Share

5. Semoga tak Bertemu lagi

Fara sedang duduk di kursi sebuah restoran untuk makan siang. Dia sedang ingin keluar maka dari itu mengajak temannya untuk ikut dengan alasan tidak mau makan sendirian, nyatanya dia hanya ingin melamun. Ada jeda satu jam untuk makan siang dari kerjaannya dan itu bisa dimanfaatkan Fara untuk melamun, teringat kembali pada kejadian kemarin.

“Kakimu bagaimana?” temannya bertanya sambil meletakan makanan penutup di depan Fara yang sejak tadi diam.

Gadis itu melirik kakinya di bawah meja lalu menggerakannya.

“Sudah tak terasa sakit setelah melakukan pengobatan,” jawab Fara.

Temannya mengangguk sambil menyuapkan makanan penutup ke mulutnya. Fara yang traktir jadi Ira memesan makanan sesuka hatinya, berhubung suasana hati Fara sedang buruk jadi dia memanfaatkan itu untuk memerasnya karena di saat seperti itu Fara tak akan peduli.

Ira memperhatikan ekspresi wajah Fara yang tampak begitu serius dari biasanya. Gadis cantik yang selalu berpenampilan ala kadarnya itu tak pernah terlalu lama terjebak dalam suatu pikiran.

“Jadi, ada apa?” Ira akhirnya bertanya setelah menyadari banyak hal. Fara bahkan hampir tak menyentuh makan siangnya. “Sebaiknya kau cerita atau waktu lima belas menitmu terbuang percuma,” katanya mengingatkan.

Fara mengangkat wajahnya dan menatap Ira. Dia merasa kalau tak cerita pada teman sekaligus rekannya itu pasti akan larut dalam pikiran itu, dan mungkin bisa mengganggu profesionalitas dalam bekerja.

“Hm. Aku bertemu seseorang yang mengingatkanku pada anak kecil waktu itu,” aku Fara kemudian. Ira memperhatikannya, membiarkan Fara melanjutkan ceritanya. “Tapi aku tak yakin apakah itu adalah dia atau bukan,” lanjutnya menjeda. “Hanya saja, dia tampak tak asing.”

Dahi Ira mengerut, sedikit tak bisa memahami apa yang sedang Fara bicarakan. Dia tak mengerti masa lalu yang dimaksudnya dan seorang anak kecil, yang Ira mengerti hanyalah ada seseorang yang mengganggu pikiran Fara.

“Siapa orang itu?” tanyanya, sedikit tak tertarik.

“Entahlah. Dia bersama ayahnya yang payah,” kata Fara sambil berdecak sebal mengingat pertemuannya dengan pria kemarin, bahkan dia terlibat dalam pertengkaran sepasang kekasih yang berujung putus hubungan. “Cih, menyebalkan sekali,” decaknya membuat Ira menatapnya semakin tak mengerti.

“Kau bicara apa, Ra? Kau tau, hari ini kau cukup aneh. Jangan sampai begitu kau kembali ke ruangan, ah tidak, begitu kau melewati pintu masuk RS pikiran dan jiwamu tak dalam tubuhmu itu. Bisa-bisanya kau malah ….” Ira mengatupkan kedua bibirnya dengan rapat ketika Fara mengarahkan tatapan tajam padanya.

“Diamlah atau kau akan aku tagih untuk makan siang ini,” katanya mengarahkan telunjuk pada Ira.

“Yah, sorry. Lagi pula itu hanya mit ….”

“Kau mau kebanjiran pasien, hah?”

“Tidak.”

“Maka tutup mulutmu!”

“Ya, ya, ya. Terserah. Tapi, apa yang kau lakukan kemarin setelah mengisi materi seminar itu? Aku mencarimu, tapi tak kutemukan kau dimanapun. Apa yangterjadi?” Ira menuntut penjelasan untuk ini.

Apa yang dikatakan temannya itu melemparkan ingatan Fara pada kejadian kemarin itu, pertemuannya dengan Delvin Aezar, seorang anak yang nyaris saja tertabrak mobil di pinggir jalan, lalu dia bertemu seorang pria yang menyebut dirinya sebagai ayah dari anak itu dan menuduh Fara membawa anaknya. Tidak hanya itu, Fara juga dituduh menjadi selingkuhan Daryn Affandra, ayah anak itu sekaligus pemilik hotel tersebut.

“Jangan ingatkan aku soal kemarin. Memikirkannya membuatku kesal. Pria itu sungguh menyebalkan sekaligus ayah yang begitu payah. Aku tak tahu siapa dia, yang pasti bertemu dengannya adalah kesialan bagiku,” terang Fara dengan nada penuh emosi membuat Ira menatapnya tercengang.

Tanpa Fara ketahui seseorang yang duduk di belakang kursinya mendengarkan apa yang dia katakan barusan. Dahinya bahkan mengerut begitu dalam merasa suara gadis itu tak asing di telinganya.

“Sudah. Waktu kita hanya tersisa lima menit, ayo pergi,” ajak Fara dan mendorong kursinya yang tanpa sengaja membentur kursi yang berada di belakangnya sehingga seseorang yang duduk di sana tak terima.

Pria itu ikut bangun dari duduknya lalu berbalik dan menghadang langkah Fara. Pertemuan tiba-tiba itu membuat Fara berjengit, otomatis saja dia mengambil langkah mundur.

“Heol. Kita bertemu lagi, Nona,” sapa pria itu dengan nada dingin dan tatapan yang datar ketika akhirnya menyadari siapa yang dibicarakan gadis itu.

“Kau ….”

“Kenapa? Ini adalah kejutan. Bagaimana mungkin kau membicarakan seseorang seperti itu? Bertemu denganku adalah kesialan? Lalu bagaimana denganku? Sama saja. Kau, adalah kesaialan bagiku juga,” balas Daryn setajam mungkin.

Kedua mata Fara mengerjap, dia sedikit panik. Pikirannya bertanya apakah pria itu mendengarkannya? Oh tidak, kenapa mereka bertemu di tempat ini sekarang?

Menguasai dirinya, Fara tertawa sinis dan mengarahkan tatapan tajam untuk membalas tatapan pria itu.

“Ya! Kau sama sekali tak memberiku sesuatu yang baik dalam pertemuan kemarin itu. Pertama, kau menuduhku, kedua mengataiku, dan ketiga membuatku menjadi buruk di mata kekasihmu. Cih. Kau memang sempurna tapi kau payah dalam mengasuh dan memperlakukan wanita. Jadi sekarang, minggir, aku punya urusan yang lebih mendesak,” tegas Fara. 

Wajah keduanya begitu dekat, beradu tatapan dengan penuh kebencian, bahkan tak mempedulikan sekitarnya yang menonton perseteruan mereka. Ira bahkan mencoba menarik Farad an memintanya untuk pergi, tapi tatapan Daryn membuatnya tak bisa berpaling, sorot mata itu seolah menahannya untuk pergi dari sana.

“Bagaimana denganmu? Apa yang kau berikan padaku selain kesan buruk? Karena kau, aku putus dengan kekasihku. Karena kau, aku mendapat hukuman dari ibuku. Juga karena kau, Delvin tak mau bicara lagi denganku. Apa menurutmu bertemu denganmu adalah berkah? Oh, sama saja denganmu, kau adalah kesialanku,” balas Daryn tak mau kalah.

Bibir keduanya berkedut, siap untuk saling membalas kata lagi, mereka seolah sedang berperang sekarang, dengan tatapan tajam sebagai pedangnya, tapi syukurlah bunyi ponsel nyaring dari saku celana yang dikenakan Fara menghentikannya. Tanpa memutus tatapannya dari Daryn, dia merogoh sakunya dan mengambol ponsel itu lalu menerimanya.

“Aku tak jauh. Katakan,” katanya dengan nada perintah pada sambungan telepon.

“Bocah perempuan usia lima tahun pingsan saat meniup balon. Kondisinya darurat karena tampak kesulitan bernapas,” jelas suara dari sambungan.

“Lakukan CT Angio, aku akan datang dalam empat menit,” jawab Fara lalu menutup sambungan.

Tatapannya masih tertuju pada Daryn.

“Aku ada urusan, jadi aku pergi, semoga kita tak bertemu lagi demi memutus rantai kesialan,” katanya pada pria itu kemudian melengos melewati Daryn.

Namun Daryn merasa kalau urusan mereka belum selesai, maka dari itu dia dengan sigap menangkap pergelangan tangan Fara dan mencengkramnya sedikit erat seolah tak mengizinkan gadis itu pergi sekarang.

“Kau mau ke mana? Urusan kita belum selesai,” kata Daryn.

Fara menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin pria itu menahannya hanya karena urusannya belum selesai? Bagi Fara apa yang terjadi kemarin adalah hal sepele. Putusnya hubungan pria itu dengan kekasihnya bukanlah salahnya. Namun Ira menghentikan Fara yang hendak membalas Daryn.

“Hentikan. Atau kau akan kehilangan nyawanya, Fara!” tegasnya menghentikan gadis itu. Ira juga menatap Daryn. “Urusanmu bisa diselesaikan nanti. Sekarang dia ada urusan yang darurat, jadi mohon permisi,” katanya sembari melepaskan cekalan Daryn di tangan Fara, sayangnya pria itu justru semakin mengeratkan cekalannya menolak melepaskan gadis itu.

Mereka kembali saling bertatapan tajam. Di sisi lain seorang anak sedang bertaruh nyawa di ranjang UGD. Bila terjadi sesuatu pada anak itu, hidup Fara akan berakhir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status