“Ibu ke mana?” tanya Fara ketika menjelajahi rumah besar itu tapi tak menemukan sang nyonya rumah.Daryn yang tengah duduk di sofa sambil menunggu makan malam siap menoleh pada gadis itu.“Ada urusan, nanti juga kembali,” jawab Daryn lalu fokus pada tablet di tangannya.“Oh, begitu. Apakah biasanya lama?” tanya Fara lagi sambil mengambil posisi duduk di sofa tak jauh dari pria itu.Sesaat Daryn terdiam seperti tengah berpikir apakah ibunya pergi lama atau tidak.“Paling lama tiga hari, paling sebentar sampai malam nanti,” kata Daryn menjawab Fara dengan santai.Fara menganggukkan kepalanya berusaha untuk tidak ikut campur urusan Dennda atau Daryn. Setiap orang punya urusannya sendiri yang tak harus selalu dibagikan.Delvin tengah di kamarnya entah sedang apa. Jam menunjukan pukul enam petang. Daryn mengatakan Delvin biasa mengurung diri di kamar pada jam seperti itu, nanti anak itu akan keluar dengan sendirinya entah akan membawa apa.Meski Daryn menyuruhnya untuk tak khawatir karena
“Delvin, apa maksudnya dengan Mama?” tanya Daryn.Anak itu menoleh pada sang ayah lantas tersenyum dan melirik Fara.“Aku ingin punya Mama, dan aku suka Dokter Fara,” kata anak itu dengan nada bicaranya yang khas.Baik Daryn maupun Fara, sama-sama terkejut mendengar apa yang anak itu katakan. Fara bahkan menelan ludahnya ketika pikirannya mencerna sedikit lambat.“Jadi aku menggambar ini,” lanjut Delvin sambil memandangi gambar yang dia buat sendiri itu. Senyum lebar mengiasi wajahnya yang bahagia.Apa yang mesti Fara lakukan? Tidak mungkin bukan Fara menghancurkan harapan anak itu yang tampaknya merindukan kehadiran sosok ibu di hidupnya, di usia yang masih belia itu. Fara melirik Daryn sekali lagi memastikan bagaimana respon pria itu.Sama. Daryn pun terdiam, tak berkata, bungkam seribu bahasa. Sebagai ayah, tentu saja hati Daryn sakit mendengarnya. Bukan karena tak mau menghadirkan sosok ibu yang sangat Delvin inginkan, tapi Daryn tidak bisa asal memilih istri untuk menjadi ibu bag
Setelah makan malam itu Fara menemani Delvin hingga tidur sedangkan Daryn kembali sibuk dengan tabletnya di lantai dua, duduk di sofa dengan nyaman. Pria itu sudah mengganti bajunya dengan piaya tidur.“Delvin sudah tidur?” tanya Daryn tanpa mengalihkan perhatian dari tabletnya.“Ya, sudah,” sahut Fara berjalan pelan ke kamarnya. Gadis itu tampak mengantuk.Tidak ada yang bicara sampai Fara berdiri di depan pintu kamarnya dan hendak membuka pintu itu tapi pikirannya tertuju pada Daryn.“Kenapa?”Rupanya Daryn menyadari Fara yang berhenti di depan itu.“Tidak ada. Aku hanya teringat sesuatu. Selamat malam,” ucap gadis itu lantas masuk ke kamarnya.Tapi Fara bersandar di balik pintu kamarnya, pikirannya tertuju ke suatu tempat di kamar Delvin ketika meninabobokan anak itu.Ada beberapa pigura di kamar anak itu. Yang besar tergantung di dinding, hanya Delvin, Daryn dan sang nenek yaitu Dennda. Sedangkan di pigura kecil di atas meja, terdapat sebuah foto yang terdiri dengan beberapa orang
Terlalu lama Fara diam, akhirnya Daryn gemas juga.“Apa? Ada apa, sih, Far? Kau membuat aku jadi penasaran,” kata Daryn akhirnya.Mata Fara mengerjap, terkejut juga karena malah melamun.“Oh, tidak. Tidak jadi,” kata gadis itu.“Ish. Kau membuat aku jadi semakin penasaran saja, Fara. Ada apa? Katakan padaku,” timpal Daryn bahkan memaksa gadis itu untuk mengatakan apa yang ingin Fara katakan sebelumnya.“Tidak jadi. Bukan apa-apa,” kilah Fara. Sepertinya masih ragu untuk membicarakan hal itu dengan Daryn.“Ayolah.” Daryn mendesah kesal sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ada apa? Ayo katakan padaku, atau aku akan terus memintamu untuk mengatakannya,” kata Daryn tak ingin menyerah.Fara menatap Daryn tajam, dan membuang napas kasar.“Aku bilang tidak jadi. Kenapa kau ngotot sekali?” balas Fara. Tapi entah bagaimana tubuhnya tak juga beranjak dari sana.Atau mungkin Fara juga penasaran sama seperti Daryn.Kira-kira siapakah foto dalam bingkai di kamar Delvin itu?Melihat Fara dia
Lalu-lalang kendaraan tampak ramai di jalanan, dari kiri kanan nyaris tak ada celah untuk menyebrang. Bocah lelaki itu ketakutan berdiri di sisi jalan, pandangannya buram melihat kendaraan yang berseliweran dengan begitu cepat sampai membuatnya tanpa sadar melangkah ke tengah jalanan. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya mengabur, bahkan pendengarannya juga terganggu, dia tak bisa menemukan jalan untuk kembali.“Ayah bilang tetap diam. Kenapa kau tak menurut?” Bayangan perkataan sang ayah memenuhi benaknya.Napas anak itu memburu, ketakutan mengungkungnya sampai sebuah mobil sedan hitam melaju dari arah kanannya ketika dia sampai di tengah jalan raya tanpa sadar. Tubuh kecilnya hanya mampu terpaku di tempat, tidak bisa bergerak barang sedikitpun, bahkan pandangannya tertuju pada lampu mobil itu dengan suara klakson yang memekakkan telinga.Satu, dua, tiga detik lagi ketika depan mobil itu nyaris menyundulnya, seseorang meraih tangan anak itu, dan mendekapnya dalam pelukan.“Sialan! Pe
“Siapa namamu, adik kecil?” tanya Fara ketika anak itu akhirnya berhenti menangis. Tangan gadis itu mengusapnya lembut penuh kasih.“Del-vin,” sahutnya terbata diselingi isak tangisnya.“Delvin, kamu suka permen tidak?” tanyanya lagi.Anggukan kecil dari anak itu menjawabnya dan Fara mengeluarkan tiga macam loli dari saku jas dan memberikannya pada Delvin.“Nah, karena kamu sudah berhenti menangis, sekarang kakak akan mengobati lukamu, hm?” katanya.Sayangnya Delvin menolak dengan menggelengkan kepala kuat-kuat dan menghindari Fara.Gadis itu tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya memperhatikan tingkah Delvin sampai sekretaris memberikan kotak kesehatan padanya. Fara mengucap terima kasih dan mengalihkan perhatian pada luka di lutut anak itu.“Aku tidak mau,” tolak Delvin dan merengek.Daryn maju untuk menegur tapi Fara menghentikannya dengan cepat dan melayangkan tatapan tajam yang mencela padanya.“Biar aku urus, kau diam saja,” sentaknya melotot pada Daryn yang seketika
Melihat dan memastikan Delvin sekali lagi sebelum dia pergi, Fara merekam wajah bocah itu baik-baik dan dahinya menampilkan kerutan halus ketika wajah kecil itu mengingatkannya pada seorang anak yang dulu pernah dia lihat.“Bagaimana mungkin?” tanya hatinya ragu. Dia menggelengkan kepala untuk menghalau bayangan itu.Bangun dari duduknya, Fara menatap Daryn yang tampak kesal mengawasinya dengan tajam.“Apakah kau seperti itu pada semua pria?” tanya Daryn.Fara menatapnya tak mengerti.“Bersikap seenaknya, bahkan membuka kancing baju pria tanpa izin. Kau sungguh cocok sekali sebagai seorang wanita penggoda,” katanya.Kali ini Fara tertawa tapi hanya sesaat lalu mengarahkan tatapannya kembali pada Daryn.“Ini yang pertama, dan terakhir. Kau tau, bertemu denganmu adalah kesialan bagiku,” kata Fara sarkas.Jelas saja Daryn tak terima. Bagaimana mungkin bertemu dengannya adalah kesaialan disaat orang lain menganggapnya keberuntungan, Fara justru sebaliknya tapi gadis itu tak menjelaskan ap
“Ayah!” Panggilan dari Delvin untuk Daryn mengalihkan perhatian kedua orang itu.Delvin menatap Daryn yang mencoba tersenyum padanya setelah menenangkan dirinya.Melihat Delvin yang tampak lemah di matanya, Daryn menghampiri lantas memeluknya erat. Hatinya terluka dengan apa yang dikatakan Sandra. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang mereka.“Maafkan Ayah, Delvin,” ucap Daryn pelan. Delvin membalas pelukannya, mengusap punggung lebar Daryn dengan tangannya yang kecil.Entah mengapa, ada yang mengusupi hati Fara melihat pemandangan itu, rasanya hangat sekaligus membingungkan karena sekali lagi melihat wajah Delvin mengingatkannya pada masa lalu, tentang seorang anak di bawah guyuran hujan dan simbahan darah serta tangisan yang begitu menyayat hati. Namun, suara dering ponselnya menyita perhatian.Fara sedikit menjauh untuk menerima panggilan.“Baik. Aku akan kembali sekarang,” katanya pada sambungan dan menutupnya kemudian.Ayah dan anak itu sudah melepaskan pelukan mereka. Daryn meng