebabkan pandangannya mengabur, tapi dia masih bisa melihat punggung seseorang yang membawa keponakannya pergi dari lokasi kecelakaan tragis. Dia hendak mengejarnya tapi mereka sudah lebih dulu pergi, dan hanya mendapati sebuah kalung di atas aspal yang basah.
“Di mana kau sebenarnya? Mengapa kau menghilang?” gumam Daryn menatap kalung itu.
Menghela napasnya dalam, dia kembali menutup kotak perhiasan tersebut dan mengembalikannya ke dalam laci lalu menutupnya dan dia pergi ke kasur untuk tidur, tapi sebelum itu dia memperhatikan wajah damai anaknya yang tertidur di kasurnya.
“Selamat malam, aku menyayangimu,” ucapnya mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Delvin yang malam ini ingin tidur dengannya.
Takdirkah di balik kejadian itu? Apakah mungkin ada sebuah kebetulan yang tanpa alasan? Konon, setiap kejadian pasti ada alasannya, dan tidak ada kebetulan yang tak berdasar. Tuhan telah menuliskan scenario untuk kehidupan manusia.
Mata itu belum terpejam, hanya memandang langit-langit kamarnya. Alih-alih memikirkan kejadian siang tadi saat hubungannya dengan sang kekasih berakhir, Daryn justru mengulang kembali kenangan tragis yang dialami kakaknya. Pikirannya dipenuhi oleh sosok gadis yang hanya dia lihat punggungnya serta nyanyian gadis itu yang terdengar.
“Lihatlah aku di sini tak akan sendiri wahai bintang.” Bait lagu itu membekas dalam benaknya.
“Siapa kau sebenarnya?” tanyanya pada hening, benaknya menampilkan bayangan Fara yang memicu kembalinya bayangan gadis misterius yang membawa keponakannya pergi waktu itu.
Fara sedang duduk di kursi sebuah restoran untuk makan siang. Dia sedang ingin keluar maka dari itu mengajak temannya untuk ikut dengan alasan tidak mau makan sendirian, nyatanya dia hanya ingin melamun. Ada jeda satu jam untuk makan siang dari kerjaannya dan itu bisa dimanfaatkan Fara untuk melamun, teringat kembali pada kejadian kemarin.“Kakimu bagaimana?” temannya bertanya sambil meletakan makanan penutup di depan Fara yang sejak tadi diam.Gadis itu melirik kakinya di bawah meja lalu menggerakannya.“Sudah tak terasa sakit setelah melakukan pengobatan,” jawab Fara.Temannya mengangguk sambil menyuapkan makanan penutup ke mulutnya. Fara yang traktir jadi Ira memesan makanan sesuka hatinya, berhubung suasana hati Fara sedang buruk jadi dia memanfaatkan itu untuk memerasnya karena di saat seperti itu Fara tak akan peduli.Ira memperhatikan ekspresi wajah Fara yang tampak begitu serius dari biasanya. Gadis cantik yang selalu berpenampilan ala kadarnya itu tak pernah terlalu lama terj
Fara balas menatap Daryn tak kalah tajam. Rahang keduanya mengeras. Dari sorot matanya Fara pikir pria itu tak akan bisa dengan mudahnya melepaskan dirinya. Bila terlalu lama di sana, dia akan kehilangan nyawa anak itu. Otaknya berpikir cepat selagi tatapannya masih terpancang pada iris mata Daryn.Dari kedua iris kelam pria di hadapannya yang masih mencekal pergelangan tangannya, tatapan Fara turun melewati pangkal hidung Daryn lalu berhenti di bawahnya, tepat pada kedua bibir itu.Ini gila! Jangan lakukan. Hatinya menjerit memberi tahu. Tapi kalau dia tak bertindak, nyawa seseorang terancam, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia pikirkan saat ini meskipun memang gila.“Aku sungguh harus pergi sekarang. Hanya satu cara supaya aku bisa pergi, jadi jangan salahkan aku melakukan ini, kau sendiri yang tak mau melepaskanku,” kata Fara.Kedua alis hitam Daryn yang memayungi kedua matanya itu terangkat mendengar apa yang dikatakan gadis itu.Hanya dalam satu kedipan mata saja kejadian
Pertemuan dan kejadian itu cukup mengganggunya, bahkan membuat waktu tidurnya terganggu. Dia tak bisa memejamkan mata karena kejadian itu menghantuinya, kecupan singkat yang menyebalkan bagi Daryn. Namun tanpa sadar jarinya menyentuh kedua bibirnya sendiri, merasakan sentuhan itu.“Apa yang aku pikirkan?” tegurnya begitu tersadar dari lamunan.Daryn mengakui kegilaan Fara yang berani sekali melakukan itu padanya.“Apa maksudnya?” Dia bertanya entah pada siapa.Keheningan malam terasa begitu tenang. Hanya terdengar bunyi jangkrik dan binatang malam di kejauhan. Di remangnya cahaya lampu tidur, Daryn berbaring di atas ranjang, selimut menutupi setengah tubuhnya, kedua tangannya berada di atas dada, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar, pikirannya berkelana lagi pada kenangan masa lalu dan pertemuannya dengan gadis itu.“Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya?” gumamnya ambigu.Di hati kecilnya, Daryn berharap gadis itu adalah sosok yang dari masa lalunya, seseorang yang meninggalkan p
“Ini yang terakhir?” Fara bertanya begitu pasien yang dirawat jalannya telah selesai konsultasi.“Ya,” sahut seorang perawat yang menemaninya. “Namun, ada yang aneh,” katanya melihat kertas di tangannya.Fara mendongakan wajahnya menatap pewarat itu seakan bertanya dalam diam.“Ada apa?”“Di sini tidak dijelaskan apa-apa selain konsultasi,” jawab perawat itu.Dahi Fara mengerut, entah kenapa firasatnya tak enak.“Coba kulihat, Delvin Aezar?” Kerutan di dahi Fara semakin banyak dan dalam membuat kedua alisnya nyaris bertemu. Nama itu terasa tak asing. “Persilahkan masuk,” katanya.Perawat itu hanya mengangguk, mengiyakan instruksi Fara untuk memanggil pasien terakhirnya yang sedikit aneh. Dia sendiri fokus pada layar laptop di depannya dan beralih ke data y
Fara tak menunggu Daryn, dia terus berjalan meninggalkan pria itu sejauh mungkin bahkan ketika namanya dipanggil pun dia tak menoleh. Perasaannya sedang kesal, itu sebabnya dia tak menghentikan langkah. Namun anehnya, Daryn sama sekali tak mengeluh dan mengikuti saja ke mana langkah kaki gadis itu membawa seolah dia menikmatinya, memantau kekasih yang merajuk.Sekali lagi, perhatiannya tefokus pada punggung Fara yang masih berjalan di depan. Meskipun jaraknya cukup jauh, Daryn bisa dengan mudah mengimbangi langkah gadis itu. Namun sekarang, ingatan masa lalunya kembali terpicu ketika melihat punggung kecil itu.“Tiga tahun berlalu, dia pasti berubah,” katanya bergumam, meyakinkan dirinya ada banyak gadis yang memiliki punggung serupa, tetapi entah mengapa bertemu gadis itu ingatan kelamnya terpicu.Fara akhirnya berhenti di zebra cross perasaanya campur aduk, sungguh tak nyaman sekali di ikuti seorang pria. Dia mungkin pergi makan malam bersama rekan pria juga tapi tak pernah terlibat
Daryn pulang setelah mengantarkan Fara ke rumahnya. Pria itu sama sekali tak menjelaskan apa pun sepanjang jalan mengantarkan gadis itu, hanya mengatakan kalau dialah yang dicarinya, hal itu justru membuat Fara semakin bingung.Dia terlihat bahagia bak orang jatuh cinta, tak hentinya tersenyum seperti orang gila, bahkan sesekali bersenandung dengan riangnya. Namun semua itu sirna seketika saat suara wanita mengintrupsinya di ruang tengah menuju kamarnya.“Dari mana kau?” Suara itu dingin dan datar. Sosoknya duduk di sofa yang seperti singgasana, menenggelamkan tubuhnya dari belakang tapi suaranya mengagetkan berhasil menghentikan langkah Daryn.“Aku pikir siapa. Sedang apa Ibu di situ?” tanya Daryn tetap berdiri di tempatnya.“Duduklah,” katanya dengan nada perintah.Merasakan atmosfer yang tak enak membuat Daryn mau tak mau menurutinya dan duduk di sofa tak jauh dari sang ratu yang menahan murka. Daryn bahkan tak berani mengangkat wajahnya terlalu lama.“Apa yang kau lakukan seharian
“Dia sungguh datang kemarin?” Ira merecoki Fara ketika baru sampai di rumah sakit. “Seluruh staf heboh sekali membicarakanmu, Far,” katanya.Fara tak peduli dia terus berjalan. Apa yang Daryn lakukan padanya kemarin itu membuatnya kesal. Tanpa menjelaskan apa pun pria itu tiba-tiba memeluknya, bukankah itu terasa aneh, bahkan menolak untuk melepaskannya. Sikapnya semakin aneh ketika sepanjang jalan mengantarnya pulang pria itu tersenyum senang.“Itu salahmu, Ira! Kau yang memberi tahu dia kalau aku bekerja di sini, bukan?” tuduh Fara menghentikan langkah kakinya untuk menghadapi rekannya yang satu ini.“Yah, apa yang bisa aku lakukan? Waktu itu dia hendak mengejarmu dan tak membiarkanmu, jadi aku tak punya pilihan ….”“Itu hanya akalanmu. Ada banyak pilihan, salah satunya adalah, diam!” tekan Fara di akhir katanya.Ira seketika membungkam mulutnya, tapi tak di pungkiri dia tak bisa menahan senyumnya. Bukan senang karena temannya menderita, tapi sedang akhirnya ada yang bisa menembus t
Sandra mengikuti Daryn hingga ke ruangannya, dia tak peduli dengan tatapan heran para karyawan yang berpapasan dengan mereka. Daryn mungkin sudah biasa memasang wajah dingin dan datar, tapi dia membalas sapaan para karyawan perusahaannya dengan anggukan meskipun hanya sekilas. Tapi kali ini mereka juga menyadari kalau ekspresi wajah Daryn tampak tak beres.“Jadi, apa maumu?” tanya Daryn tanpa menoleh pada Sandra yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Aku, ingin mengatakan sesuatu padamu,” katanya pelan. Jelas ada keraguan dari nada bicaranya, dan lidahnya pun tampak begitu kaku.Daryn menunggu sembari menghadapnya dan melipat kedua tangannya. Apakah Sandra akan meminta maaf atas apa yang dia katakan waktu itu, menjadi penyebab putusnya hubungan mereka? Namun, Daryn kecewa saat Sandra mengatakan sesuatu yang tak ingin dia dengar.“Aku salah, jadi aku mengakuinya. Namun, kau juga salah karena bersama wanita itu,” katanya. Bahkan tatapan Sandra berubah menyadi amarah.“Tidakkah kau tau a