Satya mengangguk menjawab pertanyaanku. Dengan memperhatikan tangan kanannya dia memberikan penjelasan padaku. "Ada dislokasi di sekitar bahu. Tak terlalu serius, hanya saja memang harus diperbaiki." Aku menautkan kedua alisku sambil bergidik ngeri. Nyeri yang dirasakan Satya seolah tersalurkan padaku. Kusentuh lengannya perlahan. "Apakah sakit?" Lelaki itu tertawa lirih. "Oleh karenanya aku tak ingin memberitahumu. Aku lupa memberitahu Pak Rama untuk merahasiakan ini dari. Bodoh sekali aku ini." Satya seolah menertawakan dirinya sendiri. "Aku tahu kau takut sekali mendengar kata operasi bukan? Apalagi adegan berdarah-darah yang pasti membuatmu tak bisa tidur semalaman. Aku masih ingat bagaimana kau muntah-muntah hingga syok melihat Denta yang jarinya teriris pisau di restoran. Apalagi setelah kuberitahu aku kecelakaan. Aku tak ingin membuatmu tak nyaman, Rindu." Aku tertunduk. Di saat seperti ini pun Satya masih memikirkan traumaku. Terkadang aku membenci sekali perlakuan berl
Genderang Perang "Siapa Satya? Lelaki yang biasa bersamamu itu? Yang selalu menempel pada Bintang dan memposisikan dirinya seperti seorang ayah baginya?" Giandra berdiri di depan pintu rumahku, berucap dengan matanya yang merah mengisyaratkan api yang berkobar di dalam sana. Luar biasa sekali beraninya dia menumpahkan amarahnya seolah semua ini adalah urusan yang harus diketahui betul olehnya. Aku tersenyum sinis, hanya menaikkan salah satu sudut bibirku pada lelaki tak tahu malu di depanku. Kaca mata yang bertengger di atas hidungnya tak mampu menghalau semburat rasa yang seharusnya tak perlu dia tampakkan. "Atas dasar apa kau tak punya malu menanyakan hal tersebut padaku?" Mata lelaki itu terbuka lebar. Kurasa kalimatku cukup memberi pukulan telak untuknya. Aku kembali menyeringai. "Jangan lupa posisimu, Giandra. Kita berdua bukan siapa-siapa. Tak ada ikatakan apapun yang membuatmu berhak ikut campur dalam urusanku." Datar, namun kurasa cukup mampu membuat lelaki di depanku in
"Ya, aku rasa kau cukup tahu diri. Jadi sekarang pergilah, Giandra. Lupakan apa yang sudah terjadi di masa lalu. Anggap kita tak pernah mengenal. Mari saling menghilang, dan tidak perlu saling menemukan satu sama lain selamanya. Jika pun kita harus bertemu, anggaplah yang kau temui itu Rindu yang baru, bukan Rindu si bodoh yang sudah kau rampas hak hidup dan juga kehormatannya di masa lalu. Rindu yang kau kenal sudah mati, dia tak akan pernah kau temui lagi di dunia ini." "Rindu, izinkan aku mengenal Bintang lebih jauh." Kulayangkan tatapan penuh kebencian pada makhluk di depanku. Apakah seluruh kalimatku tak bisa dia cerna dengan baik? Kurasa dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata itu mampu menangkap seluruh maksud perkataanku. "Jangan memulai perdebatan lagi, Giandra. Bukankah kau tahu jawaban apa yang akan kukatakan atas permintaan bodohmu itu? Ingat, diammu saat orangtuamu menyuruhku menggugurkan kandunganku sama artinya dengan kau pun mengamini permintaan mereka. Kau setu
Eh? "Apa?" "Wangi mana antara Bintang dan Om Satya?" ulang Bintang. Refleks, seketika aku mengambil posisi duduk. "Bintang? Kok tanyanya seperti itu?" Aku menatap anakku tak percaya. "Kenapa, Ma? Bukankah Mama dan Om Satya akan menikah?" Kembali aku tertegun dengan pertanyaan anak sekecil itu. Mengapa Bintang tiba-tiba bertanya hal yang menurutku tak pantas itu? Dan soal menikah, mengapa pikiran itu melintas di pikirannya? "Ma, Bintang ingin punya Papa." Lirih, tapi cukup terdengar jelas di telingaku. Bintang meminta sesuatu yang membuatku terdiam, tak mampu berucap untuk menjawab pertanyaannya. "Bintang ingin sekolah dijemput Papa. Teman-teman Bintang bertanya, dimana Papa Bintang saat ini? Apakah dia bekerja jauh? Mengapa tak pernah menjemput Bintang di sekolah?" Kurasakan hatiku yang mulai gerimis. Aku tak mampu mencegah mataku yang mulai mengabur setelah mendengar pertanyaan anakku. "Bintang diledek teman-teman di sekolah?" tanyaku perlahan. Campur aduk kurasakan saat ini
Kedatangan Tamu Tak Diundang Kutatap lekat-lekat barisan nomor yang begitu asing di ponselku. Kuputuskan untuk menggeser tombol warna hijau dan segera meletakkan benda itu di telinga kiriku. "Halo.""Wanita tak tahu diri, kau kira siapa berani menganggu suamiku? Kau kira dengan bersenjatakan anak yang tak jelas asal-usulnya itu bisa membuat Mas Ganin berpaling padamu? Cuih. Kau menjijikkan sekali, Rindu! Jangan harap kau akan hidup tenang setelah berani berbuat securang itu padaku! Mas Ganin tak akan mendatangi rumahmu kalau bukan kau yang mengundangnya, pelac*r!" Aku tertegun. Kupastikan suara siapa yang kudengar dengan kalimat sarkastiknya. Belum sempat membalas, kembali kudengar sumpah serapah dari wanita di seberang sana. "Apakah kau gat*l karena lama tak terjamah pria lain, hah? Hingga kau harus meracuni otak suamiku agar mendatangi rumahmu? Kau kira aman tak terpantau dari mataku?" Suara Aluna berteriak membabi buta. Kutarik napas perlahan, kutekan dadaku kuat-kuat hingga p
"Gimana, sembuh?" tanyaku saat kulihat Satya berjalan tertatih dengan kruk di tangannya. Aku yang tengah berada di ruang pantry setengah berlari ke arah lelaki itu. "Gila sih, tinggal istirahat di rumah dulu sampai sembuh. Kau tak percaya padaku mengelola tempat ini sendiri?" Barisan gigi rapi lelaki di depanku terlihat begitu jelas. Kutarik kursi di meja sudut tempat favoritnya selama ini. Satya mengedarkan pandangannya ke penjuru tempat ini. "Mana Bintang?" tanyanya. "Baru masuk dan Bintang yang kau tanyakan?" balasku agak sewot. "Lalu kau ingin aku bertanya apa?kabarmu?" Aku memutar bola mata dengan malas. Mengapa dia bertanya demikian? "Aku rindu sekali dengan anak itu," ungkap Satya. Kuletakkan segelas air mineral di depan lelaki itu. "Minggu ini dia ada mid semester. Aku memintanya untuk istirahat di rumah. Jika dia kemari, aku khawatir tenaganya habis kesana kemari tak kenal lelah." Satya mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Kulihat dia cukup kekusahan membuka air
Orang-orang dari Masa LaluWanita dengan rambut sebahu dan sedikit bergelombang itu duduk di depanku. Warna bibirnya makin terlihat menyala terang berpadu dengan kulit wajahnya yang begitu terawat. Matanya sibuk menelisik setiap inci tubuhku, sesekali mengernyit keheranan saat netranya itu menangkap sesuatu yang dinilainya janggal. Seperti saat matanya itu melihat jam di pergelangan tanganku. Kuyakin dia yang paham mode akan begitu mudah menerka harga barang yang kukenakan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Seolah tak mampu melawan takdir, sela-sela jemari yang mulai keriput itu tetap menunjukkan usia asli pemiliknya. "Kelihatannya kau hidup begitu layak di sini." Ucapan itu keluar disertai seringai intimidasinya padaku. Aku diam, mencoba mendengar alasan yang membawanya kemari, menemui seseorang yang enam tahun lalu pernah dihinanya habis-habisan. Kuredam gejolak emosiku. Benci sekali rasanya, kehidupan yang mulai tertata rapi kembali berantakan karena pertemuan dengan orang-
Sungguh, hinaan itu membuatku tak mampu berkutik. Tidak hanya menyangkal tuduhanku atas putranya, wanita angkuh itu pun menuduhkan hal yang begitu keji. Dan kedatangan wanita itu kemari mau tak mau membuka memori lama yang sejatinya sudah ingin kuhapus dari ingatanku. "Tentu saja baik. Seperti yang kau lihat," jawab ibu kandung Giandra. Aku tersenyum tanpa mengalihkan sedetik pun pandanganku dari wajahnya. Wajah yang terlihat awet muda karena perawatan ala sultan yang pasti dia lakukan hampir tiap bulan. "Ah, syukurlah. Aku lega mendengarnya," jawabku sedikit retoris. "Apakah kau berharap aku mati? Atau… hidup nelangsa setelah memberi pelajaran padamu?" Aku tergelak. "Anda lucu sekali, Bu. Lalu… Apa yang membawa Anda kemari? Sebentar, bisakah aku menebak?" kataku menggantung kalimat. "Apakah menantumu yang menyuruh ibu mertuanya kemari untuk menemuiku?" Kulihat tangan itu meremas tas warna hijau yang kuyakin sebagai tas edisi eksklusif sebuah produk impor ternama. "Apa kau yan