Hari ini aku sengaja mencari gaun yang akan kukenakan di acara pesta pernikahan salah satu temanku. Aku bertemu dengan Gina saat sama-sama merintis usaha kuliner beberapa tahun lalu. Kebetulan kami mengikuti pelatihan salah satu motivator bisnis kuliner yang diadakan di salah satu hotel cukup terkenal. Dari sanalah hubungan baik kami terjalin hingga kini, saat usaha kebab fenomenalnya memiliki puluhan cabang di kota ini.
Kuparkirkan mobil di halaman depan butik langgananku ini. Selain harganya yang pas di kantong, aku cukup suka dengan rancangan gaun pemilik butik ini. Saking seringnya aku mempercayakan gaunku disini, pemiliknya—Mba Dena, sampai kenal baik denganku. Aku tak tahu apakah itu bentuk keramahan pemilik butik pada customernya. Yang jelas aku nyaman berkonsultasi mengenai rancangan yang kuinginkan. "Hai, sendirian? Mana bodyguard kesayanganku itu?" Mba Dena mencium pipiku kanan kiri sambil meledekku dengan membahas Satya setiap pertemuan kami yang tanpa diikuti lelaki itu. Aku tersenyum sambil memajukan bibirku. "Biasanya kaya up*l, nempel terus." Aku tergidik dengan perumpaan yang dipakai oleh wanita tinggi semampai itu. Tubuhnya yang proporsional dengan wajah oriental membuat wanita ini terlihat begitu memikat. "Apaan sih, kenapa mesti memakai kata up*l coba? Jorok Mba Dena!" Aku meninju pelan lengannya. Kudengar tawa renyah wanita itu. Tak lama aku diajak masuk ke ruangan kerjanya yang berada di lantai dua butik miliknya. Kagumku bertambah melihat bangunan lantai dua yang direnovasi belum lama. Bagian belakang diperluas dengan memanfaatkan sisa tanah yang ada. Mba Dena benar-benar tak main-main memajukan bisnisnya ini. Beruntung semua ide dan keinginan wanita itu didukung pula oleh keluarganya, terutama sang suami, pemilik beberapa counter handphone terkemuka di kota ini. "Mba. Gila ini, habis berapa renovasi beginian?" tanyaku yang masih terheran. Wanita itu tersenyum simpul menanggapi pertanyaanku. "Nggak banyak. Cukuplah, daripada duit lakiku diambil semua sama gund*knya, mending kumanfaatkan dulu buat jaga-jaga. Misalnya memperbesar butik seperti ini, Ndu." Aku makin tercengang dengan jawaban wanita itu. Kupastikan apa yang kudengar barusan bukan kekeliruan."Kenapa kaget? Wajarlah namanya lelaki. Usaha maju, istri mandiri, anak-anak sehat dan pintar , keluarga bahagia. Ehh.. Ada aja blangsaknya. Namanya cobaan hidup, pasti tiap orang punya kan, Ndu?" ucap Mba Dena mengambil beberapa contoh gambar pakaian yang akan kupesan. Sesaat kemudian dia memberikannya padaku yang masih bergeming di tempatku berdiri. "Nggak usah kaget. Dah cepet milih mau yang gimana modelnya. Bahan brokat prancis 'kan?" Aku mengangguk karena bahan sudah kutentukan jauh-jauh hari. Untuk model memang kuserahkan sesuai rancangan Mba Dena. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan seluruh rancangan yang dibuatnya. "Yang ini, Mba. Cuma bagian bagian dada jangan terlalu diekspos. Toh nanti kututup dengan pasminaku." Aku menunjuk model yang mencuri perhatianku. Mba Dena mengangguk dan menandai pesananku."Mba, yang tadi serius?" tanyaku. Wanita itu melipat dahinya sebelum tertawa jenaka. "Serius. Mas Anton main gila sama salah satu pegawai di counter. Awalnya dia main rapi, entah berapa lama aku kecolongan. Yang jelas suatu ketika ponsel yang biasa dia gunakan itu tertinggal, akhirnya aku bisa melihat semuanya. Tahu apa yang kurasakan saat itu? Aku merasa jadi wanita paling tolol sedunia. Bisa-bisanya mereka sudah menikah, si sund*l itu bahkan sedang hamil sekarang. Dan yang lebih bikin sakit hatiku berlipat-lipat, pernikahan mereka disaksikan oleh keluarga besar Mas Anton. Selama ini mereka tahu dan membiarkan perselingkuhan Mas Anton. Tahu alasannya apa? Mereka bilang aku tak cakap mengurus suami. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Lalu apakah mereka lupa, darimana Mas Anton mendapatkan modal hingga usahanya sebesar ini? Keringatkulah yang dipakai, Rindu. Ish, kalau ingat itu semua rasanya aku ingin meninju ibu mertuaku yang entah dimana otaknya diletakan sekarang. Kesal aku sama mereka. Minta cerai sekarang ya aku sayang dong, hartanya belum kukuras semuanya. Enak saja, lagi kere aku yang ikut banting tulang, giliran kaya raya aku mau disisihkan. Kusabarkan saja dulu,kalau udah dapat banyak baru kulepas. Nggak sudi juga barengan suami sama orang lain. Pikiranku kaya rebutan barang bekas gitu. Ogah!" Dadaku mendadak sesak membayangkan menjadi Mba Dena. Kehidupannya yang kulihat begitu mapan dan nyaman, siapa yang tahu kemelut di dalamnya? Bahkan masalah yang dia hadapi bukan hal remeh temeh, ini masalah keutuhan rumah tangganya. Bukan main Mba Dena masih bisa berdiri setegar ini sekarang. Apa yang menimpa Mba Dena membuat mataku terbuka lebar. Setiap orang mempunyai masalah, tinggal bagaimana cara kita menghadapi dan berjuang menaklukannya. Sejauh ini Mba Dena berhasil menurutku. "Mba Den…" panggil sebuah suara dari depan pintu. Aku yang tengah memangku katalog model kebaya lantas menoleh ke sumber suara. Mataku membola memandang siapa sosok wanita yang memanggil Mba Dena dengan begitu akrab. Begitu pun dia, yang bahkan kedua alisnya tersentak bersamaan saat mendapatiku berada di ruangan yang sama dengannya. Lututku gemetar dengan kedua telapak tangan yang mendadak berkeringat. Mengapa pertemuan dengan orang-orang dari masa lalu yang ingin kuhilangkan ini begitu tiba-tiba dan beruntun?Dunia yang Sempit"Hai Lun? Kapan sampai?" Mba Dena menuju ke arah Aluna yang masih berdiri di depan pintu. Matanya tak bisa berbohong, dia masih syok saat mendapatiku tengah berada di ruangan yang sama dengannya. Aku yang masih punya janji dengan Mba Dena untuk melihat koleksi bajunya memilih bertahan di tempatku duduk. Kuambil katalog design produk yang lain demi membunuh rasa canggung yang tak bisa kuhilangkan dalam sekejap. Kulihat Aluna masuk meski dengan langkah yang ragu. "Minggu kemarin, Mba. Beres-beres rumah dulu baru sempat kemari," ucapnya berusaha menampilkan senyum pada Mba Dena yang memeluknya erat. Sementara aku memilih membuka kembali katalog yang lain lagi untuk mengalihkan perhatianku. Tetapi dari ekor mataku aku bisa melihat Aluna masih memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Jadi ambil rumah yang di Residen itu?" Pertanyaan Mba Dena pada Aluna membuat kedua alisku bertaut. Perumahan Residen? Hatiku mulai dilanda tanda tanya. Perumahan Residen di kota
"Aduh, maaf malah jadi lupa, Ndu. Bentar kuambil brownies dulu di dapur. Titip buat Bintang." Mba Dena berlalu dari ruangan yang hanya diberi pembatas kaca. Kulihat langkahnya buru-buru, mungkin karena tak enak telah membuatku menunggu beberapa saat. "Jadi selama ini kamu bersembunyi di sini?" Aluna membuka kalimatnya saat Mba Dena sudah tak terlihat. Aku menoleh, membalas tatapan matanya yang menghujam seolah di hadapannya adalah musuh lama yang baru ditemukan. Aku tersenyum hanya dengan menarik salah satu sudut bibirku. Kulihat tangan Aluna meremas tas di pangkuannya. Bahkan aku masih hafal perangainya jika hatinya tengah gusar. "Bersembunyi? Siapa yang tengah kutakuti hingga harus bersembunyi?" Kujawab pertanyaannya dengan kalimat tanya yang pasti tak dapat dijawabnya."Aku tak melakukan kesalahan apapun. Jadi tak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bersembunyi," lanjutku. "Kau memang pandai memainkan kata, Rindu. Apakah kau melahirkan anak itu?" tanyanya dengan suara bergetar
Hanya Aku dan Bintang Aku datang ke restoran jam sebelas siang. Sebelumnya aku sudah meminta izin Satya untuk datang agak telat karena ada urusan di sekolah Bintang. Hari ini acara pembagian raport, jadi mau tidak mau aku harus menyempatkan diri mengambil laporan hasil belajar anakku selama setengah tahun terakhir. Tak mungkin aku meminta Mba Tini untuk mengambilkannya, hingga pengasuh anakku itu kuminta istirahat hari ini. Sedangkan Bintang sendiri kuajak ke restoran karena beberapa kali dia memintanya demikian. "Sepagi ini sudah ada yang ngapel. Apaan banget sih, Ndu!" ucap Satya dengan sorot mata penuh penghakiman namun dengan mimik yang dibuat lucu. Aku menautkan kedua alisku bermaksud mempertanyakan kalimatnya. Dengan gerakan dagunya dia menunjukkan salah satu sudut dimana seorang laki-laki duduk. Tentu saja membuatku sedikit bertanda tanya siapa yang sudah mendatangiku sepagi ini. "Bukan customer biasa, Sat?" tanyaku meletakkan tas selempang di ruanganku. Dia menggeleng sambi
"Anakmu?" Dia menoleh ke arah Bintang yang tengah memainkan ponsel Satya, kebiasaan buruk yang berulang kali kucegah. Anakku dan Satya memiliki kebiasaan buruk yang susah kuingatkan. Mereka akan kompak memainkan perasaanku dengan sengaja menentang aturan yang kubuat. "Bodoh. Anak itu memang mirip dengan ayahnya. Kurasa dia akan benar-benar gila dengan rasa bersalah yang menghantuinya setelah ini." Mas Enggar tersenyum getir tanpa menatap mataku. Aku tahu baru saja dia mengumpat Giandra. "Laki-laki itu menemuiku. Dia yang mengatakan telah bertemu denganmu di kota ini. Awalnya aku tak percaya, Rindu. Tetapi dia meyakinkanku hingga mengirimi fotomu saat berada di depan restoran ini. Kurasa diam-diam dia mengambil gambarmu untuk meyakinkanku bahwa dia telah benar-benar menemukanmu." Aku mencengkeram ujung meja saat mendengar penjelasan Mas Enggar. Dari tadi aku ingin menanyakan dari mana dia mengetahui keberadaanku di sini. Bukan tanpa sebab, karena tak seorang pun dari keluargaku tahu
Dunia yang SempitSesuai rencana hari ini aku akan kembali meninjau lokasi pembangunan di kawasan Baturraden. Sejak pertama aku ke kota ini, rasanya sulit sekali tak jatuh cinta pada tempat ini. Lokasinya yang berada di kaki Gunung Slamet membuat hawa sejuk mudah sekali dinikmati. Belum lagi lokasinya yang tak jauh dari pusat kota kabupaten Banyumas yang membuatnya menjadi tempat wisata yang cukup strategis. Oleh karenanya aku sangat serius untuk membuka kafe dengan konsep yang sudah kumatangkan betul apalagi saat aku bertemu investor yang siap menggelontorkan dananya untuk pembangunan kafe ini. Aku menekan tombol-tombol di ponselku untuk kembali menghubungi Satya. Entah sudah berapa kali aku menghubunginya dan belum sekalipun dia mengangkat panggilanku. Padahal kami sudah sepakat untuk bertemu di restoran taman tak jauh dari lokasi yang akan kami tinjau ulang. Sedangkan Pak Rama sendiri, dia sudah berkata dalam perjalanan ke tempat itu. Tak mungkin membuatnya menunggu. "Apakah dia
Senyumnya yang mengembang sempurna bertolak belakang dengan diriku. Menarik sudut bibir pun aku tak mampu. Bukan aku tak tahu rasa apa yang dia simpan di dalam hatinya untukku. Semua terpancar dengan begitu nyata. Bahkan orang-orang yang baru pertama melihat kami pun akan dengan mudah menebaknya. "Sat, kau tahu bukan apa yang akan kukatakan? Berapa kali aku harus mengatakan hal yang sama padamu?" Aku menunduk, memainkan jemariku yang justru seketika dingin melihat tatapan hangat lelaki itu. "Aku siap menunggu, sungguh." Aku menggeleng. Rasanya apa yang akan dia lakukan hanya sia-sia. Aku tak mau membuatnya menghabiskan waktu untuk hal yang tidak ada gunanya sama sekali. "Tidak. Jangan, Satya. Aku sudah tahu ujung cerita ini kemana. Hanya kecewa yang akan kau temui di sana. Jangan membebani hidupmu dengna mencintai orang yang salah.""Kau bukan Tuhan, Rindu." "Maaf, jangan membuatku mengambil keputusan lain. Aku bisa saja memilih pergi daripada membuat hidupmu yang sudah banyak me
Bisakah Hati Memilih? "Maaf, Mbak Rindu. Aku tak tahu kau jadi datang, oleh karenanya kedua teman lamaku ini kuminta duduk bersama denganku," ucapnya lagi. Aku berusaha tersenyum meski begitu canggung. "Kenalkan, ini Giandra, dia adik sepupu sahabatku. Belum lama dia bertugas di sini. Dan ini istrinya, Aluna. Kebetulan sekali kami bertemu di sini." Pak Rama lanjut memperkenalkan kedua orang yang sejatinya sudah amat kukenal. "Kudengar dia tinggal di komplek perumahan Permata. Bukankah kau juga tinggal di sana , Mbak Rindu?" Pertanyaan Pak Rama membuatku terkesiap. Begitu pula dengan kedua manusia itu. Kurasa wajah mereka pun lebih pucat dari wajahku. Aku berusaha tersenyum. "Benarkah? Kalau begitu kita tetangga." Aku berusaha bersikap sewajar mungkin. Kulihat Aluna, wanita ular itu, meremas tas mahalnya. Entah mengapa aku mulai menikmati pemandangan ini dan merasa wajah-wajah pucat itu cukup menghiburku. "Baiklah. Kau tak keberatan bukan mereka ikut bergabung di meja kita? Kurasa
Satya mengangguk menjawab pertanyaanku. Dengan memperhatikan tangan kanannya dia memberikan penjelasan padaku. "Ada dislokasi di sekitar bahu. Tak terlalu serius, hanya saja memang harus diperbaiki." Aku menautkan kedua alisku sambil bergidik ngeri. Nyeri yang dirasakan Satya seolah tersalurkan padaku. Kusentuh lengannya perlahan. "Apakah sakit?" Lelaki itu tertawa lirih. "Oleh karenanya aku tak ingin memberitahumu. Aku lupa memberitahu Pak Rama untuk merahasiakan ini dari. Bodoh sekali aku ini." Satya seolah menertawakan dirinya sendiri. "Aku tahu kau takut sekali mendengar kata operasi bukan? Apalagi adegan berdarah-darah yang pasti membuatmu tak bisa tidur semalaman. Aku masih ingat bagaimana kau muntah-muntah hingga syok melihat Denta yang jarinya teriris pisau di restoran. Apalagi setelah kuberitahu aku kecelakaan. Aku tak ingin membuatmu tak nyaman, Rindu." Aku tertunduk. Di saat seperti ini pun Satya masih memikirkan traumaku. Terkadang aku membenci sekali perlakuan berl