Fara sedang duduk di kursi sebuah restoran untuk makan siang. Dia sedang ingin keluar maka dari itu mengajak temannya untuk ikut dengan alasan tidak mau makan sendirian, nyatanya dia hanya ingin melamun. Ada jeda satu jam untuk makan siang dari kerjaannya dan itu bisa dimanfaatkan Fara untuk melamun, teringat kembali pada kejadian kemarin.
“Kakimu bagaimana?” temannya bertanya sambil meletakan makanan penutup di depan Fara yang sejak tadi diam.
Gadis itu melirik kakinya di bawah meja lalu menggerakannya.
“Sudah tak terasa sakit setelah melakukan pengobatan,” jawab Fara.
Temannya mengangguk sambil menyuapkan makanan penutup ke mulutnya. Fara yang traktir jadi Ira memesan makanan sesuka hatinya, berhubung suasana hati Fara sedang buruk jadi dia memanfaatkan itu untuk memerasnya karena di saat seperti itu Fara tak akan peduli.
Ira memperhatikan ekspresi wajah Fara yang tampak begitu serius dari biasanya. Gadis cantik yang selalu berpenampilan ala kadarnya itu tak pernah terlalu lama terjebak dalam suatu pikiran.
“Jadi, ada apa?” Ira akhirnya bertanya setelah menyadari banyak hal. Fara bahkan hampir tak menyentuh makan siangnya. “Sebaiknya kau cerita atau waktu lima belas menitmu terbuang percuma,” katanya mengingatkan.
Fara mengangkat wajahnya dan menatap Ira. Dia merasa kalau tak cerita pada teman sekaligus rekannya itu pasti akan larut dalam pikiran itu, dan mungkin bisa mengganggu profesionalitas dalam bekerja.
“Hm. Aku bertemu seseorang yang mengingatkanku pada anak kecil waktu itu,” aku Fara kemudian. Ira memperhatikannya, membiarkan Fara melanjutkan ceritanya. “Tapi aku tak yakin apakah itu adalah dia atau bukan,” lanjutnya menjeda. “Hanya saja, dia tampak tak asing.”
Dahi Ira mengerut, sedikit tak bisa memahami apa yang sedang Fara bicarakan. Dia tak mengerti masa lalu yang dimaksudnya dan seorang anak kecil, yang Ira mengerti hanyalah ada seseorang yang mengganggu pikiran Fara.
“Siapa orang itu?” tanyanya, sedikit tak tertarik.
“Entahlah. Dia bersama ayahnya yang payah,” kata Fara sambil berdecak sebal mengingat pertemuannya dengan pria kemarin, bahkan dia terlibat dalam pertengkaran sepasang kekasih yang berujung putus hubungan. “Cih, menyebalkan sekali,” decaknya membuat Ira menatapnya semakin tak mengerti.
“Kau bicara apa, Ra? Kau tau, hari ini kau cukup aneh. Jangan sampai begitu kau kembali ke ruangan, ah tidak, begitu kau melewati pintu masuk RS pikiran dan jiwamu tak dalam tubuhmu itu. Bisa-bisanya kau malah ….” Ira mengatupkan kedua bibirnya dengan rapat ketika Fara mengarahkan tatapan tajam padanya.
“Diamlah atau kau akan aku tagih untuk makan siang ini,” katanya mengarahkan telunjuk pada Ira.
“Yah, sorry. Lagi pula itu hanya mit ….”
“Kau mau kebanjiran pasien, hah?”
“Tidak.”
“Maka tutup mulutmu!”
“Ya, ya, ya. Terserah. Tapi, apa yang kau lakukan kemarin setelah mengisi materi seminar itu? Aku mencarimu, tapi tak kutemukan kau dimanapun. Apa yangterjadi?” Ira menuntut penjelasan untuk ini.
Apa yang dikatakan temannya itu melemparkan ingatan Fara pada kejadian kemarin itu, pertemuannya dengan Delvin Aezar, seorang anak yang nyaris saja tertabrak mobil di pinggir jalan, lalu dia bertemu seorang pria yang menyebut dirinya sebagai ayah dari anak itu dan menuduh Fara membawa anaknya. Tidak hanya itu, Fara juga dituduh menjadi selingkuhan Daryn Affandra, ayah anak itu sekaligus pemilik hotel tersebut.
“Jangan ingatkan aku soal kemarin. Memikirkannya membuatku kesal. Pria itu sungguh menyebalkan sekaligus ayah yang begitu payah. Aku tak tahu siapa dia, yang pasti bertemu dengannya adalah kesialan bagiku,” terang Fara dengan nada penuh emosi membuat Ira menatapnya tercengang.
Tanpa Fara ketahui seseorang yang duduk di belakang kursinya mendengarkan apa yang dia katakan barusan. Dahinya bahkan mengerut begitu dalam merasa suara gadis itu tak asing di telinganya.
“Sudah. Waktu kita hanya tersisa lima menit, ayo pergi,” ajak Fara dan mendorong kursinya yang tanpa sengaja membentur kursi yang berada di belakangnya sehingga seseorang yang duduk di sana tak terima.
Pria itu ikut bangun dari duduknya lalu berbalik dan menghadang langkah Fara. Pertemuan tiba-tiba itu membuat Fara berjengit, otomatis saja dia mengambil langkah mundur.
“Heol. Kita bertemu lagi, Nona,” sapa pria itu dengan nada dingin dan tatapan yang datar ketika akhirnya menyadari siapa yang dibicarakan gadis itu.
“Kau ….”
“Kenapa? Ini adalah kejutan. Bagaimana mungkin kau membicarakan seseorang seperti itu? Bertemu denganku adalah kesialan? Lalu bagaimana denganku? Sama saja. Kau, adalah kesaialan bagiku juga,” balas Daryn setajam mungkin.
Kedua mata Fara mengerjap, dia sedikit panik. Pikirannya bertanya apakah pria itu mendengarkannya? Oh tidak, kenapa mereka bertemu di tempat ini sekarang?
Menguasai dirinya, Fara tertawa sinis dan mengarahkan tatapan tajam untuk membalas tatapan pria itu.
“Ya! Kau sama sekali tak memberiku sesuatu yang baik dalam pertemuan kemarin itu. Pertama, kau menuduhku, kedua mengataiku, dan ketiga membuatku menjadi buruk di mata kekasihmu. Cih. Kau memang sempurna tapi kau payah dalam mengasuh dan memperlakukan wanita. Jadi sekarang, minggir, aku punya urusan yang lebih mendesak,” tegas Fara.
Wajah keduanya begitu dekat, beradu tatapan dengan penuh kebencian, bahkan tak mempedulikan sekitarnya yang menonton perseteruan mereka. Ira bahkan mencoba menarik Farad an memintanya untuk pergi, tapi tatapan Daryn membuatnya tak bisa berpaling, sorot mata itu seolah menahannya untuk pergi dari sana.
“Bagaimana denganmu? Apa yang kau berikan padaku selain kesan buruk? Karena kau, aku putus dengan kekasihku. Karena kau, aku mendapat hukuman dari ibuku. Juga karena kau, Delvin tak mau bicara lagi denganku. Apa menurutmu bertemu denganmu adalah berkah? Oh, sama saja denganmu, kau adalah kesialanku,” balas Daryn tak mau kalah.
Bibir keduanya berkedut, siap untuk saling membalas kata lagi, mereka seolah sedang berperang sekarang, dengan tatapan tajam sebagai pedangnya, tapi syukurlah bunyi ponsel nyaring dari saku celana yang dikenakan Fara menghentikannya. Tanpa memutus tatapannya dari Daryn, dia merogoh sakunya dan mengambol ponsel itu lalu menerimanya.
“Aku tak jauh. Katakan,” katanya dengan nada perintah pada sambungan telepon.
“Bocah perempuan usia lima tahun pingsan saat meniup balon. Kondisinya darurat karena tampak kesulitan bernapas,” jelas suara dari sambungan.
“Lakukan CT Angio, aku akan datang dalam empat menit,” jawab Fara lalu menutup sambungan.
Tatapannya masih tertuju pada Daryn.
“Aku ada urusan, jadi aku pergi, semoga kita tak bertemu lagi demi memutus rantai kesialan,” katanya pada pria itu kemudian melengos melewati Daryn.
Namun Daryn merasa kalau urusan mereka belum selesai, maka dari itu dia dengan sigap menangkap pergelangan tangan Fara dan mencengkramnya sedikit erat seolah tak mengizinkan gadis itu pergi sekarang.
“Kau mau ke mana? Urusan kita belum selesai,” kata Daryn.
Fara menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin pria itu menahannya hanya karena urusannya belum selesai? Bagi Fara apa yang terjadi kemarin adalah hal sepele. Putusnya hubungan pria itu dengan kekasihnya bukanlah salahnya. Namun Ira menghentikan Fara yang hendak membalas Daryn.
“Hentikan. Atau kau akan kehilangan nyawanya, Fara!” tegasnya menghentikan gadis itu. Ira juga menatap Daryn. “Urusanmu bisa diselesaikan nanti. Sekarang dia ada urusan yang darurat, jadi mohon permisi,” katanya sembari melepaskan cekalan Daryn di tangan Fara, sayangnya pria itu justru semakin mengeratkan cekalannya menolak melepaskan gadis itu.
Mereka kembali saling bertatapan tajam. Di sisi lain seorang anak sedang bertaruh nyawa di ranjang UGD. Bila terjadi sesuatu pada anak itu, hidup Fara akan berakhir.
Fara balas menatap Daryn tak kalah tajam. Rahang keduanya mengeras. Dari sorot matanya Fara pikir pria itu tak akan bisa dengan mudahnya melepaskan dirinya. Bila terlalu lama di sana, dia akan kehilangan nyawa anak itu. Otaknya berpikir cepat selagi tatapannya masih terpancang pada iris mata Daryn.Dari kedua iris kelam pria di hadapannya yang masih mencekal pergelangan tangannya, tatapan Fara turun melewati pangkal hidung Daryn lalu berhenti di bawahnya, tepat pada kedua bibir itu.Ini gila! Jangan lakukan. Hatinya menjerit memberi tahu. Tapi kalau dia tak bertindak, nyawa seseorang terancam, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia pikirkan saat ini meskipun memang gila.“Aku sungguh harus pergi sekarang. Hanya satu cara supaya aku bisa pergi, jadi jangan salahkan aku melakukan ini, kau sendiri yang tak mau melepaskanku,” kata Fara.Kedua alis hitam Daryn yang memayungi kedua matanya itu terangkat mendengar apa yang dikatakan gadis itu.Hanya dalam satu kedipan mata saja kejadian
Pertemuan dan kejadian itu cukup mengganggunya, bahkan membuat waktu tidurnya terganggu. Dia tak bisa memejamkan mata karena kejadian itu menghantuinya, kecupan singkat yang menyebalkan bagi Daryn. Namun tanpa sadar jarinya menyentuh kedua bibirnya sendiri, merasakan sentuhan itu.“Apa yang aku pikirkan?” tegurnya begitu tersadar dari lamunan.Daryn mengakui kegilaan Fara yang berani sekali melakukan itu padanya.“Apa maksudnya?” Dia bertanya entah pada siapa.Keheningan malam terasa begitu tenang. Hanya terdengar bunyi jangkrik dan binatang malam di kejauhan. Di remangnya cahaya lampu tidur, Daryn berbaring di atas ranjang, selimut menutupi setengah tubuhnya, kedua tangannya berada di atas dada, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar, pikirannya berkelana lagi pada kenangan masa lalu dan pertemuannya dengan gadis itu.“Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya?” gumamnya ambigu.Di hati kecilnya, Daryn berharap gadis itu adalah sosok yang dari masa lalunya, seseorang yang meninggalkan p
“Ini yang terakhir?” Fara bertanya begitu pasien yang dirawat jalannya telah selesai konsultasi.“Ya,” sahut seorang perawat yang menemaninya. “Namun, ada yang aneh,” katanya melihat kertas di tangannya.Fara mendongakan wajahnya menatap pewarat itu seakan bertanya dalam diam.“Ada apa?”“Di sini tidak dijelaskan apa-apa selain konsultasi,” jawab perawat itu.Dahi Fara mengerut, entah kenapa firasatnya tak enak.“Coba kulihat, Delvin Aezar?” Kerutan di dahi Fara semakin banyak dan dalam membuat kedua alisnya nyaris bertemu. Nama itu terasa tak asing. “Persilahkan masuk,” katanya.Perawat itu hanya mengangguk, mengiyakan instruksi Fara untuk memanggil pasien terakhirnya yang sedikit aneh. Dia sendiri fokus pada layar laptop di depannya dan beralih ke data y
Fara tak menunggu Daryn, dia terus berjalan meninggalkan pria itu sejauh mungkin bahkan ketika namanya dipanggil pun dia tak menoleh. Perasaannya sedang kesal, itu sebabnya dia tak menghentikan langkah. Namun anehnya, Daryn sama sekali tak mengeluh dan mengikuti saja ke mana langkah kaki gadis itu membawa seolah dia menikmatinya, memantau kekasih yang merajuk.Sekali lagi, perhatiannya tefokus pada punggung Fara yang masih berjalan di depan. Meskipun jaraknya cukup jauh, Daryn bisa dengan mudah mengimbangi langkah gadis itu. Namun sekarang, ingatan masa lalunya kembali terpicu ketika melihat punggung kecil itu.“Tiga tahun berlalu, dia pasti berubah,” katanya bergumam, meyakinkan dirinya ada banyak gadis yang memiliki punggung serupa, tetapi entah mengapa bertemu gadis itu ingatan kelamnya terpicu.Fara akhirnya berhenti di zebra cross perasaanya campur aduk, sungguh tak nyaman sekali di ikuti seorang pria. Dia mungkin pergi makan malam bersama rekan pria juga tapi tak pernah terlibat
Daryn pulang setelah mengantarkan Fara ke rumahnya. Pria itu sama sekali tak menjelaskan apa pun sepanjang jalan mengantarkan gadis itu, hanya mengatakan kalau dialah yang dicarinya, hal itu justru membuat Fara semakin bingung.Dia terlihat bahagia bak orang jatuh cinta, tak hentinya tersenyum seperti orang gila, bahkan sesekali bersenandung dengan riangnya. Namun semua itu sirna seketika saat suara wanita mengintrupsinya di ruang tengah menuju kamarnya.“Dari mana kau?” Suara itu dingin dan datar. Sosoknya duduk di sofa yang seperti singgasana, menenggelamkan tubuhnya dari belakang tapi suaranya mengagetkan berhasil menghentikan langkah Daryn.“Aku pikir siapa. Sedang apa Ibu di situ?” tanya Daryn tetap berdiri di tempatnya.“Duduklah,” katanya dengan nada perintah.Merasakan atmosfer yang tak enak membuat Daryn mau tak mau menurutinya dan duduk di sofa tak jauh dari sang ratu yang menahan murka. Daryn bahkan tak berani mengangkat wajahnya terlalu lama.“Apa yang kau lakukan seharian
“Dia sungguh datang kemarin?” Ira merecoki Fara ketika baru sampai di rumah sakit. “Seluruh staf heboh sekali membicarakanmu, Far,” katanya.Fara tak peduli dia terus berjalan. Apa yang Daryn lakukan padanya kemarin itu membuatnya kesal. Tanpa menjelaskan apa pun pria itu tiba-tiba memeluknya, bukankah itu terasa aneh, bahkan menolak untuk melepaskannya. Sikapnya semakin aneh ketika sepanjang jalan mengantarnya pulang pria itu tersenyum senang.“Itu salahmu, Ira! Kau yang memberi tahu dia kalau aku bekerja di sini, bukan?” tuduh Fara menghentikan langkah kakinya untuk menghadapi rekannya yang satu ini.“Yah, apa yang bisa aku lakukan? Waktu itu dia hendak mengejarmu dan tak membiarkanmu, jadi aku tak punya pilihan ….”“Itu hanya akalanmu. Ada banyak pilihan, salah satunya adalah, diam!” tekan Fara di akhir katanya.Ira seketika membungkam mulutnya, tapi tak di pungkiri dia tak bisa menahan senyumnya. Bukan senang karena temannya menderita, tapi sedang akhirnya ada yang bisa menembus t
Sandra mengikuti Daryn hingga ke ruangannya, dia tak peduli dengan tatapan heran para karyawan yang berpapasan dengan mereka. Daryn mungkin sudah biasa memasang wajah dingin dan datar, tapi dia membalas sapaan para karyawan perusahaannya dengan anggukan meskipun hanya sekilas. Tapi kali ini mereka juga menyadari kalau ekspresi wajah Daryn tampak tak beres.“Jadi, apa maumu?” tanya Daryn tanpa menoleh pada Sandra yang berdiri tak jauh di belakangnya.“Aku, ingin mengatakan sesuatu padamu,” katanya pelan. Jelas ada keraguan dari nada bicaranya, dan lidahnya pun tampak begitu kaku.Daryn menunggu sembari menghadapnya dan melipat kedua tangannya. Apakah Sandra akan meminta maaf atas apa yang dia katakan waktu itu, menjadi penyebab putusnya hubungan mereka? Namun, Daryn kecewa saat Sandra mengatakan sesuatu yang tak ingin dia dengar.“Aku salah, jadi aku mengakuinya. Namun, kau juga salah karena bersama wanita itu,” katanya. Bahkan tatapan Sandra berubah menyadi amarah.“Tidakkah kau tau a
Daryn jadi tidak fokus pada pekerjaannya setelah bertemu Sandra dan ayahnya, sementara hatinya merasa tak begitu keruan. Apa yang sesungguhnya ingin dia lakukan? Bahkan di atas kertas yang seharusnya membubuhkan tanda tangannya, dia justru menuliskan apa yang harus dia lakukan sekarang? Kalau saja sang sekretaris tak menegurnya, dia pasti akan mencurahkan perasaannya di atas kertas itu.“Kalau tidak bisa fokus begini, bagaimana Anda bisa bekerja, Direktur?” tegurnya. Sang Sekretaris itu menyadari lebih dari apa yang biasanya Daryn lakukan.Menarik napasnya dalam, Daryn menyandarkan punggungnya dan membuang napas kasar. Dia tidak bisa melakukan ini sekarang. Dia butuh udara segar.“Jadwal Anda setelah makan siang tidak begitu sibuk, hanya menandatangani berkas dan yah, itu saja,” ujar Sekretaris tiba-tiba.Daryn mengangkat wajahnya dan menatap pria itu, bertanya apa maksudnya.“Maksudku, Anda bisa pergi mencari udara segar,” kata sekretaris.Pria itu terdiam, mempertimbangkannya. Tapi,