Lalu-lalang kendaraan tampak ramai di jalanan, dari kiri kanan nyaris tak ada celah untuk menyebrang. Bocah lelaki itu ketakutan berdiri di sisi jalan, pandangannya buram melihat kendaraan yang berseliweran dengan begitu cepat sampai membuatnya tanpa sadar melangkah ke tengah jalanan. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya mengabur, bahkan pendengarannya juga terganggu, dia tak bisa menemukan jalan untuk kembali.
“Ayah bilang tetap diam. Kenapa kau tak menurut?” Bayangan perkataan sang ayah memenuhi benaknya.
Napas anak itu memburu, ketakutan mengungkungnya sampai sebuah mobil sedan hitam melaju dari arah kanannya ketika dia sampai di tengah jalan raya tanpa sadar. Tubuh kecilnya hanya mampu terpaku di tempat, tidak bisa bergerak barang sedikitpun, bahkan pandangannya tertuju pada lampu mobil itu dengan suara klakson yang memekakkan telinga.
Satu, dua, tiga detik lagi ketika depan mobil itu nyaris menyundulnya, seseorang meraih tangan anak itu, dan mendekapnya dalam pelukan.
“Sialan! Perhatikan anakmu! Payah sekali menjadi orang tua yang tak becus menjaga anak!” maki si pengemudi mobil yang menghentikan lajunya ketika anak itu berhasil diselamatkan.
“Maafkan saya, tuan. Mohon maaf,” ucap seorang gadis yang menolong anak itu dari nyaris kecelakaan.
Si pengendara itu melengos ketika suara klakson dari belakangnya menjerit. Mata-mata tertuju pada seorang gadis yang terduduk di sisi bahu jalan mendekap erat tubuh mungil anak itu, dia gemetar hebat.
“Tenanglah, kamu sudah tidak apa-apa sekarang, sudah aman,” katanya mengusapkan telapak tangannya ke kepala si anak yang menangis di dadanya.
Tadi itu nyaris sekali, untungnya dia datang tepat waktu walau harus membuat tubuhnya terluka, tapi setidaknya dia lega karena berhasil menyelamatkan anak itu yang entah siapa.
Setelah merasa tenang, gadis bernama Fara Izzumi itu menangkupkan kedua tangannya di sisi wajah anak lelaki itu, menatapnya lembut agar tak menakutinya.
“Apakah kamu terluka, adik kecil?” tanyanya pelan seraya tersenyum.
Linangan air mata memenuhi wajahnya yang tampan dan putih, gadis itu berusaha menenangkan.
“Tidak apa-apa, ada kakak di sini, kamu aman sekarang. Coba lihat, apakah kamu terluka?”
Bukannya menjawab, anak itu justru terisak tapi menuruti apa yang gadis itu lakukan untuk mengecek apakah dia terluka. Rupanya lututnya yang terluka, dan Fara menghela napasnya setelah tak ada luka serius di tubuh mungil itu, tapi sepertinya anak itu masih terkejut atas kejadian barusan. Gadis itu kembali mendekap tubuhnya untuk menenangkannya.
“Hanya satu luka lecet di lututmu. Jangan khawatir, kakak akan mengobatimu, hm.” Fara tersenyum menenangkannya dan kembali memeluknya yang kembali menangis ketakutan tanpa menyadari kalau dia juga terluka.
Sementara itu di dalam hotel, semua staf sudah dikerahkan ketika Daryn Affandra akhirnya selesai rapat dan menyadari kalau anaknya tak ada di tempat. Dia turut mencari, tapi tak berhasil ditemukan karena hotel itu cukup luas. Daryn juga tak bisa menghubungi ponsel anaknya yang selalu tergantung di dadanya.
“Kemana dia?” desahnya khawatir dan berdecak kesal, kalau ibunya sampai tahu cucunya menghilang tamatlah dia.
“Maaf, Direktur, kami sudah mencarinya, tapi tidak ada di hotel ini,” ujar salah satu staf yang mencari.
Kedua mata Daryn terpejam, kepalanya pening sekarang. Dia memijat pelipisnya pelan. Beginilah bila dia yang selalu sibuk membawa anak enam tahun yang memiliki trauma. Sepertinya anak itu bosan menunggu, tapi tidak ada waktu untuk menyalahkan diri sekarang.
“Bagaimana di bagian lain? Apakah terlihat di CCTV?” tanyanya.
“Ya, dia pergi keluar hotel lewat lobi utama,” lapor salah satu staf yang baru saja bergabung.
Kedua matanya membulat, dia bergegas mengambil langkah lagi untuk mencari anaknya.Tanpa menunggu lagi Daryn melesat pergi melintasi lobi utama dan hendak keluar dari hotel ketika dilihatnya sosok bocah yang dikenalinya berada dalam gendongan seorang gadis berjalan memasuki hotel dengan terpincang-pincang.
Posisi anak itu yang berada dalam dekapan Fara membelakangi Daryn dan menutupi wajah gadis itu, tapi dengan mudah pria itu mengenalinya sebagai gadis yang menumpahkan kopi padanya tadi pagi. Matanya menyipit, dia tiba-tiba menjadi emosi. Dia bergegas menghampiri, merebut paksa anaknya dari pangkuan si gadis dan mengejutkan mereka.
Mata Fara terbuka lebar, melotot pada Daryn yang mengambil alih anaknya dengan paksa padahal anak itu baru saja tenang.
“Apa yang kau lakukan? Kau mengejutkanny!” seru Fara marah.
“Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kau lakukan padanya, hah? Kaulah yang mengajaknya keluar,” balas Daryn menuduh.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?” kata gadis itu.
“Jangan berpura-pura denganku, Nona.”
Fara mendesah tak percaya, dia memalingkan mukanya sesaat dan kembali menatap Daryn. Jelas tak terima dengan tuduhan pria itu padahal dialah yang telah menyelamatkan anaknya dari celaka, bahkan yang lebih buruk dari itu, tapi pria itu seenaknya menuduh dialah yang membawa anak itu keluar?
“Kau pikir aku sejahat itu? Oh, maaf, Tuan, aku sama sekali tak tertarik pada anak orang lain kalau saja dia tak berada di jalanan dan nyaris saja tertabrak mobil! Apa salahku yang menyelamatkannya dari kecelakaan? Kau menuduhku sembarangan,” balas Fara tak mau kalah, bahkan suaranya juga meninggi.
Daryn yang telah mengambil alih tubuh anaknya dan kini dalam gendongannya menatap Fara tak percaya.
Pedebatan itu menjadi tontonan orang-orang di lobi, mereka berbisik-bisik sampai membuat sekretaris Daryn yang berdiri di belakangnya salah tingkah karena atasanya sama sekali tak mau mengalah bahkan semakin gencar membalik pembelaan gadis itu, menuduhnya, juga tak peduli dengan tangis anaknya di pangkuan.
“Direktur, sebaiknya Anda mencari tempat aman. Di sini banyak orang, citramu dan hotel bisa ternoda,” bisik sekretarisnya mengingatkan.
Barulah Daryn menghentikan debatnya dan melirik sekitar.
“Ayah jahat,” ujar anak itu meracau dalam dekapannya. Dia menangis yang tak dipedulikan ayahnya.
“Bawa dia ke ruanganku juga. Aku akan menuntutnya,” katanya memerintah seraya melirik Fara tajam.
Sekretarisnya hanya mengangguk, dan Daryn melengos begitu saja meninggalkan lobi tanpa menenangkan anaknya lebih dulu. Sekretaris menghampiri Fara yang tercengang melihat ketidakpedulian pria itu pada anaknya, ayah macam apa dia itu? Pikirnya. Fara menuruti sekretaris untuk mengikuti atasannya dengan kaki terpincang-pincang karena sempat terkilir ketika menyelamatkan bocah itu tadi.
Tak hanya kakinya terkilir, sikunya juga menjadi korban benturan dengan jalan dan terluka, tapi dia mengabaikannya karena terlalu sibuk menenangkan tangis anak itu yang masih ketakutan, sepertinya itu memicu kembali trauma yang Fara sendiri tidak tahu, tapi dia menyadarinya. Tatapannya masih tertuju pada punggung Daryn yang berjalan di depan sambil menenangkan tangisan kecil itu. Dengus kesal terbuang dari Fara mengkritik cara pria itu menenangkan anaknya.
Mereka tiba di kantor Daryn, Fara tak segera duduk, bahkan tak mempedulikan denyutan di kakinya yang minta diobati lebih dulu, perhatiannya masih tertuju pada bagaimana sikap Daryn terhadap anaknya.
“Ayolah Delvin, jangan menangis,” bujuknya begitu menurunkan anaknya di sofa ruangannya.
“Kau sungguh ayah yang payah,” kritik Fara meliriknya tajam. Dia berjalan menghampiri Daryn yang berjongkok di depan anaknya dan menyuruhnya untuk minggir.
Daryn menoleh dan balas menatapnya tajam, tapi Fara tak peduli, perhatiannya terpusat pada anak itu yang tangisnya mereda begitu melihatnya.
“Biar aku yang urus. Kau ambilkan kotak keshatan,” titah Fara seenaknya.
Tentu saja Daryn tak terima dengan perintah gadis itu, dialah yang punya hak sekarang sebagai ayahnya dan pemilik hotel ini. Dialah yang seharusnya memerintah.
“Kenapa diam? Cepat ambil, biar aku yang menenangkannya. Minggir!” Fara menggeser tubuh Daryn sembarang yang diam di tempatnya dan mengambil alih posisi pria itu untuk menenangkan anaknya sekaligus memeriksanya.
Sekretaris hanya memalingkan muka ketika atasannya itu melampiaskan tatapan tajam padanya dan menawarkan diri untuk mengambil kotak kesehatan. Daryn berdiri di belakang gadis itu yang mulai bicara dengan nada lembut dan ramah, lantas hal itu mengundang dengus sinis darinya. Namun, melihat punggung Fara yang ada di depannya tiba-tiba memicu sekelebat bayangan tentang seseorang yang dahulu dilihatnya. Suara dari gadis itu yang menenangkan tangis anaknya mengingatkan Daryn pada kenangan lama yang selalu menghantui.
Matanya menyipit, kenangan itu samar, tapi masih berlangsung dalam benaknya bagai deja-Vu.
“Kau siapa?” Pikirnya.
“Siapa namamu, adik kecil?” tanya Fara ketika anak itu akhirnya berhenti menangis. Tangan gadis itu mengusapnya lembut penuh kasih.“Del-vin,” sahutnya terbata diselingi isak tangisnya.“Delvin, kamu suka permen tidak?” tanyanya lagi.Anggukan kecil dari anak itu menjawabnya dan Fara mengeluarkan tiga macam loli dari saku jas dan memberikannya pada Delvin.“Nah, karena kamu sudah berhenti menangis, sekarang kakak akan mengobati lukamu, hm?” katanya.Sayangnya Delvin menolak dengan menggelengkan kepala kuat-kuat dan menghindari Fara.Gadis itu tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya memperhatikan tingkah Delvin sampai sekretaris memberikan kotak kesehatan padanya. Fara mengucap terima kasih dan mengalihkan perhatian pada luka di lutut anak itu.“Aku tidak mau,” tolak Delvin dan merengek.Daryn maju untuk menegur tapi Fara menghentikannya dengan cepat dan melayangkan tatapan tajam yang mencela padanya.“Biar aku urus, kau diam saja,” sentaknya melotot pada Daryn yang seketika
Melihat dan memastikan Delvin sekali lagi sebelum dia pergi, Fara merekam wajah bocah itu baik-baik dan dahinya menampilkan kerutan halus ketika wajah kecil itu mengingatkannya pada seorang anak yang dulu pernah dia lihat.“Bagaimana mungkin?” tanya hatinya ragu. Dia menggelengkan kepala untuk menghalau bayangan itu.Bangun dari duduknya, Fara menatap Daryn yang tampak kesal mengawasinya dengan tajam.“Apakah kau seperti itu pada semua pria?” tanya Daryn.Fara menatapnya tak mengerti.“Bersikap seenaknya, bahkan membuka kancing baju pria tanpa izin. Kau sungguh cocok sekali sebagai seorang wanita penggoda,” katanya.Kali ini Fara tertawa tapi hanya sesaat lalu mengarahkan tatapannya kembali pada Daryn.“Ini yang pertama, dan terakhir. Kau tau, bertemu denganmu adalah kesialan bagiku,” kata Fara sarkas.Jelas saja Daryn tak terima. Bagaimana mungkin bertemu dengannya adalah kesaialan disaat orang lain menganggapnya keberuntungan, Fara justru sebaliknya tapi gadis itu tak menjelaskan ap
“Ayah!” Panggilan dari Delvin untuk Daryn mengalihkan perhatian kedua orang itu.Delvin menatap Daryn yang mencoba tersenyum padanya setelah menenangkan dirinya.Melihat Delvin yang tampak lemah di matanya, Daryn menghampiri lantas memeluknya erat. Hatinya terluka dengan apa yang dikatakan Sandra. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang mereka.“Maafkan Ayah, Delvin,” ucap Daryn pelan. Delvin membalas pelukannya, mengusap punggung lebar Daryn dengan tangannya yang kecil.Entah mengapa, ada yang mengusupi hati Fara melihat pemandangan itu, rasanya hangat sekaligus membingungkan karena sekali lagi melihat wajah Delvin mengingatkannya pada masa lalu, tentang seorang anak di bawah guyuran hujan dan simbahan darah serta tangisan yang begitu menyayat hati. Namun, suara dering ponselnya menyita perhatian.Fara sedikit menjauh untuk menerima panggilan.“Baik. Aku akan kembali sekarang,” katanya pada sambungan dan menutupnya kemudian.Ayah dan anak itu sudah melepaskan pelukan mereka. Daryn meng
Fara sedang duduk di kursi sebuah restoran untuk makan siang. Dia sedang ingin keluar maka dari itu mengajak temannya untuk ikut dengan alasan tidak mau makan sendirian, nyatanya dia hanya ingin melamun. Ada jeda satu jam untuk makan siang dari kerjaannya dan itu bisa dimanfaatkan Fara untuk melamun, teringat kembali pada kejadian kemarin.“Kakimu bagaimana?” temannya bertanya sambil meletakan makanan penutup di depan Fara yang sejak tadi diam.Gadis itu melirik kakinya di bawah meja lalu menggerakannya.“Sudah tak terasa sakit setelah melakukan pengobatan,” jawab Fara.Temannya mengangguk sambil menyuapkan makanan penutup ke mulutnya. Fara yang traktir jadi Ira memesan makanan sesuka hatinya, berhubung suasana hati Fara sedang buruk jadi dia memanfaatkan itu untuk memerasnya karena di saat seperti itu Fara tak akan peduli.Ira memperhatikan ekspresi wajah Fara yang tampak begitu serius dari biasanya. Gadis cantik yang selalu berpenampilan ala kadarnya itu tak pernah terlalu lama terj
Fara balas menatap Daryn tak kalah tajam. Rahang keduanya mengeras. Dari sorot matanya Fara pikir pria itu tak akan bisa dengan mudahnya melepaskan dirinya. Bila terlalu lama di sana, dia akan kehilangan nyawa anak itu. Otaknya berpikir cepat selagi tatapannya masih terpancang pada iris mata Daryn.Dari kedua iris kelam pria di hadapannya yang masih mencekal pergelangan tangannya, tatapan Fara turun melewati pangkal hidung Daryn lalu berhenti di bawahnya, tepat pada kedua bibir itu.Ini gila! Jangan lakukan. Hatinya menjerit memberi tahu. Tapi kalau dia tak bertindak, nyawa seseorang terancam, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia pikirkan saat ini meskipun memang gila.“Aku sungguh harus pergi sekarang. Hanya satu cara supaya aku bisa pergi, jadi jangan salahkan aku melakukan ini, kau sendiri yang tak mau melepaskanku,” kata Fara.Kedua alis hitam Daryn yang memayungi kedua matanya itu terangkat mendengar apa yang dikatakan gadis itu.Hanya dalam satu kedipan mata saja kejadian
Pertemuan dan kejadian itu cukup mengganggunya, bahkan membuat waktu tidurnya terganggu. Dia tak bisa memejamkan mata karena kejadian itu menghantuinya, kecupan singkat yang menyebalkan bagi Daryn. Namun tanpa sadar jarinya menyentuh kedua bibirnya sendiri, merasakan sentuhan itu.“Apa yang aku pikirkan?” tegurnya begitu tersadar dari lamunan.Daryn mengakui kegilaan Fara yang berani sekali melakukan itu padanya.“Apa maksudnya?” Dia bertanya entah pada siapa.Keheningan malam terasa begitu tenang. Hanya terdengar bunyi jangkrik dan binatang malam di kejauhan. Di remangnya cahaya lampu tidur, Daryn berbaring di atas ranjang, selimut menutupi setengah tubuhnya, kedua tangannya berada di atas dada, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar, pikirannya berkelana lagi pada kenangan masa lalu dan pertemuannya dengan gadis itu.“Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya?” gumamnya ambigu.Di hati kecilnya, Daryn berharap gadis itu adalah sosok yang dari masa lalunya, seseorang yang meninggalkan p
“Ini yang terakhir?” Fara bertanya begitu pasien yang dirawat jalannya telah selesai konsultasi.“Ya,” sahut seorang perawat yang menemaninya. “Namun, ada yang aneh,” katanya melihat kertas di tangannya.Fara mendongakan wajahnya menatap pewarat itu seakan bertanya dalam diam.“Ada apa?”“Di sini tidak dijelaskan apa-apa selain konsultasi,” jawab perawat itu.Dahi Fara mengerut, entah kenapa firasatnya tak enak.“Coba kulihat, Delvin Aezar?” Kerutan di dahi Fara semakin banyak dan dalam membuat kedua alisnya nyaris bertemu. Nama itu terasa tak asing. “Persilahkan masuk,” katanya.Perawat itu hanya mengangguk, mengiyakan instruksi Fara untuk memanggil pasien terakhirnya yang sedikit aneh. Dia sendiri fokus pada layar laptop di depannya dan beralih ke data y
Fara tak menunggu Daryn, dia terus berjalan meninggalkan pria itu sejauh mungkin bahkan ketika namanya dipanggil pun dia tak menoleh. Perasaannya sedang kesal, itu sebabnya dia tak menghentikan langkah. Namun anehnya, Daryn sama sekali tak mengeluh dan mengikuti saja ke mana langkah kaki gadis itu membawa seolah dia menikmatinya, memantau kekasih yang merajuk.Sekali lagi, perhatiannya tefokus pada punggung Fara yang masih berjalan di depan. Meskipun jaraknya cukup jauh, Daryn bisa dengan mudah mengimbangi langkah gadis itu. Namun sekarang, ingatan masa lalunya kembali terpicu ketika melihat punggung kecil itu.“Tiga tahun berlalu, dia pasti berubah,” katanya bergumam, meyakinkan dirinya ada banyak gadis yang memiliki punggung serupa, tetapi entah mengapa bertemu gadis itu ingatan kelamnya terpicu.Fara akhirnya berhenti di zebra cross perasaanya campur aduk, sungguh tak nyaman sekali di ikuti seorang pria. Dia mungkin pergi makan malam bersama rekan pria juga tapi tak pernah terlibat