“Siapa namamu, adik kecil?” tanya Fara ketika anak itu akhirnya berhenti menangis. Tangan gadis itu mengusapnya lembut penuh kasih.
“Del-vin,” sahutnya terbata diselingi isak tangisnya.
“Delvin, kamu suka permen tidak?” tanyanya lagi.
Anggukan kecil dari anak itu menjawabnya dan Fara mengeluarkan tiga macam loli dari saku jas dan memberikannya pada Delvin.
“Nah, karena kamu sudah berhenti menangis, sekarang kakak akan mengobati lukamu, hm?” katanya.
Sayangnya Delvin menolak dengan menggelengkan kepala kuat-kuat dan menghindari Fara.
Gadis itu tak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, hanya memperhatikan tingkah Delvin sampai sekretaris memberikan kotak kesehatan padanya. Fara mengucap terima kasih dan mengalihkan perhatian pada luka di lutut anak itu.
“Aku tidak mau,” tolak Delvin dan merengek.
Daryn maju untuk menegur tapi Fara menghentikannya dengan cepat dan melayangkan tatapan tajam yang mencela padanya.
“Biar aku urus, kau diam saja,” sentaknya melotot pada Daryn yang seketika terdiam.
Jelas saja Daryn tak terima tapi sekretaris menenangkannya dan mengangguk kecil, meminta Daryn untuk menyerahkan perawatan luka Delvin pada Fara.
Setelah membujuknya untuk mengobati luka dengan menceritakan kalau di dalam luka itu ada kuman yang bermain-main di sana, kalau tidak segera diobati nanti lukanya menjadi taman bermain kuman. Barulah Delvin mau diobati. Dengan kehati-hatian dan keahliannya sebagai seorang spesialis anak, Fara mengobati tanpa mengundang tangis dari anak itu lagi, bahkan dengan riangnya berceloteh tentang bagaimana kumat mati saat luka diobati.
Meskipun masih terisak, Delvin mendengarkannya dengan menatap wajah gadis itu, ada suatu tarikan yang membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Daryn yang melihatnya juga heran, bahkan sekretaris yang sudah terbilang sebagai pengasuh anak itu tercengang, baru kali ini Delvin menatap seseorang selama dan seintens itu. Selama ini, Delvin takut dengan orang asing, dan tidak menatap sedemikian rupa terhadap kekasih ayahnya.
Di belakang, Daryn memperhatikan dalam diam. Fokusnya kembali pada punggung Fara yang masih mengundang kelebatan bayangan dalam benaknya tentang sosok yang membawa keponakannya waktu itu saat kakaknya mengalami kecelakaan tragis.
Setelah mengobati luka Delvin, Fara membukakan bungkus permen. Tampaknya Delvin baik-baik saja meskipun ada yang mengusik Fara, tapi dia tetap menghibur anak itu dengan bercerita.
“Akan lebih baik kalau dia menjadi pengasuhnya,” ujar sekretaris tiba-tiba pada Daryn membuat atasannya itu mengarahkan tatapan padanya. “Ah, hanya sekadar saran. Soalnya, jarang sekali Delvin melunak, terlebih pada orang asing, tapi anehnya mereka tampak cukup akrab dalam hitungan menit,” lanjutnya menjelaskan.
Namun, apa yang sekretarisnya katakan itu membuat Daryn memikirkannya.
Mungkin karena cerita Fara dan lelahnya menangis serta shock saat nyaris tertabrak mobil tadi membuat anak itu tertidur di sofa.
“Temani aku dengan bertabur di langit wahai bintang.” Alunan lagu yang dinyanyikan Fara itu semakin menenggelamkan Daryn pada ingatan kelamnya dahulu.
Sentuhan dari sekretaris menyadarkan Daryn dari kenangan lalunya tentang sosok gadis asing itu.
Fara mengambil permen yang tersisa dari tangan Delvin yang sudah tertidur di sofa lalu menaruhnya di atas meja. Dia menyelimuti anak itu dengan hati-hati.
Perhatian Daryn tertuju pada wajah lelah anaknya itu dan beralih pada Fara yang bangun dari duduk, tapi ketika dia melangkah, kakinya yang terkilir bereaksi dan membuatnya kembali terduduk di atas meja sambil mengaduh tertahan.
Pergelangan kakinya bengkak begitu Fara melihatnya dan meringis. Dia menghela napasnya dalam, tangannya mengusap area memar di kakinya. Sekretaris memberikan es batu padanya untuk dikompres. Fara berterima kasih dan mulai mengobatinya sendiri.
Masih di posisi duduk yang mengawasi, perhatian Daryn tertuju pada siku gadis itu yang terdapat darah. Dia beralih ke hadapan gadis itu lalu mengubah posisi duduk Fara menjadi menghadapnya.
“Apa yang akan kau lakukan?” seru Fara marah.
“Aku akan membantumu mengobati luka,” jawab Daryn cuek.
Dahi Fara mengerut, dia tak merasa ada luka lain di tubuhnya sampai pria itu menarik tangannya, barulah dia menyadari sikunya itu yang berdarah. Tanpa mengatakan apa-apa, Daryn meneteskan cairan pembersih luka pada kapas dan menyentuhkannya pada luka di lengan gadis itu. Sentuhan tiba-tiba membuatnya meringis lagi dan menatap pria itu garang.
Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat lamanya. Jarak wajahnya tak jauh dari Fara membuat gadis itu terpaku pada pesonanya. Pahatan sempurna yang Tuhan ciptakan, dari jidat lebar yang turtutup poni, alis hitam tebal, hidung mancung bak perosotan, dan pipi tirus berkulit putih serta bibir penuh yang merah, juga rahang kokoh sejajar dengan dagu. Satu hal lagi yang terlewat, bulu mata lentik yang menaungi mata tajam bermanik hitam itu entah mengapa membuat jari telunjuk Fara bergerak, dia selalu ingin menyentuh bulu mata seorang pria.
“Aku tahu kalau aku tampan, tapi jangan menatapku seperti itu, karena membuatku tak nyaman,” kata Daryn dingin.
Fara terbatuk.
“Narsis,” balas gadis itu seraya memalingkan muka.
Daryn menarik satu sudut bibirnya membentuk seringai.
“Sudah selesai. Kakinya harus diperiksa,” katanya begitu menarik diri dari Fara.
Perhatian Fara tertuju pada kakinya yang tengah dikompres.
“Aku akan mengurusnya nanti,” katanya.
Keduanya kemudian terdiam, mengalihkan perhatian pada Delvin yang terlelap. Fara tersenyum lega, dan Daryn hanya diam saja. Dia juga lega, hanya saja tak mengekspresikannya.
Fara masih menatap Delvin, sedangkan Daryn menoleh pada sekretarisnya yang mengangkat telepon sambil berbisik membuatnya penasaran. Begitu selesai menerima panggilan, sekretaris menunjuk pada Daryn untuk menerima telepon. Mulutnya bergerak menyampaikan kalau kekasihnya yang menghubungi.
“Kekasihmu menghubungiku. Katanya, tolong angkat teleponmu,” kata sekretaris.
Daryn melirik Fara sesaat lalu mengeluarkan ponsel dari saku jas. Dia menahan pergelangan tangan gadis itu ketika hendak bangun dari duduknya, pria itu berbicara lewat tatapan mata, memintanya untuk diam, sedangkan mulutnya menjawab panggilan dari kekasihnya yang sempat menghubungi sang sekretaris untuk protes. Tentu saja Fara tidak ingin berada di sana sebab dari pembicaraan pria itu, dia tahu kalau akan mengumbar kata-kata mesra yang baginya menjijikan.
“Aku di kantor hotel. Terjadi sesuatu pada Delvin, jadi aku tidak bisa datang menjemputmu hari ini, maaf, sayang,” ucapnya.
Pipi Fara menggelembung dan memalingkan muka lalu pura-pura muntah mendengar kata manis yang baru saja Daryn ucapkan, dan pria itu menatapnya tajam tak terima, tapi Fara tak peduli, memutar kedua bola matanya jengah. Terlebih lagi suara manja yang merajuk dari seberang sambungan membuat Fara tak tahan lagi berada di sana, dia menepis tangan pria itu tapi tetap tak lepas sampai akhirnya perhatiannya tertuju pada dada bidang yang terbalut kemeja dan rompi, dia jadi teringat insiden pagi tadi, tumpahan kopi membekas di kemeja pria itu, satu dari sekian kesialannya hari ini, dan yang paling sial adalah bertabrakan dengan pria itu sehingga kopinya tumpah mengenai dada Daryn dan nyaris saja terlambat ke seminarnya.
Entah mengapa, sebuah ide jahil melintas di benak Fara, seulas senyum miring dengan sebelah alis terangkat memberinya kepuasan. Sepertinya Daryn sulit untuk mengakhiri panggilan dari kekasihnya yang masih merengek seperti anak kecil dan dia berusaha menenangkannya dengan janji-janji tak penting hanya untuk menyenangkan si kekasih saja tanpa menyertakan anaknya.
Fara menggeser posisi duduknya hingga ke ujung meja lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, satu tangannya terulur dan satunya lagi masih dicekal Daryn yang entah apa maksudnya, tapi gerakan pelan tangan gadis itu yang membuka kancing rompinya mengundang perhatian pria itu dan meliriknya tajam, tapi Fara tak peduli malah mengumbar senyum licik bak penyihir yang mendapatkan keinginannya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Daryn kelepasan bicara saat Fara berhasil meloloskan dua kancing kemejanya sehingga setengah dadanya terlihat.
“Apa? Apa yang aku lakukan? Apa maksudmu?” balas suara kekasihnya itu dari sambungan.
Daryn panik mendengar suara sang kekasih yang bertanya, tapi Fara tersenyum kemenangan.
“Aku hanya membuka kancing bajumu supaya aku ….”
“Suara siapa itu?”
Daryn semakin panik karenanya dan bergegas meminta maaf sambil mengatakan kalau dia ada urusan lantas mengakhiri sambungan. Sepertinya ulah Fara cukup membuat kekasih Daryn salah paham, bahkan sebelum sambungan terputus sempatnya mengumpat dan menyampaikan ancaman.
“Apa yang kau lakukan, hah?” sentak Daryn sambil mendorong Fara menjauh darinya.
Bukannya terkejut, gadis itu justru semakin tersenyum puas, bahkan mengangkat kedua alisnya angkuh.
“Mengobatimu,” sahutnya singkat.
Dahi Daryn mengerut, dia tak mengerti sampai gadis itu menunjuk dadanya yang kancing kemejanya sudah terlepas setengah dan menampakkan kemerahan di kulit putihnya. Perhatian pria itu tertuju pada dadanya sendiri, ternyata kulitnya sedikit melepuh. Sekretaris berdeham kecil untuk menyampaikan kalau dia ada urusan jadi pamit lebih dulu meninggalkan Daryn bersama Fara yang tertawa kecil.
“Apa yang kau lakukan sebenarnya, hah? Kau membuat mereka salah paham,” kata Daryn tajam.
Fara mengangkat bahunya acuh, dia mengambil obat dari dalam kotak untuk mengobati luka di dada pria itu. Untungnya luka itu tak begitu parah. Jelas Daryn menolaknya tapi gadis itu tetap maju untuk mengobatinya sendiri sebagai tanggung jawab sudah menumpahkan kopi dan membuatnya terluka, juga mengatakan kalau dia bersedia ganti rugi jadi akan mencuci kemejanya sekalian. Daryn menolaknya dengan tegas, dia masih ada kemeja jadi tak perlu ganti rugi.
“Kau sudah menyelamatkannya, jadi anggap saja impas,” kata Daryn.
Terdiam, Fara melirik Delvin sekilas dan kembali mengalihkan tatapan ke luka di dada pria itu lalu mengoleskan salep pada lukanya dengan hati-hati. Kini giliran Daryn yang terdiam melihat wajah gadis itu berada tepat di bawahnya sehingga dia bisa melihat dengan begitu jelas pahatan wajahnya.
Kulit putih bersih, dahi lebar, hidung mancung, pipi tirus, mata sedang yang berbulu lentik, alis hitam tipis, perhatiannya terhenti di bibir ranum yang tipis itu sedikit terbuka.
“Jangan menatapku seperti itu, aku bukan wanita penggoda yang bisa kau lucuti dengan tatapan bergairah,” kata Fara mengangkat pandangannya pada wajah Daryn di atasnya.
Daryn berdeham pelan lalu memalingkan mukanya tanpa melihat senyum puas dari gadis itu yang telah selesai mengobati lukanya.
“Wanita penggoda, memang cocok untukmu,” sembur Daryn sambil bangun dari duduknya dan menjauh dari gadis itu yang tertawa tak percaya.
Lagi-lagi Daryn diingatkan pada sosok gadis misterius yang dulu membawa keponakannya, kenapa ingatan itu kembali saat bertemu dengan Fara yang baginya asing? Ada apa sebenarnya?
Melihat dan memastikan Delvin sekali lagi sebelum dia pergi, Fara merekam wajah bocah itu baik-baik dan dahinya menampilkan kerutan halus ketika wajah kecil itu mengingatkannya pada seorang anak yang dulu pernah dia lihat.“Bagaimana mungkin?” tanya hatinya ragu. Dia menggelengkan kepala untuk menghalau bayangan itu.Bangun dari duduknya, Fara menatap Daryn yang tampak kesal mengawasinya dengan tajam.“Apakah kau seperti itu pada semua pria?” tanya Daryn.Fara menatapnya tak mengerti.“Bersikap seenaknya, bahkan membuka kancing baju pria tanpa izin. Kau sungguh cocok sekali sebagai seorang wanita penggoda,” katanya.Kali ini Fara tertawa tapi hanya sesaat lalu mengarahkan tatapannya kembali pada Daryn.“Ini yang pertama, dan terakhir. Kau tau, bertemu denganmu adalah kesialan bagiku,” kata Fara sarkas.Jelas saja Daryn tak terima. Bagaimana mungkin bertemu dengannya adalah kesaialan disaat orang lain menganggapnya keberuntungan, Fara justru sebaliknya tapi gadis itu tak menjelaskan ap
“Ayah!” Panggilan dari Delvin untuk Daryn mengalihkan perhatian kedua orang itu.Delvin menatap Daryn yang mencoba tersenyum padanya setelah menenangkan dirinya.Melihat Delvin yang tampak lemah di matanya, Daryn menghampiri lantas memeluknya erat. Hatinya terluka dengan apa yang dikatakan Sandra. Tidak ada yang tahu kebenaran tentang mereka.“Maafkan Ayah, Delvin,” ucap Daryn pelan. Delvin membalas pelukannya, mengusap punggung lebar Daryn dengan tangannya yang kecil.Entah mengapa, ada yang mengusupi hati Fara melihat pemandangan itu, rasanya hangat sekaligus membingungkan karena sekali lagi melihat wajah Delvin mengingatkannya pada masa lalu, tentang seorang anak di bawah guyuran hujan dan simbahan darah serta tangisan yang begitu menyayat hati. Namun, suara dering ponselnya menyita perhatian.Fara sedikit menjauh untuk menerima panggilan.“Baik. Aku akan kembali sekarang,” katanya pada sambungan dan menutupnya kemudian.Ayah dan anak itu sudah melepaskan pelukan mereka. Daryn meng
Fara sedang duduk di kursi sebuah restoran untuk makan siang. Dia sedang ingin keluar maka dari itu mengajak temannya untuk ikut dengan alasan tidak mau makan sendirian, nyatanya dia hanya ingin melamun. Ada jeda satu jam untuk makan siang dari kerjaannya dan itu bisa dimanfaatkan Fara untuk melamun, teringat kembali pada kejadian kemarin.“Kakimu bagaimana?” temannya bertanya sambil meletakan makanan penutup di depan Fara yang sejak tadi diam.Gadis itu melirik kakinya di bawah meja lalu menggerakannya.“Sudah tak terasa sakit setelah melakukan pengobatan,” jawab Fara.Temannya mengangguk sambil menyuapkan makanan penutup ke mulutnya. Fara yang traktir jadi Ira memesan makanan sesuka hatinya, berhubung suasana hati Fara sedang buruk jadi dia memanfaatkan itu untuk memerasnya karena di saat seperti itu Fara tak akan peduli.Ira memperhatikan ekspresi wajah Fara yang tampak begitu serius dari biasanya. Gadis cantik yang selalu berpenampilan ala kadarnya itu tak pernah terlalu lama terj
Fara balas menatap Daryn tak kalah tajam. Rahang keduanya mengeras. Dari sorot matanya Fara pikir pria itu tak akan bisa dengan mudahnya melepaskan dirinya. Bila terlalu lama di sana, dia akan kehilangan nyawa anak itu. Otaknya berpikir cepat selagi tatapannya masih terpancang pada iris mata Daryn.Dari kedua iris kelam pria di hadapannya yang masih mencekal pergelangan tangannya, tatapan Fara turun melewati pangkal hidung Daryn lalu berhenti di bawahnya, tepat pada kedua bibir itu.Ini gila! Jangan lakukan. Hatinya menjerit memberi tahu. Tapi kalau dia tak bertindak, nyawa seseorang terancam, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia pikirkan saat ini meskipun memang gila.“Aku sungguh harus pergi sekarang. Hanya satu cara supaya aku bisa pergi, jadi jangan salahkan aku melakukan ini, kau sendiri yang tak mau melepaskanku,” kata Fara.Kedua alis hitam Daryn yang memayungi kedua matanya itu terangkat mendengar apa yang dikatakan gadis itu.Hanya dalam satu kedipan mata saja kejadian
Pertemuan dan kejadian itu cukup mengganggunya, bahkan membuat waktu tidurnya terganggu. Dia tak bisa memejamkan mata karena kejadian itu menghantuinya, kecupan singkat yang menyebalkan bagi Daryn. Namun tanpa sadar jarinya menyentuh kedua bibirnya sendiri, merasakan sentuhan itu.“Apa yang aku pikirkan?” tegurnya begitu tersadar dari lamunan.Daryn mengakui kegilaan Fara yang berani sekali melakukan itu padanya.“Apa maksudnya?” Dia bertanya entah pada siapa.Keheningan malam terasa begitu tenang. Hanya terdengar bunyi jangkrik dan binatang malam di kejauhan. Di remangnya cahaya lampu tidur, Daryn berbaring di atas ranjang, selimut menutupi setengah tubuhnya, kedua tangannya berada di atas dada, tatapannya tertuju ke langit-langit kamar, pikirannya berkelana lagi pada kenangan masa lalu dan pertemuannya dengan gadis itu.“Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya?” gumamnya ambigu.Di hati kecilnya, Daryn berharap gadis itu adalah sosok yang dari masa lalunya, seseorang yang meninggalkan p
“Ini yang terakhir?” Fara bertanya begitu pasien yang dirawat jalannya telah selesai konsultasi.“Ya,” sahut seorang perawat yang menemaninya. “Namun, ada yang aneh,” katanya melihat kertas di tangannya.Fara mendongakan wajahnya menatap pewarat itu seakan bertanya dalam diam.“Ada apa?”“Di sini tidak dijelaskan apa-apa selain konsultasi,” jawab perawat itu.Dahi Fara mengerut, entah kenapa firasatnya tak enak.“Coba kulihat, Delvin Aezar?” Kerutan di dahi Fara semakin banyak dan dalam membuat kedua alisnya nyaris bertemu. Nama itu terasa tak asing. “Persilahkan masuk,” katanya.Perawat itu hanya mengangguk, mengiyakan instruksi Fara untuk memanggil pasien terakhirnya yang sedikit aneh. Dia sendiri fokus pada layar laptop di depannya dan beralih ke data y
Fara tak menunggu Daryn, dia terus berjalan meninggalkan pria itu sejauh mungkin bahkan ketika namanya dipanggil pun dia tak menoleh. Perasaannya sedang kesal, itu sebabnya dia tak menghentikan langkah. Namun anehnya, Daryn sama sekali tak mengeluh dan mengikuti saja ke mana langkah kaki gadis itu membawa seolah dia menikmatinya, memantau kekasih yang merajuk.Sekali lagi, perhatiannya tefokus pada punggung Fara yang masih berjalan di depan. Meskipun jaraknya cukup jauh, Daryn bisa dengan mudah mengimbangi langkah gadis itu. Namun sekarang, ingatan masa lalunya kembali terpicu ketika melihat punggung kecil itu.“Tiga tahun berlalu, dia pasti berubah,” katanya bergumam, meyakinkan dirinya ada banyak gadis yang memiliki punggung serupa, tetapi entah mengapa bertemu gadis itu ingatan kelamnya terpicu.Fara akhirnya berhenti di zebra cross perasaanya campur aduk, sungguh tak nyaman sekali di ikuti seorang pria. Dia mungkin pergi makan malam bersama rekan pria juga tapi tak pernah terlibat
Daryn pulang setelah mengantarkan Fara ke rumahnya. Pria itu sama sekali tak menjelaskan apa pun sepanjang jalan mengantarkan gadis itu, hanya mengatakan kalau dialah yang dicarinya, hal itu justru membuat Fara semakin bingung.Dia terlihat bahagia bak orang jatuh cinta, tak hentinya tersenyum seperti orang gila, bahkan sesekali bersenandung dengan riangnya. Namun semua itu sirna seketika saat suara wanita mengintrupsinya di ruang tengah menuju kamarnya.“Dari mana kau?” Suara itu dingin dan datar. Sosoknya duduk di sofa yang seperti singgasana, menenggelamkan tubuhnya dari belakang tapi suaranya mengagetkan berhasil menghentikan langkah Daryn.“Aku pikir siapa. Sedang apa Ibu di situ?” tanya Daryn tetap berdiri di tempatnya.“Duduklah,” katanya dengan nada perintah.Merasakan atmosfer yang tak enak membuat Daryn mau tak mau menurutinya dan duduk di sofa tak jauh dari sang ratu yang menahan murka. Daryn bahkan tak berani mengangkat wajahnya terlalu lama.“Apa yang kau lakukan seharian